"Ahk!" Ibas mendesah kesal sembari mengepalkan tangan. Pintu lift keburu tertutup. Sialnya dia tidak sempat melihat yang di dalam. Ibas juga tidak yakin, apa pintu ini atau pintu lift satunya lagi?!
dia melihat keatas.
"Lantai 5 dan lantai 8!" gumamnya, lantas dia ingin mengejar melalui tangga darurat. Sungguh, ini hal paling implusif yang dia lakukan setelah menjabat sebagai kepala rumah sakit. Semua orang yang mengenalnya menyeritkan alis keheranan. Tak terkecuali Dokter Michael yang Ibas tinggal begitu saja.
"Hah, hah..!" Nafasnya memburu, dengan betis yang sakit. Sepertinya, Ibas perlu banyak olahraga. Baru sampai lantai 3 saja. Nafasnya sudah tersenggal...
"Lantai 5, lantai 5!" Dia memutuskan ke lantai 5 lebih dulu. Yang lebih didominasi oleh kamar rawat anak. Setelah sampai, Ibas bingung harus ke kiri atau ke kanan.
"Ibas!" sapa Camelia seperti habis melihat hantu. Ibas memperhatikan Camelia, dia tersenyum miring. Kenapa mesti ketemu mantannya disini dan disaat seperti ini?
"Tunggu,ya, Mel!" kedua tangannya menahan supaya Camelia tidak mendekat. Ibas lanjut memindai sekitar tanpa memandang Camelia.
"Bas, lo gak kenal gue?" Sekali lagi Ibas melirik. Kenal, kok? Daya ingatnya cukup bagus untuk mengingat jajaran mantan tersayang.
"Lo lagi ngapain disini?" Akhirnya Ibas mengajukan pertanyaan ke Camelia.
"Gue," wajahnya jadi sendu. Ibas memincing,'kan mata.
"Mama..!" seorang anak lelaki memanggil Camelia dengan sebutan mama. Ibas semakin tertegun. Jadi.., Camelia sudah punya anak. Apalagi Camelia menggendong anak itu dan menciumi dengan sayang
"Iya, ini anak gue. Winter didiagnosa kanker darah, Bas!" Camelia tidak tahu harus bicara kepada siapa. Selama ini ia membesarkan Winter seorang diri. Ayahnya Winter, adalah lelaki gak bertanggung jawab. Ia pergi setelah tahu Camelia hamil. Tega, kejam, tapi inilah nasibnya.
Ibas menghempaskan nafas kasar. Kalau dilihat sepertinya anak itu berusia 3 sampai 4 tahun. Tapi diumur segitu, ia sudah harus menderita kesakitan. Bisa dibayangkan, mungkin gak lama lagi Winter mulai merasa sakit yang teramat. Untuk sekarang, memang baru ada gejalanya. Dan itu semakin menjadikan hatinya iba.
"Gue ga kuat kalau mesti melihat Winter sakit. Kayaknya lebih baik gue ajalah!" Camelia terlihat ingin menangis. Pupil matanya bergetar dengan hidung memerah. Ibas menelan ludahnya kasar, tanpa bicara seperti itu. Ibas bisa merasakannya.
"Dia pasti sembuh seperti sedia kala. Lo sudah tepat dengan membawanya kesini. Seluruh dokter dan perawat akan gue suruh memprioritaskan Winter" Ibas bicara karena ia tidak tega. Tapi ucapannya mengundang tanya Camelia,
"Jadi, lo sekarang atasan disini?!" Cukup mudah menebaknya karena tadi Ibas terlihat yakin sekali. Lagipula, Camelia bukannya gak tahu. Siapa pemilik rumah sakit ini.
"Gue fikir, lo cuma dokter disini!" matanya melirik ke jas putih yang Ibas gunakan. Ibas tertawa.
"Itu juga ada benarnya!" ujarnya. "Ahk,ya. Gue lagi buru-buru. Nanti kita bisa lanjut ngobrol lagi. Sorry, Mel!"
Ibas melanjutkan misinya mencari Selly. Namun, meski mengitari lantai 5, 2 kali pun. Ia tidak menemukan Selly.
"Apa lantai 8,ya?!". Tidak ada salahnya mencoba. Meski ia juga ragu. Lantai 8 adalah ruang administrasi rumah sakit, termasuk ruangannya juga ada disana.
Ibas sampai di lantai 8, disana kelakuannya sama yaitu seolah mencari sesuatu dengan tergesa.
"Bapak ngapain, sih?" Bella menegurnya. Risih melihat Ibas berputar layaknya gangsing.
"Bel, tadi disini ada cewek gak?" Pertanyaannya terlalu sulit dijawab. Bella sendiri,'kan cewek.
"Cewek yang mana, siapa dulu. Bilang itu yang bener!" Ibas malah dinasehati. Ia jadi mengibaskan tangannya. Sudahlah Bella gak usah banyak tanya. Yang ada dia makin pusing! Daripada berhadapan dengan karyawannya, ia berniat keruangan. Mungkin tadi ia sedang rindu saja sama Selly sampai melihat sosoknya di rumah sakit ini. Secara logika, itu gak mungkin. Selly selalu menghindarinya. Ketika Rian dan Manda melakukan pertemuan bersama saja, Selly gak hadir. Jadi, mana mungkin sekarang ia datang sendiri.
Ibas berjalan lemah, tapi Bella memanggilnya "Oh,ya, Pak. Tadi Lila udah ketemu sama pengajar sementaranya. Tadinya sih mau tunggu Bapak sesuai intruksi. Tapi Bapaknya gak ada ditempat!"
Ibas mendelik, otaknya sedikit nyambung. Kenapa gak dari kemarin dia ada pikiran kesana. Bukankah semua cocoklogi. Selly seorang pengajar, sikapnya juga suka sewenang-wenang. Dan wanita itu...
Ibas segera kehadapan Bella, ia melotot dan menggebrak meja administrasi. "Ayam.., ayam...!" latah Bella. Untung saja jantungnya buatan Tuhan yang maha kuasa. Jadi gak gampang rusak.
"Bel, sekarang cewek itu dimana?" Bella terperangah. Ia gak bisa jawab langsung. Apa segitu kesal atasannya sampai berreaksi seperti ini. "Mungkin masih di ruang Kak Lila!" gumam Bella seraya menerjap.
Informasi itu cukup untuknya. Ibas pergi keruangan personalia. Jantungnya bergerumuh. Rindu dipadukan beberapa asumsi reaksi Selly nantinya membuatnya sangat berdebar.
Kehadirannya cukup mengagetkan karyawan yang ada disana. Beberapa terlihat panik.
"Lila! Mana wanita itu?" Ibas gak bisa mengontrol bicaranya. Semua orang jadi memandang. Tapi ia gak peduli. Matanya melirik sebuah map yang bertuliskan data pelamar. Segera ia membuka menyusuri lembar per lembar.
"Bapak mau cari apa?" tegur Lila gugup. Ibas mengutarakan keperluaannya
"Bisa lihat CV para pelamar?" Ia yakin. Disini ada salinannya. Minimal, punya data orang yang sudah diterima. Lila memberikan data. Cukup tebal, karena rumah sakit sedang membuka lowongan dibeberapa bagian.
"Mana,ya?" Ibas mengerutkan keningnya, tapi hasilnya nihil.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Ada lagi gak? Selain ini apa ada lagi?" desaknya tak sabaran. Meski gugup Lila menyiapkan semua data yang menyangkup para pelamar lalu menyerahkan ke Ibas. Ia juga bantu membolak balik,'kan berkas-berkas itu.
"Ini, ini!" Ibas mendelik. Seakan mendapatkan undian ratusan juta, bibirnya tersenyun sumbringah cuma lihat foto 3x4 bergambar kekasihnya itu.
"Cewek ini sekarang dimana?!"
***
Sesuai jawaban Lila. Selly saat ini ada di rumah singgah. Ibas sudah sampai disana, tapi ia juga bingung. Bagaimana caranya ia kembali kehadapan Selly, terutama apa yang mesti ia katakan pertama kali. Say hello, atau langsung peluk saja. Enggak.., enggak. Kontak fisik itu terasa begitu keterlaluan untuk kategori orang yang sudah lama berpisah. Namun, apa otak Ibas bisa berfikir secara rasional disaat seperti ini?!. Tanpa sadar ia sudah sampai di ruang belajar. Matanya berkaca-kaca menatap seorang gadis sedang mengajari anak-anak mewarnai. Ia terlihat amat bahagia, seakan-akan perpisahan itu tidak meninggalkan luka apapun. Memang, Ibas mengharapkan kebahagiaan Selly. Ia gak pernah ingin Selly sedih setelah berpisah. Namun.., senyum sumbringah yang tidak pernah berubah itu juga membuatnya kesal.
Sembari melap ujung matanya. Ibas bergumam "Enaknya kamu, girang-girang kayak gitu. Gak tahu kalau aku kangen banget!" Semua ini apa karena kepribadian Selly yang kelewat ceria. Ibas membuka pintu tanpa beban. Berdiri didepan meski tanpa suara
"Dokter malaikat!" seru Sylva. Salah satu pasien kanker stadium 3. Ibas berjongkok dan merengkuh tubuh mungilnya.
"Sayang," gumam Ibas. Selly merasa sangat familiar dengan suara dan sosok itu. Jantungnya berdetak kencang. Buku yang ditangan juga jatuh seketika.
"Ahk,"
Ketika yang sama Ibas mendekat sambil menuntun tangan Sylva.
"Ada guru baru,ya?" Ibas bertanya pada Sylva. Tapi matanya memandang Selly dengan tajam. Sampai bolong itu jidat anak orang!
"Iya, Om dokter. Kakak...!" Sikecil malah lupa menanyai nama Selly. Mungkin saking bahagianya bermain. Tapi tenang saja, Ibas selalu ingat namanya. Bagaimana rasa bibirnya dan apa kata terakhir yang ia ucapkan.
"Kak Selly?" tebak Ibas seperti dukun. Gak tahu saja, Selly sudah ganti nama jadi Esmeralda. Selly bangun, dia gak bisa diginiin. Apalagi Ibas mengucapkan namanya begitu seksi. Cepat gadis itu mau kabur, sebelum itu tangan Ibas mencekalnya.
"Aku mau bilang. Kalau aku belum menyerah. Kembalilah padaku, aku masih seperti yang dulu. Ketahuilah, setelah kepergiaanmu aku tidak pernah baik-baik saja!" Ia semakin dekat, bahkan dadanya membentur punggung Selly. Sedikit memiringkan kepala diantara curuk leher gadis itu.
"Kok kamu diam. Apa kamu gak percaya?" Ibas berbisik di telinga Selly. Baru mencium rambutnya dan melihat tengkuk yang tertutupi beberapa helai rambut membuat jiwanya bergejolak. Ibas merasa tidak tahan untuk tidak memeluk pinggul itu. Karena fikirannya, Ibas mengulurkan tangan. Tapi Selly menahan tangan Ibas dan berbalik
"Kamu masih kayak yang dulu. Masih playboy gitu maksudnya?!" sungut Selly minta kejelasan.