“Siang ini, tepat pukul dua belas, mereka akan datang lagi.”
Kali ini wajah Sunny terlihat serius. Ia berkata pada July dengan jarak dekat. Rupanya, selain bisa melihat atau mengintip situasi di luar rumah dengan hanya menjentikkan jarinya yang lentik itu, Sunny juga tahu kapan mereka akan datang.
“Berati malam ini kita aman?” tanya July padanya, mengingat hari memang sudah larut. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
“Tengah malam ini akan ada gangguan, tapi kau tidak perlu khawatir. Tidak semengerikan sebelumnya.”
July memang tidak sepenuhnya mengertinucapan Sunny padanya malam itu, hanya saja ia menarik kesimpulan bahwa setidaknya malam ini ia akan tetap aman karena Sunny ada di sampingnya.
“Lelaki yang aku ceritakan sebelumnya....”
Sunny belum menyelesaikan perkataan, kata-kata yang keluar dari bibir nya itu tersendat. Sementara itu July sepenuhnya fokus pada perempuan yang masih duduk di hadapannya itu. Akhirnya, setelah menunggu beberapa waktu, July mengeluarkan pertanyaan pada Sunny.
“Siapa?”
Ia tidak mengerti siapa yang Sunny maksud. Apakah Dave yang tadi kabur dari pandangan mereka berdua dan entah ke mana perginya, atau siapa?
“Yang sama sepertimu.”
“Manusia sepertiku?”
July kembali bertanya. Ia baru tahu kalau ada orang lain selain dirinya di tempat ini. Ia menatap wajah Sunny yang eksotis. Sementara gadis itu malah memalingkan wajahnya, berjalan ke arah rak-rak yang berjajar rapi di ruangan depan yang terletak jelas di dekat perosotan yang merupakan pintu masuk dari kamar July, tempat satu-aatunya yang memiliki koneksi langsung menuju dunia luar yang tak lain adalah halaman belakang rumahnya.
July turut memalingkan wajah. Mengikuti ke arah di mana gadis itu berdiri.
“Kau mau?”
Gadis itu memegang sesuatu, menyodorkan ke arah July yang masih duduk di bangku, tapi dapat melihat tubuh gadis itu yang berdiri di depan rak. Ia mengacungkan sebuah bungkusan yang terlihat familiar bagi July. Lelaki itu berpikir kalau ia pernah melihat bungkusan itu, bahkan sering. Tidak menunggu jawaban dari lelaki yang masih memperhatikannya dari bangku di ruang sebelah yang hampir tak bersekat, Sunny kembali mengeluarkan kata-kata.
“Benar juga, manusia sepertimu tidak akan makan yang seperti ini,” katanya sambil membawa satu buah bungkusan tersebut lalu kembali ke bangku kosong di hadapan July yang sebelumnya ia duduki. Sementara July menatapnya keheranan. Lelaki itu tak henti-hentinya memandangi bungkusan yang kini tengah di genggam Sunny. Gadis itu membuka bungkusan berwarna cokelat tersebut hanya dengan gerakan jarinya yang perlahan-lahan. Secara ajaib, tanpa perlu gunting atau pisau untuk merobek bungkusan tersebut. Bungkusan cokelat itu terbuka, memiliki lubang yang rapi.
Sunny mulai memasukkan sesuatu yang ada di dalamnya ke dalam mulut. Bentuknya seperti gumpalan-gumpalan berwarna cokelat kehijauan. July, yang rupanya sedari tadi masih memperhatikan gadis itu memasang wajah yang terlihat jijik. Bukan, bukan jijik. Hanya wajah yang terlihat seolah-olah berkata, “Apa kau serius?”
“Kenapa kau makan itu, Sunny?”
July segera menyadarinya. Bungkusan yang ada di tangan gadis itu adalah sebuah kantong pupuk yang biasa ia beli untuk bibit bibit tanamannya di Zen garden. Gadis itu memakan pupuk yang berbentuk gumpalan itu dengan begitu nikmat seperti sedang memakan keping-keping biskuit.
“Kenapa kau terlihat begitu terkejut?”
Sunny balik bertanya kepada July. Ia mengedipkan matanya berkali-kali, kemudian kembali mengambil gumpalan pupuk lagi di dalam bungkusan tersebut. Setelah itu ia menaruhnya di atas meja.
“Itu memang makananku, July. Kau lupa kalau aku ini sejenis tanaman?”
“Ya... yang hidup seperti manusia,” jawab July yang disusul dengan ekspresi dari Sunny yang terlihat mengangkat ke dua bahunya.
“Jadi, kau tidak makan makanan yang sama sepertiku?” tambah July. Lelaki itu penasaran, apakah Sunny, gadis yang duduk di depannya itu hanya akan memakan pupuk dan meminum air saja.
“Tergantung,” jawab Sunny singkat.
Beberapa waktu, mereka berdua terdiam. Sunny berjalan menuju kran air dan mulai menengadahkan tangannya untuk minum. Sementara July menunggunya selesai untuk mengajukan kembali pertanyaan padanya.
Sesaat setelah Sunny terlihat sudah selesai dengan apa yang ia lakukan, akhirnya July mulai bertanya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Sunny,” ujarnya dengan mata yang tidak lepas dari kegiatan apapun yang dilakukan oleh Sunny. July terus saja memperhatikannya secara refleks. Entah saat Sunny sedang mengambil bungkusan pupuk, ketika gadis itu mulai memakannya, ketika ia bangkit dan membuka keran, bahkan saat Sunny hanya duduk berhadapan dengannya. Bagi July, Sunny adalah hal unik yang belum pernah ia temui sebelumnya. Jadi, wajar saja jika pandangan mata lelaki itu tak pernah lepas dari Sunny.
Sunny mendongakkan kepalanya sekali, seolah ia bertanya kembali pada lelaki yang masih duduk di bangku itu sejak tadi, ‘Pertanyaan yang mana?
“Orang yang sepertiku itu, apa dia terdampar di luar? Bersama makhluk-makhluk itu?”
“Hmm. Mungkin?”
Jawaban yang keluar dari mulut Sunny membuat July melirik tajam.
“Ayolah, jelaskan padaku. Apa dia tersesat di luar sana? Kenapa dia harus mengetuk pintu rumahku juga? Meminta pertolongan?”
Pertanyaan demi pertanyaan memberondong Sunny yang malah terkekeh dibuatnya. Berbeda dengan Anne yang sering kali kesal karena July yang banyak tanya, gadis itu malah tertawa.
“Karena dia bagian dari mereka, July. Siapa pun yang tak bisa kembali pada tempatnya, akan menjadi bagian dari mereka.”
July menelan ludah. Merasa ngeri seketika begitu mendengar penjelasan singkat Sunny padanya.
“Jadi, dia tidak mati?”
Sunny kembali merogoh bungkusan cokelat yang beberapa waktu lalu ia taruh di atas meja, mengambil satu keping lalu memasukkannya ke dalam mulut. Jika saja July tidak sadar kalau itu adalah pupuk, ia pasti ingin juga memakan apa yang sedang dimakan oleh gadis di hadapannya itu.
“Mati.”
July menoleh ke arah Sunny yang dengan begitu entengnya berbicara demikian. Ia ingin mengeluarkan pertanyaan lagi karena tadi Sunny bilang kalau orang itu akan mendatanginya nanti malam. Entah itu tengah malam, entah itu dini hari, atau jam menuju fajar. Bukankah artinya orang itu masih hidup? Belum sempat kalimat tanya itu keluar dari bibir July, Sunny terlebih dahulu berbicara, melanjutkan kalimatnya yang ternyata tadi itu belum selesai.
“Di dunianya.”
Untuk kedua kalinya, lelaki itu menelan ludah. Jadi, maksud dari perkataan Sunny adalah orang yang terjebak di sini, akan mati di dunianya yang nyata?
“Kenapa dia harus mati di dunianya? Aku pun masih terjebak di dunia ini, lalu apakah aku juga menjadi salah satu yang mati?”
Sunny yang sejak tadi tidak begitu memperhatikan July, seketika menatap wajahnya. Mereka berdua pada akhirnya saling bertatap. Mata beradu mata.
“Tergantung.”