BAB 7 - BYAN

1031 Words
BYAN POV. Gue merutuki diri gue sendiri, bisa-bisanya mulut gue ini lemes banget kayak agar-agar. Kenapa setiap kali ketemu Luna, gue jadi nggak bisa calm apalagi mulut gue yang biasanya irit ngomong malah lancar kalau sama Luna. Sebenarnya tuh anak tahu nggak sih kalau pernikahan kita tinggal tiga hari lagi, gue ragu untuk bertanya tapi gue penasaran juga. "Tiga hari lagi hari pernikahan kita." Gue membuka suara lagi setelah keheningan yang lumayan lama. "TIGA HARI LAGI PAK!?" teriak Luna histeris. Tuh kan benar gue, pasti dia enggak tahu. Setelah Luna berteriak, gue hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan. Sebenarnya gue cukup kaget, nggak nyangka aja dia teriak gitu kok nyeremin, jadi takut gue. Enggak ding bercanda, masa gue takut sama bini. Eh, calon bini maksudnya. "Kok saya nggak tahu apa-apa ya, Pak?" ujarnya sambil menangis. Buset dah, napa lu nangis bocah! Gue bingung gimana supaya dia berhenti nangis, karena gue nggak cukup pengalaman. Jangan tanya kenapa gue nggak cukup pengalaman padahal gue sendiri duda. Gue remas tuh mulut kalau nanya, hehe. "Saya juga baru tahu pagi ini, setelah mereka bilang kamu menerima perjodohan ini, Oma mengatur semuanya. Sebenarnya semua memang sudah diatur, dari tanggal pernikahan, tempat, cincin, dan lainnya sudah beres. Tinggal meyakinkan kamu saja." Gue menjelaskan, tujuannya sih agar Luna nggak mikir kalau cuman dia yang nggak tahu apa-apa. Apaan dah, gue nggak ngerti sama diri gue sendiri. "Pernikahan kita bisa dilangsungkan secara privat, kalau kamu mau? Nanti saya coba bicarakan dengan Oma." Gue menawarkan hal ini karena mengerti posisi Luna yang masih kuliah, sebenarnya sih sah-sah saja kuliah sambil menikah toh tidak ada peraturannya dalam perkuliahan diharuskan mahasiswa nya belum menikah. Hanya saja gue yakin Luna pasti risih kalau teman-temannya tahu. Emang bener dah gue ini calon suami idaman, pengertian banget ditambah ganteng pula. "Apa boleh, Pak?" tanya Luna sambil menangis. "Hm," sahut gue singkat, kali ini mulut gue nggak lemes kayak agar-agar lagi. *** Selepas mengantar Luna pulang, gue balik lagi ke rumah sakit jemput Oma. Sepanjang jalan gue mikir, bener nggak sih keputusan gue menerima dijodohkan dengan Luna? Sejujurnya gue takut untuk memulai lagi, gue takut gagal seperti sebelumnya. Disaat gue ragu dengan diri sendiri, kenapa semua keluarga gue begitu yakin dengan ini. Gue buka kaca mobil karena gue mau sebat dulu, sudah lama gue nggak sebat. Biasanya gue melakukan ini saat gue bener-bener stres, dan sekarang gue lagi stres berat. Gue butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiran gue. Aneh tapi ajaib, kepulan asap yang keluar dari mulut gue seakan menjadi hiburan bagi gue sendiri. Seakan masalah dalam diri gue ikut terbakar dan keluar bersama kepulan nikotin itu. Lepas dari keraguan gue tentang hubungan pernikahan, gue sempat mikir gimana seandainya suatu hari nanti hubungan gue sama Luna terbongkar? Apa kata temen-temen gue tentang itu? Tentang gue menikah sama anak kecil yang usianya tiga belas tahun lebih muda dari gue? Parah banget kalau mereka sampai bilang gue p*****l. Ya kali, ganteng-ganteng gini p*****l. "Kenapa harus Luna!" teriak gue bener-bener frustasi. Tiga hari lagi bukan hari yang panjang, waktu gue tinggal sedikit lagi. Gue sempat mikir buat kabur, tapi hal itu terlalu kekanak-kanakan. Usia gue sudah kepala tiga, nggak cocoklah kabur-kaburan. Drrttt.. Drrttt.. Gue meraih handphone yang sedari tadi bergetar, terpampang jelas di layar panggilan masuk dari Bunda gue. "Halo, Bun. Ada apa?" "Byan, kata Oma kamu nggak perlu jemput dia. Tapi kamu harus ke butik buat fitting, jadi kalau kamu sudah ngantar Luna. Tolong Luna nya dijemput lagi," ujar Bunda di seberang sana. "Iya, Bunda." Tut tut.. Padahal tinggal sedikit lagi gue tiba di rumah sakit dan gue harus putar balik lagi ke rumah Luna. Bener-bener sial banget dah gue hari ini. Jujur, gue males banget melihat mukanya Luna, bukan karena apa, hanya saja Luna kalau ketemu gue mukanya jutek banget kayak bebek. Dia kayak males gitu lihat muka gue yang ganteng. Setelah drama menyetir 20 menit, akhirnya gue sampai juga di depan rumah Luna. Buset, drama gue bilang, dah kayak artis sinetron aja, hehe. Gue mengetuk pintu rumah Luna berkali-kali tapi nggak dibukain juga. Gue ketuk lagi dengan hati yang lapang dan akhirnya dibukain, hampir aja gue gedor tuh pintu kalau lambat sedikit. "Pak Byan?" ucap seorang cewek yang nggak familiar bagi gue, ekspresinya syok banget saat manggil nama gue. "Maaf, kamu siapa?" Gue serius bertanya karena gue bener-bener nggak tahu sama nih cewek. Bukannya menjawab pertanyaan gue, tuh cewek malah bengong dengan wajah melongo. Waktu gue nggak banyak buat nontonin itu cewek melongo. "Luna ada? Bisa tolong panggilkan?" pinta gue dan dibalas anggukan olehnya. Hampir lima menit gue menunggu di luar tuh bocah kagak nongol juga, awas aja nanti gue kasih nilai F di mata kuliah gue. "P..pak Byan, ada apa nyari Luna?" Tanya bocah yang sedari tadi gue tunggu-tunggu. Sebelum gue membuka suara, gue pelototin dulu tuh bocah bentar, kesal banget gue. "Oma minta kita fitting, makanya saya balik lagi ke sini." "Harus sekarang Pak, fitting nya? Soalnya ada teman Luna di dalam dan dia baru sampai." Gue hanya membalas dengan anggukan, masih kesal banget gue sama itu bocah. "Ya sudah, Pak. Bapak masuk dulu, Luna ganti baju sebentar." Gue langsung masuk tanpa ragu lagi, karena kaki gue lumayan pegal, kan enak kalau dibawa duduk. Nih calon Bini kagak tahu apa gimana ya cara memperlakukan tamu? Bukannya nawarin minum malah langsung nyelonong masuk ke kamar, kan gue haus bocah! "Sabar Byan, sabar ...." Batin gue menyabari diri sendiri. Kali ini gue nggak menunggu lama karena Luna sudah keluar dari kamarnya dan nyamperin gue. "Ayo, Pak!" ujarnya sembari berjalan menuju pintu. "Teman kamu tadi bagaimana?" tanya gue basa-basi. "Dia bisa nunggu katanya." Dan gue hanya ber-oh ria mendengar jawaban Luna yang singkat. *** "Wahhh, cantik sekali." Suara Oma yang penuh semangat seketika memecah keheningan di ruangan ini. Gue langsung mengedarkan pandangan ke tempat di mana Luna berdiri di balik tirai. Gue akui Luna memang cantik dengan gaun itu, ralat, sebenarnya Luna sangat cantik. Gak nyangka gue kalau Luna secantik itu saat memakai wedding dress. Jantung gue aja sampai ikutan terpesona saking cantiknya Luna. Buktinya, saat ini jantung gue memompa lebih cepat dari biasanya. "Bagaimana Byan? Luna cantik, kan?" tanya Oma. Gue yakin kali ini Oma gue sengaja tanya beginian. Gue menganggukkan kepala. "Cantik," sahut gue setuju dengan Oma.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD