"Uncle!!!"
"Uncle!!!"
Wajah Jane memerah menahan perih, peluh membasahi wajah, leher hingga seluruh tubuhnya yang kini tengah melengking karena tarikan jemari Arthur dilehernya. Sementara bokongnya harus menungging tinggi ketika Arthur mulai memposisikan dirinya...
Gadis itu terengah-engah, nafasnya yang tidak teratur seirama dadanya naik turun. Tapi pamannya itu tidak berhenti mempermainkan tubuhnya yang kini sudah tak mampu lagi berdiri. Kedua tangan mungil itu bersandar ditembok, dengan posisi berdiri Arthur bermain dibelakang tubuh Jane yang kini bermandikan keringat.
Jane terus merintih, kedua matanya terpejam sementara bibirnya telah memerah dan bengkak. Menjerit kencang meminta belas kasih dari Arthur namun ptia itu tak kunjung menanggapinya, seolah menulikan pendengarannya atau memang Arthur menyukai segala rintihan pilu itu.
"Uncle, Please!!!" pinta Jane.
Alisnya saling bertautan menahan perih dibagian terintimnya itu.
"akh...!!!" ia menjerit kencang, setelah sesuatu yang tumpul kembali menyeruak dirinya dengan sekali hentakan tanpa menghiraukan perih yang diderita gadis itu.
"you have to work harder, if you want this over quickly!" desis Arthur disamping wajah Jane yang terlihat lunglai seraya menarik kuat rambut pirang Jane.
"answer me, little one!" bisiknya lagi.
"y-yes Uncle..." rintih Jane.
Arthur bergerak dengan brutal, entah beberapa kali Jane memohon dan terus merintih namun pria itu selalu tidak menjawab dan hanya sibuk dengan kegiatannya. Arthur mengerang nikmat, ketika milik Jane terasa begitu berdenyut pertanda gadis itu hampir mencapai klimaksnya.
Arthur dapat melihat tubuh itu bergetar kuat, Jane telah mendapat pelepasannya ketika merasakan sesuatu mengalir dari tempat yang sedang ia masuki itu.
"oh, f**k!" racau Jane, sontak Arthur mendapat sebuah ide dan memainkan jemarinya didaerah sensitif Jane sembari terus memompanya. Berniat menaikan kembali gairah gadis itu... Tapi Jane kembali kekewarasannya...
Acara mandi yang diakhiri dengan kekerasan selalu menjadi makanan Jane, busa sabun masih menempel dikedua tubuh seksi itu menyebabkan aroma wangi, entah mengapa ia menjadi sedih padahal dulu dirinya sangat menginginkan kekerasan saat bercinta.
Jane tertunduk setelah Arthur melepaskan cengkraman dilehernya, pria itu tak berhenti mencoba membuat Jane b*******h kembali. Jane mulai lelah, tubuhnya seakan berniat untuk menghentikan kegilaannya ini.
Tiba-tiba, entah kekuatan dari mana Jane memberontak dan melepaskan diri dari Arthur. Lantai yang basah dan licin membuatnya terjatuh setelah dengan kuatnya ia mendorong tubuh besar itu. Jane terduduk dilantai, menangis sesegukan menbelakangi Arthur yang mengernyit kebingungan.
Arthur berdeham dalam hati, padahal kemarin-kemarin gadis itu dalam baik-baik saja. Malah Jane lah yang selalu membukakan pintu selebar mungkin menunggu dirinya pulang bekerja dan akan berakhir malam yang panas dikamar Arthur.
Tapi kini, gadis itu tertunduk lesu. Menatap lantai kamar mandi yang terasa jauh lebih menarik dari pada dirinya yang hina ini.
"Jane? Kau baik-baik saja?" tanya Arthur yang masih menetralkan nafasnya agar kembali teratur.
Gadis itu hanya menggeleng lemah, entah sampai kapan ia dapat bertahan didalam kekangan Arthur. Munafik jika ia berkata tidak menyukai seks yang keras, namun akan selamanya seperti inikah? Dirinyapun ingin berakhir bahagia seperti sepupunya atau teman-temannya yang sibuk dengan kekasih ataupun acara pernikahan mereka.
Namun Jane malah terkurung didalam sebuah rumah mewah dengan segala fasilitasnya yang diisi oleh penggila seks keras. Hidup kadang tidak adil...
Jane mencoba untuk berdiri dan menuju pintu keluar kamar mandi, namun suara bariton dibelakangnya selalu menghalanginya.
"kau mau pergi kemana Jane?" ujar pria itu dengan intonasi yang tenang namun sangat mencekam, Jane tak lagi menghiraukan kalimat atau kata-kata yang dapat membuat tubuhnya merinding. Ia hanya ingin pergi tanpa melihat mata setajam elang yang selalu membuat perih dihatinya.
"Jane!" suara Arthur menggema dikamar mandi, dengan langkah besar ia menghampiri Jane yang berjalan tertatih.
Grab!
Arthur berhasil menangkap tubuh mungil itu dan menariknya keatas ranjang, Jane memberontak ketika Arthur menindih tubuhnya. Arthur dapat melihat dengan jelas air mata yang keluar dari wajah cantik itu, namun tak urung menbuatnya kasihan.
Dengan gairah yang masih menggebu Arthur mencoba menyatukan tubuhnya kembali meski dengan berbagai penolakan gadis itu.
Segala umpatan dan makian terdengar dengan jelas ditelinga Arthur, namum melihat tubuh naked yang berada dibawahnya.
"Uncle no!" Jane terisak, tubuhnya sudah tak mampu lagi melawan Arthur. Dan mulai membiarkan pria itu memasukinya lagi dengan sangat brutal dibandingkan sebelumnya.
"s**t Jane!" racau Arthur, tubuh Jane berguncang dengan hebat sementara ia meremas lengan Arthur dengan jari-jarinya menahan sakit.
Cukup lama, akhirnya tubuh berotot itu ambruk diatas Jane. Memeluk kuat tubuh mungil itu dengan deru nafas yang tidak teratur.
Sementara Jane, gadis itu hanya terdiam menutup mata ketika pria itu menyemburkan benihnya kedalam dirinya.
Arthur lalu bangkit, memakaikan bantal dikepala gadis itu lalu menyelimuti tubuhnya. Tak menghiraukan isakan kecil meski kedua mata indah itu masih tertutup rapat, Arthur sungguh tidak ingin mendengar segala keluhan Jane. Tidak ingin gadis itu meninggalkannya meski sudah beberapa kali Jane mencobanya.
Tidak!
Arthur mungkin belum yakin dengan perasaannya saat ini, tapi ia mencoba mempertahankan gadis yang selama ini menjadi penghias ranjangnya itu. Entah mengapa... Jane selalu menjadi candunya, biasanya ia lebih memilih jalang kelas kakap yang umurnya jauh lebih matang dan lebih lincah dalam bercinta. Setidaknya dirinya tak perlu repot-repot mencari teman kencan dan mengajaknya berkeliling atau sekedar makan malam bersama.
Tapi Jane adalah sebuah pengecualian, bukan hanya tubuhnya yang bereaksi seperti itu, tapi juga hatinya tak rela jika melepaskan keponakannya itu begitu saja.
"tidurlah Jane! Kita bicara besok pagi" ujar Arthur ketika Jane merasa ranjang tempatnya berbaring bergoyang, pertanda pria itu ikut tidur disampingnya.
Entahlah!
Jane sendiri tidak ingin melihatnya, ia lebih memilih berbalik memunggungi Arthur dengan tubuhnya yang masih polos tanpa sehelai benangpun.
Jane menitikkan air matanya, dalam kegelapan dirinya terisak pelan tanpa bersuara. Berpikir keras bagaimana dirinya dapat keluar dari jeratan pria yang tak lain adalah pamannya sendiri itu.
Jane harus kuat, ia gadis dengan harapan yang sama seperti semua gadis seusianya. Bertemu dengan lelaki lalu menikah pada akhirnya, bukan menjadi simpanan pria tua yang tampan dan miliarder itu.
Dan bagian yang terburuk, pria itu adalah pamannya sendiri. Jane tidak mengerti bagaimana dirinya bisa segila ini dalam berhubungan seks, tidak diakui secara umum tapi diklaim ketika dirinya berada satu kamar dengan pria itu.
Jane kembali berpikir keras, menentang hatinya yang terus-terusan ingin berada disisi pria itu. Namun harus ia lakukan demi dirinya sendiri...
Ia harus meninggalkan rumah Arthur...
Bagaimanapun caranya, ia harus bisa pergi dari kehidupan pamannya itu...