Bab 4 : Pelajaran Pertama

1205 Words
Chandra mengetuk pintu dua kali, lalu menurunkan tangannya ke samping tubuh, menunggu reaksi. Namun, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibukakan, atau sekadar suara langkah kaki yang mendekat dari dalam rumah. Jujur saja, Chandra sedikit takut pulang ke rumah istrinya sekarang ini. Shila akhir-akhir ini mudah marah, dan terlalu banyak overthinking. Apalagi kemarin, ia malah menemukan video Chanda dan Mishall. Meski demikian, Chandra tidak bisa berdiam diri dan membiarkan Shila tenang sendiri. Apa pun. Apa pun akan Chandra lakukan untuk Shila. Seperti janjinya saat pertama kali menyatakan perasaan, seperti saat ia mengucap janji pernikahan, seperti keyakinan hatinya hingga sekarang ini. "Shila?" Chandra memberanikan diri untuk memanggil, disusul tiga ketukan dengan jarak waktu masing-masing 2 detik. "Aku boleh masuk?" Tidak ada jawaban setelah Chandra hening selama 30 detik. Melirik ke arah bagasi, mobil istrinya masih terparkir di sana. Gorden lantai dua juga terbuka. Berarti istrinya masih ada di dalam rumah, tetapi ia sedikit ragu jika harus sedikit agresif untuk membuka pintu tanpa izin. Istrinya yang kelewat sensitif itu bisa saja tersinggung dan langsung menyerang Chandra dengan senjata tajam tanpa berpikir matang. Maka, meski dengan matahari yang sedang terik-teriknya memberikan sengatan panas, meski dahaga sudah memintanya untuk segera pergi, meski perutnya terus mengirimkan sinyal agar segera diisi, Chandra tidak peduli. Setidaknya hari ini, ia mendapati keadaan hati Shila sedikit saja, lebih baik dari kemarin. Chandra hendak mengetuk lagi, tetapi pintunya terbuka begitu saja. Namun, bukan menyambut, Shila malah menghadiahi Chandra dengan dua koper yang masing-masing penuh oleh pakaian. "Jangan pernah muncul lagi di sini! Atau, aku serius, Chandra. Aku paling benci sama pengkhianat kayak kamu. Aku nggak bakalan pernah berpikir 2 kali buat b*nuh kamu kalau muncul lagi di rumah aku," kata Shila dingin, tanpa ekspresi di wajahnya. Tidak ada kemarahan yang menggebu, ia tampil dengan keadaan tak tersentuh. Merunduk, Chandra meraih kedua koper tersebut. Ia menjaga sifat tenangnya agar tidak memancing reaksi berlebihan dari Shila. Beginilah ia berusaha bertahan dengan pernikahannya selama ini. "Aku akan cari orang yang kirim video itu ke kamu. Bakalan aku b*nuh orang itu di depan kamu," ucap Chandra, meyakinkan. Sudut bibir Shila terangkat. "Untuk apa? Kamu memang selingkuh, kan? Setelah semua kenyamanan, fasilitas, kekayaan, aku kasih ke kamu, kamu malah berkhianat." Shila memejamkan matanya, dan Chandra mundur dua langkah. Dalam hitungan detik, Shila bergerak cepat mengambil pot bunga yang bercecer di pinggiran teras dan melemparnya pada Chandra. "M*ti, kamu, S*alan! M*ti! Manusia sampah! Manusia tidak berguna! M*ti aja kamu! Kenapa bikin aku jatuh cinta terus berkhianat kayak gini. M*ti kamu!" Shila berteriak tanpa terkendali, dan Chandra tidak bisa maju untuk menenangkan sama sekali. Ia hanya bisa mundur secara perlahan. Chandra lebih dahulu menghentikan taksi, dan mengarahkannya ke alamat Tristan, sementara ia sendiri menaiki motornya pergi dari tempat itu. Namun, di jarak 100 meter dari rumah Shila, Chandra berhenti sejenak. Berpikir, ini tidak akan bisa ia selesaikan sendiri. Chandra menelepon seorang wanita yang sejak 3 tahun terakhir tidak pernah ia hubungi. Psikiater harus berurusan lagi dengan Shila, karena traumanya kembali terulang. *** "Bapak kayak nggak pernah makan sebulan." Begitu komentar Mishall saat ia ikut bergabung duduk di ruang makan dengan semangkuk mie instan. Sebelumnya, Mishall juga membuatkan gurunya itu lebih dahulu. Chandra sedikit menaikkan kepalanya. Melirik sekitar yang sepi sejak pertama kali ia diizinkan masuk. "Orang tua kamu ke mana?" "Bapak ke sini buat laporan sama orang tua saya?" tanya Mishall sembari meniup-niup mienya. "Percuma, Pak. Mama saya malah ngedukung. Karena Mama saya juga nikmatin uangnya. Sekarang lagi ikutan arisan Ibu-Ibu sekitaran sini." Ia menyesap mienya dengan hati-hati. Masih panas. "Orang tua kamu yang minta kamu jadi ...." Chandra bergumam untuk menyensor pekerjaan terlarang tersebut, bagaimana pun, ia seorang guru. Harus memberikan contoh yang baik, pikirnya. Mishall mengangkat kedua bahunya. "Nggak. Mama ngelarang awalnya." Ia tertawa sarkas. "Tapi Mama nyatanya juga susah beradaptasi dengan keadaan baru ini. Mama lebih manja daripada aku hidupnya, jadi, ya diem aja karena pekerjaan ini. Nggak nolak, karena dia nikmatin juga. Nggak nyuruh juga, karena dia tetap mau jaga citranya sebagai ibu yang baik." "Nama Papa kamu siapa?" Chandra menyadari, bahwa sedari tadi, Mishall hanya menceritakan ibunya. "Tujuan Bapak nanya ini apa, sih? Ada untungnya gitu buat Bapak?" tanya Mishall, kesal. "Bapak ngajakin saya keluar buat apa? Kalau kayak semalam, nggak usah, Pak. Mendingan saya layani pelanggan daripada kemauan aneh Bapak itu." "Nggak aneh-aneh lagi kayak kemarin." Chandra meyakinkan. "Kamu cuman perlu temani saya menemui teman lama saya." "Oh ...." Mishall mengangguk-anggukkan kepalanya seolah mengerti. "2 lawan 1, ya?" "Apa?" tanya Chandra yang sepertinya memiliki pemikiran berbeda dengan perempuan di hadapannya. "G*ngb*ng." Sedetik setelah Mishall mengatakan jawaban tersebut, sebuah pukulan langsung mendarat di puncak kepalanya. "Saya nggak semesum itu," sanggah Chandra cepat. "Lagipula, di mobil itu yang terakhir. Saya. Nggak. Tertarik. Sama. Kamu!" Mishall hendak membuka mulut, tetapi Chandra lebih dahulu memotong. "Ingat kaya saya semalam. Alasan saya pantau kamu ini, supaya saya tau siapa yang ngirim video itu ke istri saya. Kalau saya nggak nemu pelakunya, berarti kamu yang kirim!" ucap Chandra penuh penegasan di tiap kalimatnya. "Setelah makan, kamu siap-siap. Jangan pakai pakaian terbuka, kalau nggak mau kena penyakit!" *** Saat makan siang tadi, semua ucapan Chandra hanya sejenis puzzle tanpa tujuan bagi Mishall. Namun, setelah sampai di sebuah rumah sakit, dan menemui seorang dokter yang merawat teman Chandra, ia akhirnya tahu, dan malah membuat Mishall memasang tampang malas. "Bapak bawa saya ke sini buat kasih saya ceramah gitu? Kalau pekerjaan saya ini bisa berpotensi punya penyakit HIV kayak temen Bapak ini?" tanya Mishall, ketika hanya tersisa mereka bertiga di ruangan; Chandra, Mishall, dan wanita yang terbaring lemah di tempat tidur. Wanita yang berusia sekitar 30-an itu terlihat pasrah dengan tubuh kurusnya, hanya menunggu waktu untuk nyawanya menjamu malaikat maut. "Saya tiap kerja selalu pake pengaman, jadi ...." "Yang sama saya kemarin pake pengaman?" potong Chandra. Mishall diam, kemudian tersenyum sarkas. "Emang Bapak sakit?" Chandra mengangkat kedua bahunya. "Melihat kecerobohan kamu itu, saya jadi ragu kamu bisa terapkan 'pengaman' itu setiap kerja, Mishall." "Nggak tau, Pak. Lagian, urusan nanti, ya nanti. Urusan sekarang yang lebih penting. Toh, p*lac*r atau bukan, tetap aja semuanya bakalan mati." "Bukan masalah itu. Temen saya ini bertahun-tahun menderita, Mishall. Sedikit demi sedikit, penyakit ini merusak anggota tubuh dari dalam. Hari ini kamu lumpuh, besok tidak bisa bergerak. Setiap hari, kamu merasakan sekarat, tapi nyawa kamu belum kunjung dicabut. Kamu tau gimana menderitanya orang yang kena penyakit ini?" Mishall tampak tak acuh. "Tinggal b*nuh diri. Saya nggak bakalan tersiksa." Chandra mendesis kesal. "Kalau ada salah satu pelanggan kamu yang menulari kamu, dan kamu menulari pelanggan kamu yang lain. Memang kamu tidak merasa berdosa, Mishall? Kamu tidak punya hati sedikit saja? Karena melalui perantara kamu, mereka jadi tersiksa seperti temen saya ini." "Ya itu resiko mereka, Pak. Pelanggan saya semuanya dewasa, bisa mikirin mana yang pilihan, mana kewajiban. Kewajiban mereka memang menghindari p*lac*an kayak saya ini, tapi mereka malah milih buat jadi pelanggan saya. Ya, itu urusan mereka. Saya cuman perlu nerima uang mereka, bantu ngeluarin benih mereka, udah." Chandra menggaruk kepalanya frustrasi. Perempuan yang ia hadapi sekarang terlalu keras kepala. Cara ini tidak terlalu manjur untuk membuatnya sadar. "Udah mulai larut, Pak," mata Mishall. "Ada pelanggan saya yang lain. Kalau nggak penting, saya pergi." "Nggak. Nggak boleh. Saya sewa kamu malam ini, dan malam seterusnya selama 1 bulan." "Eh, kok, Pak?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD