TUBUH Olivia masih mematung di tempat, bahkan ketika tangan Dion menggenggam lengannya yang ramping ketika menyeretnya keluar dari ruang BK, rasanya kaki Olivia juga terasa begitu sulit untuk di gerakkan.
Pikirannya masih berkelana, ia takut jika Dion menghukum dirinya dengan pekerjaan berat. Olivia menyesal menonjok wajah cowok itu jika seperti ini ujung-ujungnya.
"Gue mau pergi," ujar Olivia ketus seraya menghempaskan tangan kekar Dion yang sedari tadi membungkus lengannya yang ramping.
"Hukuman lo berlaku mulai sekarang!" Dion tersenyum sinis, langkah Olivia terhenti, kemudian berbalik badan seraya memancarkan kilatan api disepasang matanya.
"Nggak!" Olivia bersiap berbalik badan, namun langkahnya terkurung kembali saat Dion berbicara, kali ini membuat tangan Olivia terkepal penuh.
"Siap-siap aja lo bakal gue laporin ke pak Tatang. Gue laporin sekarang aja gimana?" ucap Dion, tersenyum licik hingga Olivia mendengus kasar. Cewek itu menyeret kakinya mendekati Dion.
"Mau lo sekarang apa ha?!" Setelah berhenti tepat dihadapan cowok itu, dagu Olivia terangkat tinggi.
Sebuah senyuman merekah terpatri dikedua sudut bibir Dion. Olivia masih menatap wajah cowok itu dengan lekat. "Ikut gue ke suatu tempat."
"Ke mana?"
"Ikut aja, nanti lo juga tahu kok," jawab Dion santai.
"Kalo gue nggak mau gimana?" tantang Olivia.
Dion mendekati Olivia, lalu meraup tangan cewek itu, menggenggamnya begitu erat. Dion kemudian mengangkat tinggi-tinggi tangan Olivia yang sudah terkurung dalam genggamannya. Spontan Olivia terkesiap, bingung akan tindakan Dion.
Olivia memilih memandangi ke arah lain, penyakit jantungnya kembali kumat. Degupan menggila datang dan menyelisik benaknya lagi.
"Harus mau, kalo pun lo mau ngebet pengin pergi sekarang, percuma aja."
Mulut Olivia terbuka dan akan segera membantah, namun pergerakan Dion yang tiba-tiba menarik tangannya membuat Olivia tersentak, tentu saja kalimat yang akan ia lontarkan terpaksa ditelan kembali.
"Mau ngapain sih?"
"Nggak usah cerewet."
"Lo kok hobi banget nyeret-nyeret gue dari kemarin."
Dion mendelik sebal, tapi kakinya masih terus melangkah, "sekali lagi lo ngomong, terpaksa Lo bakal gue cium."
Olivia kesal, Dion menyeretnya seperti seorang ayah yang menyeret anaknya pulang ke rumah karena belum makan dan keasyikan main. Tangan Olivia sudah gatal, rasanya ingin meninju rahang Dion untuk kedua kalinya.
Olivia menantang, "cium aja kalo berani," ujarnya kencang.
Langkah Dion terhenti, ia menoleh ke belakang dengan pandangan menyidik ke Olivia. Ekor mata mereka saling beradu. Dan tiba-tiba saja Dion mendekatkan wajahnya ke arah wajah Olivia, kemudian mendaratkan bibir merah muda alaminya ke pipi Olivia. Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Olivia membatu, ingin berkata tetapi lidahnya mendadak mati rasa. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah menatap Dion yang tersenyum kecil dengan bola matanya yang melebar.
"Satu hal yang harus lo tahu, gue nggak pernah main-main sama ucapan gue."
Tanpa menunggu jawaban dari Olivia, Dion sudah kembali menyeret cewek itu, otomatis kaki Olivia ikut bergerak karena Dion masih menggenggam tangannya begitu erat. Nyali Olivia menyiut, mendadak ia tidak mampu untuk berkata-kata. Otaknya masih berkelana pada peristiwa beberapa menit lalu, yang entah kenapa jantungnya melompat kian kencang.
Satu tangannya Olivia gerakkan dan menyentuh permukaan pipinya yang tadi di cium oleh Dion, rasanya hangat.
* * *
"Kenapa lo ngajak gue ke UKS lagi?" tanya Olivia
"Karena lagi dan lagi elo bikin gue babak belur. Asal lo tahu, tindakan lo ini udah ke tingkat kriminal. Bisa mati gue kalo tiap ketemu, lo selalu ngelempar jurus amukan." Dion menarik napas untuk mengatur pernapasannya, lalu ia melanjutkan, "Lo cewek beneran atau cowok yang nyamar sih? Alias banci?"
Tepat saat itu pula, Dion meringis menahan sakit karena Olivia sudah kembali menonjok rahangnya tepat di area yang sebelumnya cewek itu lepas-landaskan. Astaga, mulai detik ini Dion harus berhati-hati dalam berucap, cewek di hadapannya ini sungguh ganas.
Dion mengumpat, "Tambah sakit b**o!"
"Kenapa, nggak terima?" Olivia tidak gentar untuk berkomentar. "Lo ngajak gue ke sini mau maksa gue buat obatin luka tonjokan lo itu, kan?"
Dengan bodohnya, Dion mengangguk. Seulas senyuman kecut terbit di kedua sudut bibir Olivia.
"Kalo gitu, gue tambah satu lagi."
BUK!
Satu tinjuan kembali mendarat, kali ini di permukaan perut Dion. Cowok itu meringis sambil mengumpat kata-kata kotor. Ia memegangi perutnya yang terasa begitu nyeri. Dengan santainya, Olivia berlalu dari hadapan Dion tanpa ada niatan untuk membantu cowok itu.
Olivia berjalan cepat menjauh dari sana, telinganya masih dapat menangkap suara Dion yang memanggil-manggil namanya dengan lantang. Olivia tersenyum kecut, mengendikkan bahu, dan memilih untuk tidak menghiraukan Dion.
Setelah sampai di ambang pintu kelasnya, Olivia berhenti, kepalanya menoleh ke belakang dengan kedua alis naik.
"Di tujukan kepada siswa dengan nama Olivia Kharisma di harapkan pergi ke ruang BK sekarang."
Olivia berdesis, ia mencoba tak menghiraukan dan kembali masuk ke dalam kelas. Namun, pengumuman itu kembali berbunyi hingga Olivia kesal sendiri. Kakinya mengentak-entak di lantai. Mau tak mau Olivia harus kembali ke ruangan keramat itu. Jika tidak, sudah dipastikan ia akan mendapatkan masalah yang lebih berat.
Saat di tengah perjalanan, Olivia teringat akan Dion. Matanya membulat dan darahnya mengalir lebih cepat. Ini pasti tidak akan salah, Dion pasti mengaduh pada pak Tatang lagi. Olivia berdecih singkat.
"Dasar cowok pengadu!"
Olivia segera masuk ke dalam ruang BK untuk kedua kalinya pada hari yang sama. Setelah masuk, Olivia di kejutkan oleh kehadiran seseorang yang sudah duduk di hadapan pak Tatang. Orang itu menatap Olivia dengan seringai tipis di bibirnya, Olivia tidak bisa menepis perasaan terkejutnya. Ia memandangi orang itu lumayan lama sebelum akhirnya ia memandangi Pak Tatang yang menyuruhnya duduk.
Kembali Olivia melirik orang di sampingnya ini. Tebakan Olivia kali ini salah besar, bukan Dion yang kembali melapor dirinya ke ruangan ini.
Olivia mencoba berpikir kritis mengapa orang tersebut berada di sini. Di sela-sela ia memutar otaknya, suara dari pak Tatang menyambutnya.
"Olivia, kamu memang siswi paling nakal di sini." Olivia mendongakkan kepalanya ketika Pak Tatang berucap tegas dengan raut wajah kecewa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tapi—"
Pak Tatang mengangkat satu tangannya, memberi instruksi agar Olivia diam. "Bapak nggak mau denger alasan apapun lagi, kamu memang bebal. Terpaksa bapak akan beri kamu skors selama tiga hari."
Detik itu juga tubuh Olivia bergetar, ia menukas, bermaksud membantah. "pak, nggak bisa gitu dong, kenapa harus skors?"
"Karena kamu udah banyak buat masalah," jawab Pak Tatang santai.
"Iya Pak, beri skors aja tuh. Dulu saya juga pusing ngadepin murid satu ini."
Tatapan Olivia beralih menatap seseorang yang menyeletuk secara tiba-tiba. Mata Olivia memicing, kemudian ia teringat. Dia Bu Jihan, guru BK-nya waktu Olivia masih kelas sebelas. Olivia hanya meringis sesat, kemudian kembali memusatkan perhatiannya pada Pak Tatang.
"Pak plis dong jangan hukuman itu, bersihin toilet aja gimana?" tawar Olivia dengan mimik wajah memelas berharap agar guru cungkring di hadapannya ini luluh.
"Keputusan bapak nggak bisa diganggu gugat lagi, semuanya udah bulat. Sesekali aja biar kamu kapok."
Olivia mengerucutkan bibirnya, ia pasrah. Pandangannya lalu berpindah ke seseorang yang duduk manis di sampingnya. Dalam satu tarikan napas, Olivia memberi sinyal permusuhan.
"Lo nggak tahu sekarang lagi berurusan sama siapa. Sekali lagi lo berani berbuat macam-macam sama gue, siap-siap aja dalam waktu bersamaan lo akan tanggung akibatnya," bisik seseorang itu lagi tepat di telinga Olivia. Setelah selesai berucap, ia memundurkan kepalanya dengan seringai yang membuat Olivia muak melihatnya.
Berani-beraninya Brisia ngelaporin gue ke BK, emang gue takut sama ancaman lo itu? Nggak akan!