"Bapak suka, ya, sama saya?" tebak Mishall segera.
"Ada-ada aja, kamu!" sanggah Chandra. "Kamu punya pengaruh besar untuk semua siswi lainnya. Kalau kamu berubah, otomatis semuanya akan ikut berubah kayak kamu." Chandra memberikan jawaban, tetapi lawan bicaranya masih bergeming. "Misal, saya urus siswi-siswi yang kamu maksud itu, kamu memang mau ikut mereka berubah? Tidak kan? Karena kamu setannya di sini. Kalau setannya saya jinakkan, pengikutnya juga bakalan ikutan jinak."
Mishall merotasi bola matanya, kemudian mendengkus berat. "Mulut Bapak kayak nggak punya sopan santunnya."
"Gimana, ya? Kamu sendiri dilembutin, nggak ngaruh." Chandra mengangkat kedua bahunya tidak peduli.
"Udah, Pak? Kalau udah, saya mau pulang. Jengkelin banget Pak Chandra ini. Saya belum ikhlas masalah 6 juta tadi, ya!"
"Nanti saya bantu ganti. Kamu tidur di sofa itu. Saya nggak bisa biarin kamu pulang malam ini. Kamu bisa aja balik lagi ke kelab tadi," ucap Chandra. Ia melempar selimut dan sebuah bantal pada Mishall.
"Harusnya kan Bapak yang ngalah. Jadi jantan dikit lah. Tidur di sofa kalau nggak mau tidur bareng," keluh Mishall.
"Pertama, saya butuh tidur nyenyak untuk menghadapi ratusan siswa-siswi kayak kamu besok. Kedua, saya sudah menikah. Ketiga, saya nggak tertarik sama kamu, anak kecil." Chandra membanting tubuhnya di tempat tidur, mengubah posisi membelakangi Mishall.
Hening sebentar.
"Omong-omong, Pak Chandra seriusan bisa 5 bela diri tadi? Kok keren banget?" Mishall mengatur bantal, berbaring dengan posisi telentang menghadap langit-langit kamar.
"Saya suka nonton anime."
Mishall langsung mendelik ke arah punggung Chandra.
"Halah. Mubazir dong kekaguman saya ke Pak Chandra tadi." Mishall ikut berbalik, membelakangi Chandra, dengan tangan dan kakinya memeluk sandaran sofa. "Hidih."
Nyaman. Seperti memeluk seseorang. Mishall dengan cepat terlelap.
***
Usai mengonfirmasi bahwa Widya yang akan mng-handle urusan Shila, maka Chandra segera pergi setelah tadi ia mengganti pakaian santai dan makan siang. Motor gedenya membawa pria itu menuju rumah Mishall.
Sesampainya di sana, Chandra sama sekali belum turun dari motor. Hanya menaikkan helm agar bisa melihat dengan jelas siswinya itu sudah berpakaian rapi, sementara ibunya yang sedang duduk santai di teras, tampak menegang.
"M-Mishall, kamu jangan keluar, Nak. Ibu bakalan usaha cari uang, kamu nggak usah kerja, ya?" ujar mamanya Mishall.
Sementara gadis muda itu menatap Chandra dan ibunya dengan malas. Lalu mendengkus. Tidak ada yang bisa mengubah hidup Mishall menjadi lebih baik, kecuali dirinya sendiri. Orang asing hanya bisa menasehati jangan ini-jangan itu, padahal, mereka tidak bisa membantu Mishall memperbaiki sesuatu. Mereka hanya bisa banyak bicara. Ah, jangankan orang asing, ibunya sendiri pun tidak bisa melakukan apa pun selain memberi nasehat. Ujung-ujungnya? Menikmati hasil uang haram Mishall.
Mishall menarik napas panjang terlebih dahulu saat ia memfokuskan arah pandangan hanya pada Chandra. Ia memasang mimik malas yang sengaja diperjelas, agar si guru yang hobi ikut campur masalahnya itu tahu, bahwa Mishall membencinya.
"Apa? Pak Chandra mau larang saya kerja lagi? Hah? Boleh, Pak, boleh. Asalkan Pak Chandra bisa kasih saya uang. Setiap hari saya nggak bakalan keluar, asalkan Pak Chandra mau menuhin kebutuhan hidup saya. Nggak bisa? Jelas! Bapak sama orang lain cuman bisa larang-larang tanpa ngasih bantuan apa-apa! f**k this s**t! If you don't really care about me, why don't you shut the f**k up?"
"Whoa ... santai!" Berbanding terbalik dengan ibunya yang sudah kelonjotan di kursi melihat sang anak memaki gurunya sendiri, Chandra malah tampak tenang dan memberikan dengkusan gelinya. "Ayo naik. Saya kasih solusi. Because, i'm really f*****g care about you." Lalu di akhir kalimat, jelas sekali perubahan ekspresi Chandra dari ceria menjadi dingin, kentara dari tatap mata dan bibirnya yang menipis.
Mishall terdiam di tempat. Dadanya tampak jelas bergerak naik-turun karena napasnya menderu cepat. Tatap nyalang diselimuti kesal masih tercetak di matanya. Hingga beberapa menit, keduanya berada dalam keadaan saling perang dalam tatapan. Sampai Mishall mendengkus kasar, lalu berjalan ke arah Chandra. Naik ke motornya dengan kasar.
"Awas aja kalau cuman banyak bacot doang."
Chandra membatalkan niatnya menarik gas motor. Ia sedikit menoleh pada Mishall.
"Kamu tahu sedang bicara sama siapa, Mishall? Saya bukan temen kamu, loh."
"Tau lah. Dari awal, saya selalu usaha buat sopan sama Bapak, kalau Bapak nggak terlalu ngurusin urusan saya. Tapi sekarang, Pak Chandra malah hobi banget rusakin karir saya."
"Karir?" Chandra mendengkus. Ia langsung meninggalkan halaman rumah Mishall.
Entah butuh berapa lama perjalanan hingga keduanya sampai di sebuah restoran yang amat ramai. Gedung berlantai 3 itu berhasil membuat Mishall membuka mulut lebar. Armony Restaurant, siapa yang tidak kenal? Nyaris semua selebriti dan selebgram pernah meng-upload foto mereka di tempat paling bergensi ini.
"Kita ngapain ke sini, Pak?" tanya Mishall. Sejak turun dari motor, hingga ia berdiri kaku di tempatnya sekarang, pandangannya tidak pernah teralihkan dari gedung ini.
"Ayo." Ketimbang menjawab, Chandra memilih untuk langsung mengajak Mishall masuk untuk menjamah restoran mewah ini.
Kalau dihitung, Mishall sudah sangat sering ke sini bersama teman-temannya sebelum sang papa meninggal. Namun, usai hidupnya berubah, ia tidak pernah menginjakkan kaki lagi di sini.
Sejak masuk, mereka disambut oleh dua perempuan yang menunjukkan sebuah tempat makan yang kosong. Chandra tidak memedulikan hal tersebut dan menanyakan keberadaan sahabatnya yang menjadi pemilik restoran, Arfan. Karena kedua perempuan itu sudah familier dengan hubungan Chandra dan atasan, maka mereka mejelaskan posisi Arfan sekarang.
"Di lantai tiga, Pak. Ruang VVIP."
Chandra mengangguk, lalu memberi isyarat agar Mishall mengikutinya. Ia menuju ke lift, yang amat jarang dipakai, hanya khusus untuk orang penting saja. Chandra hanya perlu mengatakan tujuannya pada seorang pria dewasa berpakaian khas pegawai restoran, dan pria itu langsung membantunya memakai lift.
"Kita ngapain ke sini, Pak? Kirain mau makan siang, gitu." Mishall membuka suara, dengan nada lebih bersahabat daripada saat masih di rumah tadi. Uh, dia benar-benar terlihat seperti setan sungguhan ketika meluapkan kekesalannya.
"Makan siang di sini? Hah! Sekali makan di sini, untuk satu orang saja, harganya bisa setara dengan gaji saya sebulannya. Saya jelas nggak mungkin nawarin kamu makan di sini."
Mishall tidak membalas lagi. Ia menunduk dan memasang wajah masamnya. Sampai, mereka tiba di lantai tiga. Terlihat, Arfan berdiri di depan lift, tampak ingin turun.
"Eh, lo dateng?" Arslan merengkuh punggung Chandra di sisi kosong sahabatnya itu. "Nggak bilang-bilang dulu kalau dateng!"
"Sorry. Gue juga dadakan datangnya, buat dia ini." Chandra menoleh ke arah Mishall yang hanya menyimak obrolan mereka.
"Kok kayak gue kenal ya nih cewek? Bentar-bentar!" Arfan memejamkan matanya, tampak berpikir keras mengulas memori otaknya. "Tapi dimana? Seriusan, kayak gue pernah liat deh mukanya."
"Di kelab," ujar Chandra yang langsung dibalas wajah berbinar dari Arfan.
"Ay iya. Dia ya, yang bikin lo akhirnya luluh juga sama j*alang." Arfan tanpa beban terbahak di hadapan sahabat dan objek obrolannya, menggema hingga ke sudut ruangan. Aman, karena tidak ada orang lain di sini selain mereka bertiga. "Terus apa sekarang? Mau nyoba sensasi di restoran VVIP gitu? Boleh. Gue kasih diskon 50%."
"Mulut lo bisa direm, nggak? Gue ke sini buat siswi gue ini. Ada kerjaan kosong di sini?"
"Kerjaan? Emang siswi lo itu nggak betah kerja layanin cowok? Kan enak, cepet dapat duit-siswi lo bilang? Murid lo gitu?" Arfan dari ceria tiba-tiba secara drastis berubah kaget. "Anjrit! Umur lo berapa?"
"Bukan urusan lo!" balas Mishall ketus pada Arham. Ia lalu menoleh malas pada Chandra. "Cari kerjaan, Pak? Seriusan? Enggak perlu. Saya males kerja di sini."
"Mishall! Ini solusi terbaik menurut saya, daripada kamu harus kerja di ranjang laki-laki hidung belang di luaran sana!" Chandra menatap tajam Mishall. Perempuan ini tadi bertanya solusi, kan?
"Nggak mau, Pak! Ish! Kalau temen saya liat, saya malu!"
"Terus, buka baju buat sembarang laki-laki nggak malu, gitu?"
"Beda lah, Pak. Yang itu privasi. Nggak ada yang ngenalin saya. Lah, ini, publik. Semua orang bisa liat saya kapan aja."
"Terus masalahnya apa? Kamu cuman layani pelanggan, antar minuman, makanan, nggak perlu buka baju! Astaga!" Chandra benar-benar habis pikir dengan pemikiran Mishall.
"Nggak mau!"
Ketimbang menghadapi istrinya yang sedikit memiliki gangguan jiwa, Mishall bebal ini jauh lebih memusingkan bagi Chandra.
"Bayangin. Salah satu pria yang sewa kamu ternyata orang tua murid. Terus pas ada acara sekolah, laki-laki itu lihat kamu. Emang kamu nggak malu, dianggap perempuan rusak sama orang lain?" Butuh kesabaran ekstra bagi Chandra untuk menjelaskan. "Mishall, setidaknya di sini, kamu bakalan dipandang terhormat sama orang lain. Saya cuman mau, kamu terlihat elegan, berkelas, berharga, di mata orang lain. Bukan sebagai perempuan yang siap buka paha untuk semua laki-laki. Saya cuman mau yang terbaik buat kamu."
Lawan bicara Chandra hanya bergeming, tidak tertarik. Sementara Arfan menyimak cengo.
"Gaji di sini juga tinggi, kok. Iya, kan, Fan?" Chandra mengalihkan fokusnya pada Arfan yang tersenyum geli atas pertengkaran guru-siswi tersebut.
"Sepuluh juta perbulan," jawab Arfan.
"Mishall ...." Chandra memanggil lagi. Namun, si siswi tetap diam dengan wajah angkuhnya.
Arfan semakin tersenyum melihat wajah frustrasi Chandra yang sangat ingin meluruskan jalan si siswi laknatnya.
"Lo bisa pake masker kalau mau, atau apa pun yang bisa nutupin identitas lo. Nama palsu mungkin." Maka Arfan angkat suara untuk membantu sahabatnya itu.
Ekspresi Mishall berubah seketika. Sedikit melunak dengan ekspresi ragu.
"Kalau lo gampang dilatih dan profesional dalam bekerja, cukup jadi pelayan VVIP. Lo bakalan jarang berinteraksi sama orang lain, dan gaji lo bisa aja sampai 15 juta perbulan." Tambahan penjelasan Arfan semakin membuat Mishall bimbang.
Chandra di tempatnya berdiri. Mengapa Arfan sangat mudah mempengaruhi gadis ini.
"Dia gengsi kerja rendahan, Chandra. Masa lo nggak paham, sih. Dia malu kalau ada yang kenalin dia cuman kerja sebagai pelayan restoran," jawab Arfan yang mahir mengenali ekspresi kebingungan Chandra. "Lo pasti ngaku dari orang kaya kan sama temen-temen kamu?"
Mishall salah tingkah di tempatnya. Ia menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, sehingga Chandra dengan cepat menangkap maksud Arfan.
"Lo bisa kerja mulai besok ... Mishall. Inget, gue cuman pekerjakan orang profesional. Jadi kalau cuman main-main, mau lo siapanya temen gue, bahkan sodara sekalipun, tetep nggak bakalan gue pertahanin kerja di sini." Arfan yang jenaka, tampak sedikit serius untuk peringatannya itu.
"O-oke. Aku bakalan profesional," jawab Mishall.
Senyuman Chandra melebar. Akhirnya .... Namun, ia tidak bisa langsung lepas tangan.
"Gue juga mau kerja part time di sini, Fan. Mulai besok gue kerja!" ujar Chandra.
"Lah, yang izinin lo siapa?"
"Halah, gitu amat lo sama temen sendiri!"
"Urusin noh, bini lo yang gila!"
Ekspresi riang Chandra seketika berubah. "Jangan bawa-bawa istri gue!" Tambahan ucapan tegas dari Chandra, membuktikan bahwa ia tidak suka pasangan hidupnya menjadi candaan Arfan.
Dari situ, Mishall diam. Dia awalnya mengira bahwa gurunya ini mendekat hanya untuk mendapatkan tubuhnya secara gratis. Namun, melihat bagaimana tegasnya Chandra mengenai sang istri, ia tahu, gurunya ini tidak main-main dalam masalah kesetiaan.
Jika demikian-Mishall memejam erat-Tuhan, kurangi detakan keras dalam d**a Mishall, yang khusus untuk gurunya ini.
***