Sakira dan Axton berada di ruang kerja pria itu, sedang membicarakan tentang rencana mereka untuk membalaskan dendam Kira dan merebut kembali semua miliknya termasuk anak yang dia lahirkan. Tega sekali Dio mengatakan anaknya telah mati. Lihat saja dia akan membalas semua sakit hatinya.
Sementara itu di tempat lain, Dio sedang menggendong anaknya yang sedang menangis. Sheila sama sekali tidak mau mengasuh anaknya itu. Pelayan sedang membuatkan s**u untuknya. “Sst, Sayang jangan menangis, sabar ya, Mbak sedang membuatkan s**u untuk kamu.”
Bayi yang baru berusia beberapa minggu itu terus menangis tidak mengerti kalau ayahnya saat ini sedang menahan emosinya. Dio sudah pegal dan pusing mendengar tangisan bayi tersebut. Begitu pelayan datang membawa s**u, Dio segera menyerahkan bayi itu padanya.
“Tolong Mbak urus dia, saya lama-lama pusing dengar dia nangis!”
“Iya, Tuan.” Ani menerima bayi itu, dia menggendongnya dengan lembut dan hati-hati. Dio langsung pergi begitu saja.
“Kasihan sekali kamu, Nak. Jangan khawatir ada Mbak Ani di sini yang akan menjaga kamu.”
Ani langsung memasukkan dot ke mulut sang bayi, bayi tersebut dengan cepat menyedotnya, sungguh Ani ingin menangis melihatnya. Andai ada nyonya Kira di sini.
Ani ingat ketika dia tak mendapati nyonyanya di kamar perawatan. Dia langsung panik dan memanggil perawat. Mereka lalu bersama-sama mencari ke seluruh penjuru, tatapi sosok Kira tidak ditemukan. Beberapa orang bahkan mencarinya ke luar di sekitar rumah sakit. Ani terpaksa menelepon tuannya untuk memberi tahu dan mencari Kira.
Namun, tanggapan tuan Dio membuat Ani terpaku dan menyadari kalau tuannya memang tidak peduli lagi pada istrinya itu. Besoknya tuan Dio membawa pulang bayinya. Tak ada raut kehilangan atau khawatir pada wajah tuan Dio. Tak ada pencarian untuk nyonya Kira, semua berlalu begitu saja.
Sheila, wanita itu sudah berlagak nyonya di rumah ini, semua barang Kira dia singkirkan kecuali barang-barang mahal. Semua foto Kira dibuangnya dan dibakar. Wanita itu tak ingin ada jejak Kira di rumah ini.
Bayi itu kembali menangis membuyarkan lamunan Ani tentang orang tua si bayi. Dia segera membawa bayi itu ke kamar anak, Sebelum tuannya marah mendengar tangisan anaknya.
***
“Jadi, menurutmu aku harus kembali ke rumah itu?” tanya Kira tak percaya.
“Iya, kalau kau ingin bertemu anakmu, dan mengambil semua kembali.”
“Bukankah itu namanya aku menggali kuburan sendiri?”
“Sejak kapan, Sakira yang kukenal jadi pengecut?”
“Aku bukan pengecut! Aduh!” Kira memegang payudaranya yang terasa nyeri.
“Ada apa?” tanya Axton khawatir.
“Sakit sekali, rasanya sampai ke tulang.”
“Ya, itu karena ASImu tidak dikeluarkan, harusnya kau berikan untuk anakmu. Aku lupa membeli pompa ASI.”
“Kau tahu maslah seperti ini.” Kira takjub Axton bisa tahu hal-hal seperti ini.
“Aku baca-baca di internet.”
“Iya, mungkin anakku sekarang sedang ingin ASI.”
“Bagaimana kalau aku saja yang menggantikan anakmu? Sayang kalau dibuang. Buat aku saja dan tidak perlu pakai pompa, maka kau tidak akan kesakitan lagi.” Axton memasang wajah tengilnya.
“Itu sih maunya kamu, aku yang rugi!” Kira menonjok bahu Axton. Lelaki itu tertawa geli. Axton memanggil pelayan untuk membelikannya pompa ASI.
“Kembali ke topik, Kau harus pura-pura amnesia, dengan begitu kau akan aman. Aku yakin kau akan tahu apa yang harus kau lakukan sesampainya di sana. Aku akan memantaumu dari sini, akan kutempatkan beberapa orang di sekitar rumah itu, jadi jika kau butuh bantuan kami bisa bergerak cepat.”
“Baiklah, aku juga ingin bertemu anakku,” jawab Kira yakin.
“Ingat kau pura-pura amnesia jangan menunjukkan emosimu di depan mereka.”
“Iya.”
Mereka kemudian membicarakan skenario mereka untuk Kira bisa masuk ke dalam rumah itu. Kira tidak mungkin langsung datang ke rumahnya dan mengetuk pintu lalu bilang ‘hai’. Mereka akan curiga kalau ingatan Kira sudah kembali. Jadi dia dan Axton merancang skenario pertemuan yang tidak terduga.
Kira berdiri di mana banyak orang berlalu lalang. Membeli kebutuhan mereka pasar tradisional. Kira hafal jadwal Mbak Ani ke pasar, jadi dia di sini berdiri di dekat jalan yang akan dilalui Mbak Ani. Berlagak bingung dengan penampilan yang kucel, baju kotor dan rambut gimbal.
Dia sudah ada di sini sejak setengah jam yang lalu. Dia tahu banyak yang memperhatikannya, mungkin merasa aneh dengan penampilannya yang seperti orang gila. Kira, menunggu dengan sabar kedatangan Ani.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Ani melangkah menuju ke arahnya, tetapi wanita itu melewatinya begitu saja. What, apakah penantiannya akan sia-sia? Dia harus melakukan sesuatu agar Ani sadar akan keberadaannya.
Kira kemudian mengikuti Ani, ketika Ani berhenti di depan toko bawang dan cabai, Kira berhenti di toko sebelah dan mengambil tomat segar. Alhasil pemilik toko tomat marah dan menyuruhnya mengembalikan tomat itu. Kira memelas dan memohon meminta tomat itu.
Keributan yang terjadi menarik perhatian Ani, dia menoleh dan melihat seorang yang kucel sedang dimarahi oleh pemilik toko. Karena merasa iba, Ani berniat membelikannya. Dia menghampiri wanita itu.
“Mas, biar saya yang bayar tomatnya!” serunya pada pemilik toko. Ani lalu menatap wanita tersebut yang menunduk melihat ke arah tomat.
“Mbak, mau tomat berapa banyak?” tanya Ani.
Kira menoleh pada Ani. Pandangan Ani seperti sedang meneliti wajahnya. Beberapa saat kemudian mata Ani terbelalak.
“Nyonya Kira!”
Kira pun berlagak terkejut, dia lalu hendak pergi dari tempat itu. Ani dengan cepat menahan Kira.
“Nyonya, ke mana saja, kami mencari Nyonya?” Kira diam tidak menjawab Ani, dia terus menunduk seolah takut pada Ani.
“Nyonya, kenapa bisa begini?” Mata Ani berkaca-kaca melihat Kira. Dia sungguh tak tega melihat majikannya yang dulunya selalu tampil rapi dan cantik dengan baju mahal kini terlihat kucel tak terurus seperti gembel.
“Permisi.” Kira melepaskan tangan Ani.
“Tunggu, Nyonya! Sebaiknya Nyonya ikut saya, ya. Tapi tunggu sebentar saya belanja dulu. Nyonya ikut saya aja.”
Ani pikir jika ditinggal maka Kira akan kembali hilang, lebih baik dia bawa saja Kira belanja. Ani akan membawa pulang Kira, bukan untuk tinggal di sana, karena dia tak tahu apakah tuannya akan mengizinkan. Ani hanya akan memandikan Kira dan mengganti bajunya, walau bukan baju mahal setidaknya lebih layak dibanding yang Kira pakai.
Kira mengangguk lalu kembali menunduk. Dia mengikuti ke mana Ani pergi. Rasanya melelahkan bagi Kira, ternyata belanjaan Ani lumayan banyak.
Selesai belanja Ani benar-benar membawa Kira. Mereka pulang menaiki taxi online. Ani tak mungkin memakai ojek online atau angkutan umum dengan pemandangan Kira seperti itu.
Sesampainya mereka di rumah, wajah takjub Kira terlihat oleh Ani. “Kasihan Nyonya lupa ingatan, bahkan dia tidak tahu kalau ini rumahnya sendiri,” batin Ani.
“Ayo, Nyonya kita masuk lewat belakang, jangan sampai dilihat tuan dan pacarnya.”
“Oh, jadi mereka belum menikah, tapi udah tinggal bersama. Aku tidak rela rumahku dijadikan tempat untuk kumpul kebo!” geram Kira dalam hati.
Ani menarik tangan Kira melewati pintu samping yang langsung menuju dapur. Wanita itu menyimpan belanjaannya di atas meja kitchen set lalu menarik Kira ke kamarnya.
“Nyonya sekarang mandi, ini handuknya. Terus bajunya saya simpan di atas kasur ya. Saya mau membereskan belanjaan tadi.” Ani mendorong Kira ke kamar mandi, kebetulan kamar Ani terdapat kamar mandi di dalam, kemudian Ani menutup pintu kamar mandi.
Kira tersenyum miring begitu pintu tertutup. Akhirnya dia berhasil masuk ke rumahnya. Kira melihat kamar mandi yang hanya berukuran sekitar dua kali satu meter persegi. Jauh lebih kecil dari kamar mandinya. Satu buah ember yang berada di bawah keran. WC jongkok biasa dan paku di dinding untuk menggantung handuk atau pakaian.
Kamar mandi ini sangat sederhana. Kira tak ada waktu untuk meratapi kamar mandinya yang tidak nyaman. Dia harus segera mandi.