Bab 2 Cinta Itu Membutakan

1095 Words
Siapa pun sepakat jika cinta bisa membutakan. Sayangnya, Niken sangat terlambat menyadarinya. Bahkan ketika akhirnya dia tahu, dia masih belum cukup mampu mengendalikan perasaan cinta yang ia miliki sehingga dia tenggelam dalam kubangan penyesalan sampai sekarang. Semuanya berawal dari beberapa tahun yang lalu.... Niken yang sedang berada di kamarnya terkejut ketika mendengar bentakan sang ayah dari ruang tengah. Dia beringsut turun dari tempat tidurnya dan berjalan perlahan keluar kamar, menuju sumber keributan. Dia melihat ayahnya berdiri tegak dengan kedua tangan yang terkepal di samping tubuhnya. Wajah pria paruh baya itu tampak merah padam, kentara sekali sedang menahan amarah. Di depannya, Risa, kakak tiri Niken, menangis sesenggukan di pelukan ibunya, Widya. "Siapa yang menghamili kamu?" Andy, ayah Niken bertanya geram. Reflek, Niken menutupi mulutnya yang terbuka dengan tangan. "Kak Risa hamil?" bisiknya tak percaya. Pantas saja ayahnya terlihat begitu murka. "Siapa?!" bentak Andy lagi, Niken sampai ikut terlonjak saking terkejutnya. Namun Risa masih tak mau menjawab, dia makin menenggelamkan wajahnya ke bahu sang ibu dan tangisannya terdengar semakin keras. "Jawab pertanyaan Ayah, Risa!" Melihat Risa yang bahkan tidak menoleh padanya, Andy semakin gusar. Tangannya terayun ke arah anak tirinya itu, teriakan Widya-lah yang menghentikannya. "Oka!" seru Widya. "Oka yang menghamili Risa, Mas!" Tubuh Niken mendadak limbung, dia harus berpegangan pada dinding agar bisa tetap berdiri. Jantungnya memompa kuat sehingga aliran darahnya terasa cepat. "Oka anaknya Yuda?" Widya mengangguk kuat. "Dia pacarnya Niken...," gumam Andy gusar. "Ya. Karena itu Risa enggak berani bilang sama Mas. Oka merayu Risa di belakang Niken." Pandangan Niken mengabur, lututnya gemetar, sementara jantungnya berdetak sangat cepat sampai terasa seperti akan meledak. Gadis tujuh belas tahun itu kini terduduk lemas di lantai, sudut matanya mengeluarkan air mata tanpa bibirnya bersuara. Setelah kejadian itu, Niken tidak terlalu ingat dengan hari-hari selanjutnya yang ia lalui. Niken hanya ingat Oka menangis dan bersujud meminta maaf padanya, itu pun samar-samar. Namun toh lelaki itu tetap harus menikahi Risa. Hubungan Niken dan Oka pun kandas. Kapal yang membawa mereka menabrak karang dan hancur berkeping-keping. Niken sadar kapal itu tidak bisa dinaiki lagi, tapi satu tahun kemudian dia menemukan salah satu puing kapal dan menerima uluran tangan Oka yang mengajaknya menaiki puing tersebut. Hingga sejarah percintaan mereka terulang kembali, kali ini dalam hubungan terlarang. Karena kehamilannya, Risa yang saat itu kelas tiga SMA terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Dia menikah dan tinggal di rumah orangtua Oka. Namun tidak seperti Risa yang harus drop out, Oka tetap melanjutkan sekolah. Dan karena Oka satu kelas dengan Niken, mau tidak mau mereka bertemu setiap hari. Rutinitas pertemuan itulah yang kemudian membangkitkan lagi percikan-percikan cinta di hati Niken, dan apalah daya seorang gadis yang baru menginjak usia delapan belas tahun, akal sehat dan nuraninya kadang masih terkalahkan renjana. "Aku enggak bisa seperti ini terus, Ka," ujar Niken suatu waktu ketika nuraninya mulai berontak. "Ini enggak adil buat Kak Risa." "Terus apa yang dilakukan Risa pada kita itu adil?" cetus Oka. Niken melirik Oka, menegur dengan sorot matanya. "Kamu enggak bisa membebankan kesalahan cuma pada Kak Risa." "Risa yang merayuku, Ken." "Rayuan Kak Risa seharusnya enggak berarti apa-apa kalau kamu bisa setia," ucap Niken tajam. Wajah Oka memerah. "Aku mulai berpikir Risa sengaja menjebakku, mungkin bayi itu bukan anakku," gumamnya menunduk. "Apa maksudmu?" "Dia udah enggak virgin waktu kami—ehm—b-bercinta," jawab Oka serak, suaranya lebih menyerupai cicitan dari pada lontaran kata-kata. Niken menatap Oka tajam, keningnya berkerut saat kedua pangkal alisnya bertaut jadi satu. Selama ini dia tidak bisa melihat, tapi sekarang dia tahu Oka tidak pantas mendapatkan cintanya. "Sebaiknya kita sudahi aja hubungan kita, Ka," kata Niken datar. Oka langsung berdiri dan menghampiri Niken yang duduk di tepi tempat tidurnya. Saat ini mereka berdua memang berada di kamar Niken. Andy dan Widya sedang kondangan, jadi rumah dalam keadaan kosong. "Ada apa, Ken? Aku enggak bikin kamu marah, kan?" Oka bertanya was-was. Niken menarik napas panjang. "Aku tanya sama kamu, apa yang kita harapkan dari hubungan seperti ini? Kamu suami Kak Risa, aku enggak mau terus-terusan main belakang, Ka." "Aku tahu. Aku janji akan melakukan tes DNA setelah bayinya lahir, dengan begitu aku punya bukti untuk menceraikan Risa." "Bagaimana kalau bayi itu benar anakmu?" tanya Niken datar. Oka menggeleng. "Enggak mungkin," gumamnya mengambang. Dan Niken menangkap keraguan yang terpancar di mata laki-laki itu. "Kenapa enggak mungkin? Kamu memang tidur dengan Kak Risa, kan?" cecar Niken tajam. "Y-ya, tapi seperti yang aku bilang tadi, dia udah enggak virgin." "Itu enggak menjamin bayi yang Kak Risa kandung bukan anakmu, Oka." Sekali lagi Oka menggeleng, kali ini dengan kuat. "Aku yakin bukan. Jangan cari alasan buat ninggalin aku, Niken. Aku enggak mau putus sama kamu." Niken bangkit dari duduknya. Sekarang mereka berdiri berhadapan. "Kita harus putus, Oka," ucapnya tegas. Oka menatap Niken gusar, lalu tiba-tiba saja dia mencengkeram bahu gadis itu dan mencium bibirnya dengan paksa. Niken berusaha berontak, tapi tenaga Oka jauh lebih kuat. Lelaki itu makin mengeratkan pelukan dan memperdalam ciumannya. Saat itulah pintu kamar Niken terbuka. Jeritan seorang wanita yang memanggil nama Oka membuat mereka berdua tersentak. Oka langsung melepaskan Niken dan berbalik, mendapati Risa sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah yang pucat pasi. "R-Risa...." "Kak Risa...." Nama itu terucap dari bibir Niken dan Oka secara bersamaan. "Kalian selingkuh di belakangku?" desis Risa, suaranya bergetar menahan amarah. "Kak, maafkan aku, aku bisa jelaskan semuanya," kata Niken menghampiri kakak tirinya. Namun begitu dia sudah berada di hadapan Risa, sebuah tamparan yang keras mendarat di pipinya. "Enggak perlu!" teriak Risa. Lalu dia menampar Niken lagi. "Udah jelas kamu berniat merebut Oka dariku, dasar cewek murah4n!" Dan sekali lagi tamparan yang tidak kalah keras dari tamparan pertama dan kedua mendarat di pipi Niken. "Risa, cukup!" seru Oka. "Niken enggak salah, aku yang memaksa mencium dia," katanya mendekati kedua gadis itu. "Sorry, Risa. Tapi kamu tahu Niken-lah yang aku cintai, bukan kamu." Risa memandang adik tirinya sengit. Kalimat yang diucapkan Oka sama sekali tidak membuat amarahnya mereda. Sebaliknya, dia justru terlihat semakin murka. Wajahnya didominasi warna merah, napasnya tersengal, sementara kedua tangannya yang terkepal tampak gemetar. Risa benar-benar marah, dan kemarahannya itu dia lampiaskan pada Niken. Didorongnya Niken dengan kasar. Tubuhnya yang jauh lebih kecil dibandingkan Risa terpental ke belakang. Risa mengejarnya dan menjambak rambut gadis itu kuat-kuat, tangannya terangkat siap mendaratkan tamparannya lagi. Namun dengan cekatan Oka menangkapnya, lelaki itu menghentakkan tangan Risa berusaha melepaskan jambakan dari rambut Niken. Sayangnya hentakan Oka terlalu keras hingga membuat Risa terjungkal. Semua terjadi begitu cepat dan tidak terduga. Yang mereka sadari kemudian, Risa sudah terduduk di lantai, merintih kesakitan. Darah mengalir di antara kedua pahanya, menetes deras menodai karpet di bawah kaki mereka. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD