Bab 2. Gagal

1236 Words
"Ah ... leganya," ucap Maya dengan suara agak sedikit keras. Rani dan Bagas yang mendengar menoleh ke sumber suara, dan Rani memicingkan mata curiga. Maya habis ngapain, sih, ke toilet lama sekali? Wajahnya nampak bahagia, dan bajunya kenapa jadi acak-acakan begitu? Maya yang merasa diperhatikan oleh kedua orang di meja kasir, hanya cengengesan salah tingkah. "Ehem," Bagas berdehem menetralkan suasana. "Astaga!" Rani memukul keningnya sendiri, gadis itu baru ingat jika dia ingin menghindar dari Bagas. "Sebentar, ya, Mas! Sudah nggak tahan lagi, ni, dari tadi kebelet," ucap Rani dan bergegas melangkah mengabaikan Bagas yang memanggilnya. "Ran, tunggu sebentar! Nomor hape kamu mana?" Namun, Rani berpura-pura tidak mendengar dan terus saja melangkah masuk ke pantry dan menuju toilet. Maya yang melihat gelagat Rani terkikik geli, karena yang Maya tahu selama ini sahabatnya itu selalu menghindar, kalau ada pria yang meminta nomor ponsel Rani. Sebagai sahabat, Maya memahaminya. Wajar saja, sih, para pria tertarik dengan Rani karena selain cantik gadis itu juga baik, lemah lembut dan penyabar. Hanya satu kekurangan Rani, dia terlalu pemalu dan agak kolot. Tanpa sadar Maya terkikik jika mengingat kekurangan sahabatnya itu. Bagas yang melihat tingkah Maya merasa heran dan bingung. Namun, tetap saja wajah pria itu nampak kecewa dan sedikit bersedih. Maya yang melihat ekspresi wajah Bagas penasaran dan gadis itu mencoba bertanya. "Maaf, Mas. Ada yang bisa saya bantu? Apa masih ada barang yang ingin, Mas cari?" Maya bicara dengan sopan dan menampilkan senyuman terbaiknya. Wih ni cowok cakep sekali, penampilannya modis, tubuhnya atletis, kulitnya putih, dan hidungnya juga mancung, mirip aktor Won Bin yang main drama Endless love. Maya bergumam di dalam hati sambil memindai tubuh Bagas dari atas kepala sampai ujung kaki, dan jiwa penggodanya pun muncul. Ya sahabat Rani yang satu ini merupakan gadis penggoda, dan suka bergonta ganti pasangan. Sekarang saja bos di tempat mereka bekerja sudah masuk perangkap, tepatnya sudah jadi pacar. Meskipun seorang playgirl, Maya terkenal setia kawan dan royal terhadap para sahabatnya. Maya dengan suka rela mengeluarkan dana untuk membeli berbagai macam makanan saat sedang berkumpul bersama di rumahnya. Maya sebenarnya anak dari keluarga berada, Ayahnya pemilik tambang emas di kota kelahirannya. Gadis itu tidak ingin melanjutkan kuliahnya dan memilih bekerja. Dengan alasan "agar mandiri, dan aku tidak ingin lelah memikirkan mata kuliah yang pasti lebih sulit dipelajari. Sewaktu sekolah saja sering membolos karena bosan menghadapi pelajaran," ucapnya kala itu, saat orang tua Maya meminta putrinya untuk melanjutkan kuliah. Namun, sebenarnya Maya kecewa karena sang Ayah menikah lagi dan ibunya pun ketahuan berselingkuh. Maya pun memilih tinggal sendiri, daripada harus tinggal bersama Ayah dan ibu tirinya. Apalagi harus tinggal dengan sang Mama yang suka selingkuh. Karena itulah Maya terlalu bebas bergaul tanpa pengawasan dari kedua orang tuanya. Maya menjadi gadis yang tidak terkontrol, suka bergonta ganti pasangan, dan suka menggoda tanpa tahu malu. Seperti saat ini ia berusaha menggoda Bagas dengan menampilkan senyuman manisnya, tetapi Bagas tidak tergoda sedikitpun. Bagaimana kalau aku minta nomor hape Rani dari gadis ini saja? Bagas tersenyum licik sambil menatap Maya, membuat gadis itu menjadi salah tingkah karena ditatap. Bagas pun langsung mengutarakan keinginannya. "Boleh minta nomor hape Rani, nggak?" "Eh." Maya kaget atas permintaan Bagas. Aku pikir ingin bertanya siapa namaku. Eh ternyata minta nomor ponsel Rani. Huh, selalu melibatkan aku. Maya bergumam di dalam hati. Meski kesal, tetapi gadis itu tetap menampilkan senyuman, kemudian berucap kepada Bagas yang membuat pria itu kecewa. "Maaf, mas. Saya nggak hapal nomor hape Rani dan kebetulan hape saya berada didalam loker pantry," Maya sedikit berbohong. Kalau ku beritahu, Rani bakalan marah dan ngambek seperti yang sebelum-sebelumnya. Namun, Bagas tidak menyerah, masih ada saja cara pria itu agar benar-benar mendapatkan nomor si gadis pujaan hatinya. "Gimana kalau saya minta nomor hape, Mbak saja?" ucap Bagas. "Hah," Maya melongo mendengar ucapan Bagas. Baru saja aku ingin menawarkan nomor hapeku, eh ternyata pria ini meminta dengan sendirinya. "Maksud, Mas, apa, ya? Kenapa harus nomor saya dan untuk apa?" Maya pura-pura tidak mengerti, padahal di dalam hati berbunga-bunga. Melihat Bagas yang hanya terdiam saja, membuat Maya bingung. Namun gadis itu tetap semangat dan penuh percaya diri dengan menganggukkan kepala. "Iya, Mas boleh." Sambil mengedipkan sebelah matanya, Bagas yang melihat tingkah wanita dihadapannya ini merasa jijik. "Tapi saya minta nomor hape kamu, bukan untuk kenalan dengan kamu. Saya hanya ingin menghubungi kamu untuk menanyakan nomor hape Rani." Maya yang mendengar ucapan Bagas merasa kecewa. Astaga! Ternyata cowok ini jujur sekali, aku yang semula melambung ke atas, tetiba terhempas ke bawah. Dan itu rasanya sakit sekali. Bisa-bisanya cowok ini memanfaatkan aku. Oke aku akan memberi kamu nomornya, tapi jangan harap nomor yang benar. Maya menyeringai licik, tanpa Bagas tahu, kemudian gadis itu ingin menyebut nomor ponselnya secara asal. Biar tahu rasa dan salah sambung. Dikira minta nomorku ingin mendekati aku, eh ternyata ingin minta nomor ponselnya Rani. Curang sekali pria ini, tapi maaf, ya, nggak akan aku kasih. "Sebutkan saja, Mbak nomor hape kamu," ucap Bagas yang tidak sabaran sambil pria itu menggenggam ponselnya dan bersiap untuk menekan setiap angka. Ni orang nggak sabaran banget, sih! Maya terlihat kesal. "Sebentar, Mas. Aku ingat-ingat dahulu nomornya." Belum sempat Maya menyebut nomor ponselnya, tetiba saja hape milik Bagas berdering. Kring! Bagas terkejut, dan pria itu langsung melirik ponselnya yang berdering. Ternyata dari kakak. Bagas langsung memencet tombol berwarna hijau. "Assalamualaikum, Kak." Dengan wajah datarnya, Bagas menjawab telepon yang sudah menempel di kuping. "Wa'alaikum salam, Gas," jawab sang kakak dengan suara yang terdengar bergetar dan menangis. "Ada apa, Kak?" Bagas terlihat panik dan khawatir. "Ibu, dilarikan ke rumah sakit, Gas. Dan sekarang masih ditanganj oleh dokter. Kamu segera pulang, ya. Kakak takut kalau terjadi apa-apa sama Ibu?" Bagas yang khawatir bergegas keluar dari toko, tanpa menghiraukan Maya yang memanggilnya. "Mas jadi nggak minta nomor hape saya!" Maya yang merasa diabaikan hanya melongo. "Tu cowok kenapa, sih? Sepertinya ada masalah? Dari wajahnya seperti mencemaskan sesuatu." Maya pun tidak mempedulikan lagi pria itu, dia memilih menyibukkan diri dengan mengeluarkan ponsel dari bawah laci meja kasir. "Lagian bukan urusan aku juga, sih, dan syukur deh tu cowok langsung pergi, jadikan nomor hape aku sama Rani nggak jadi diminta," ucap Maya sambil tertawa sendiri. Bagas pun tidak mempedulikan lagi nomor hape Maya atau pun Rani, yang ia pikirkan sekarang adalah segera pulang dan cepat sampai ke Banjarmasin. Pria itu sudah tidak sabar lagi ingin segera melihat keadaan sang ibu secara langsung. i Bagas pun berderap melangkah menuju ke parkiran mobil. Setelah membayar uang parkiran, pria itu bergegas masuk ke dalam mobil, kemudian menyalakan mesin dan berlalu menjalankan mobil ke jalan raya. Dengan kecepatan maksimal Bagas mengendarai mobil hitamnya, tujuan pria itu hanya satu agar segera sampai ke Banjarmasin, yang memerlukan waktu tempuh sekitar empat jam dengan kecepatan maksimal dari kota Palangkaraya yang sekarang dia kunjungi, kebetulan ada proyek pemasangan BTS Telkomsel di kota tersebut. "Hari ini aku gagal mendapatkan nomor hape Rani" ucapnya agak sedikit kecewa. "Tapi bagaimanapun juga kondisi ibu yang harus di utamakan untuk saat ini." "Karena panik aku kelupaan, tapi nggak masalah, setelah keadaan ibu membaik, aku bakalan balik lagi ke toko itu. Dan, ku pastikan nggak akan gagal lagi," ucap Bagas dengan menyemangati dirinya sendiri. "Sekarang yang terpenting semoga keadaan ibu baik-baik saja," gumam nya dan terus melajukan mobilnya dengan kencang. Sesekali Bagas melihat ponselnya, berharap kakaknya menghubungi lagi, dan berharap mendengar kabar yang baik tentang kondisi ibunya. Hingga akhirnya dia sampai ke tujuan tak ada satu pun notifikasi panggilan dari sang kakak. "Semoga ibu nggak kenapa-kenapa?" harapan dan doanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD