Dave melangkahkan kaki dengan pasti di lobi utama kantor miliknya pagi ini. Sekretarisnya menjadwalkan pertemuan dengan seorang kolega bisnis dari Kuwait. Mereka hanya memiliki waktu di pagi hari, jadi laki-laki itu pun berusaha menyesuaikan diri.
Dave masuk ke dalam lift khusus dan naik ke lantai tiga puluh lima bersama dengan sejumlah senyuman dan itu semua tentu saja karena Sasha Williams, wanita yang akan ia nikahi.
Ya, Dave memang sudah memiliki tunangan. Hubungan mereka berawal dari sebuah ikatan bisnis, tetapi kini ia begitu menikmatinya.
Sasha adalah seorang wanita yang baik dan perhatian, bahkan hingga detik ini Dave belum mendapatkan satu kesalahan fatal pada dirinya. Sasha mencintai Dave dengan tulus, jadi ia pun belajar mencintainya. Belajar mencintainya? Ya, Dave masih berada pada bagian tersebut. Ia bukan seorang pria yang mudah jatuh cinta, terlebih kisah asmaranya begitu menyakitkan dulu.
Pernikahan Dave Brown dengan Kimberly Jhonson dibatalkan sepihak oleh Ayah Kim, dan itu sungguh membuat jiwanya sulit untuk merangkak naik. Oh, Kim. Entah mengapa ketika mengingat tentang Sasha, Dave selalu saja membawanya masuk kembali pada kenangan itu.
“Apa yang kau pikirkan, Dave? Kau benar-benar pria yang t***l, jika kali ini kau membuat Sasha pergi dari hidupmu hanya karena bayangan masa lalumu,” batin Dave setelah lift sudah sampai di lantai tiga puluh lima.
Alhasil, secepat kilat Dave memasukkan kembali ponsel di tangannya ke dalam saku setelan kerja yang melekat di tubuhnya.
“Selamat pagi, Tuan Brown. Tuan Saeed Al Qebaisi dan rombongannya sudah sampai di Newark Internasional Airport. Setengah jam lagi pertemuan akan dilaksanakan, jadi sudah sejak tadi tim kita melakukan berbagai persiapannya di ruangan rapat.”
Sekretaris pribadi Dave menyapa dan menjelaskan beberapa hal mengenai rencana rapat saat tuannya tiba di depan pintu ruangan kerjanya, jadi yang bisa Dave lakukan adalah mendengar dan memberi tanggapannya, “Ah ya, Lucy. Aku akan menyiapkan diri dengan baik.”
“Iya, Tuan. Saya akan siapkan kopi untuk—”
“Tidak perlu. Aku sudah sarapan, Lucy. Semalam aku bermalam di apartemenku bersama Sasha. Terima kasih.”
Lucy menawarkan segelas kopi untuk Dave seperti biasanya, tetapi laki-laki itu menolaknya. Hal tersebut tentu saja karena Dave sudah sarapan pagi tadi bersama Sasha dan sang sekertaris tak lagi berkata apa pun selain tersenyum, setelah tuannya berkata demikian.
Dave lantas membuka pintu kaca di ruangan kerjanya dan masuk ke dalamnya. Di atas meja kerjanya, seperti biasa Lucy sudah menaruh beberapa tumpukan berkas yang harus ia tandatangani.
Alhasil, setelah Dave meletakkan tas kerjanya di sisi kanan komputer, secepat kilat ia meraih satu demi satu berkas tersebut dan membubuhkan tanda tangannya.
Aktivitas Dave tak lama kemudian terhenti saat mendapati sebuah amplop cokelat di antara tumpukan berkas yang tertera nama instansi Pengadilan Negeri Federal Amerika Serikat untuk Daerah Timur New York.
Jadi yang bisa Dave lakukan adalah segera merobek sedikit sisi kanan dari surat tersebut sembari bergumam, “Surat apa ini?”
Dave pun secepat mungkin membaca kata demi kata dari surat itu sembari mencernanya dan sungguh jantung laki-laki itu tiba-tiba saja berdegup kencang, setelah mengetahui seluruh isinya.
Tanpa sadar dua pertanyaan pun lolos begitu saja dari bibir Dave, “Surat panggilan sidang pertama? Wow, cepat sekali. Apa Tuan Andrew yang mengirimnya? Sebaiknyaku tanyakan saja hal ini padanya.”
Tanpa ragu lagi, Dave pun mengambil kembali ponsel yang tadi ia letakkan di dalam setelan kerjanya. Kedua ibu jari Dave berselancar bebas di atas layar, untuk menghubungi Tuan Andrew yang sejak beberapa tahun lalu menjadi pengacaranya.
Pada nada tunggu yang ketiga, Andrew sudah mengangkat panggilan telepon dan menyapa Dave seperti biasa, “Halo, Tuan Brown. Bagaimana kabar Anda?”
“Baik, Tuan Andrew. Apakah Anda yang mengirimkan surat dari Pengadilan Pengadilan Negeri Federal Amerika Serikat untuk Daerah Timur New York ini? Aku sudah membaca semua isinya dan aku juga akan hadir di persidangan pertama itu nanti!” Namun, yang Dave lakukan adalah sebaliknya.
Tanpa memedulikan sapaan Tuan Andrew, Dave sudah lebih dulu melontarkan isi pikirannya. Entah mengapa laki-laki itu merasa sedikit bahagia mendapatkan kabar seperti ini, padahal sudah jelas perceraian adalah hal yang sangat dihindari oleh sepasang suami istri.
“Baiklah, Tuan Brown. Aku akan menghubungi Anda, jika hari itu sudah tiba nanti.”
“Oke. Aku menunggu kabar dari Anda selanjutnya.”
Saat obrolan Dave benar-benar sudah berakhir dengan pengacaranya, entah mengapa satu demi satu potongan masa lalu yang ia lalui dengan Kim terulang kembali.
“Kimberly Jhonson. Sedang apa dia saat ini? Bagaimana dengan surat itu? Sudahkah dia membacanya? Apa reaksi yang ia tunjukkan?” Sejumlah pertanyaan, bahkan muncul satu demi satu, seperti titik hujan yang jauh dari atas langit.
Sisa berkas yang harus Dave tanda tangani pun tak lagi ia pikirkan, “Bawa aku pergi dari sini, Dave! Cepat bawa aku pergi!”
“Kau tak perlu khawatir, Sayang. Aku akan bicara baik-baik dengan Tuan Jhonson. Aku yakin ayahmu akan menerimaku sebagai menantunya.” Sebab tiba-tiba saja Dave kembali mengingat kata-kata yang Kim ucapkan padanya.
Tak sampai semenit kemudian, perasaan Dave yang kacau kini semakin menjadi-jadi saat ia mengingat bagaimana kalimat yang diucapkan mendiang Tuan Jhonson, “Aku mengadopsimu bukan untuk menjadi menantuku, Dave! Apa kau tidak ingat dari mana kau berasal! Lagi pula Kim masih harus melanjutkan pendidikannya di New York, jadi jangan coba-coba kau mengganggunya lagi dengan semua omong kosongmu itu! Pernikahan ini harus dibatalkan, karena sampai kapan pun juga kau tidak akan pernah bisa menjadi menantu di keluarga Jhonson!”
Dave bahkan mengamuk seperti raja rimba yang sedang kelaparan di musim kering, hingga melemparkan pajangan papan namanya ke sebuah lukisan, “s**t! Argh!”
Prank!
Sampai-sampai sekretaris Dave yang bernama Lucy itu pun segera menghampiri ke dalam ruangan kerjan Tuannya dan begitu panik di sana, “Astaga! Ada apa ini, Tuan? Mengapa Anda—"
“Keluar!” Satu tangan Dave lantas terangkat ke atas, menunjuk ke arah pintu sebelum ia mengusir Lucy.
“Tuan—”
“Aku bilang keluar, Lucy! Siapkan materi rapat dan notulennya dengan baik, karena aku sebentar lagi akan pergi ke sana!” potong Dave dan Lucy pun benar-benar menghilang dari hadapannya, setelah sekali lagi laki-laki itu membentak dan berbicara tentang persiapan rapat yang dilaksanakan pagi ini.
Dave yang tampak semakin kacau, memilih untuk masuk ke dalam toilet di ruangan kerjanya. Di depan kaca wastafel, ia menatap dirinya lekat-lekat di sana dan yang didapatkan masih saja sama. Api kemarahan yang membumbung tinggi terlihat jelas di matanya. Namun, entah mengapa rasa amarah itu belum bisa Dave lampiaskan secara langsung pada Kim.
Kim masih saja menjadi pusat utama di dalam isi kepala Dave hingga kini, kendati Sasha sudah menjadi wanita yang selalu berada di sampingku.