My True Me

My True Me

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
revenge
dark
kickass heroine
drama
tragedy
bxg
serious
bold
campus
city
office/work place
actor
wild
like
intro-logo
Blurb

Setahun yang lalu, Zita tiba-tiba tersadar dan mendapatkan luka panjang dari telapak hingga pergelangan tangannya. Ia tak mengingat apa yang terjadi kala itu, hingga ia bertemu seorang mahasiswa baru yang mengenalinya sebagai "Mila". Lelaki itu bahkan mengklaim bahwa dirinyalah yang telah menorehkan luka di tangannya."Nggak ada hal baik yang akan lo dapat jika itu berhubungan dengan Mila."Ucapan Theo--sepupunya--adalah peringatan bagi Zita untuk tak mengorek informasi apa pun mengenai Mila. Bukan "Mila"-sang kakak yang telah meninggal 12 tahun silam, tapi "Mila"-sosok yang seharusnya tidak pernah ada di hidupnya, sosok yang kini menyeret nyawanya dalam bahaya.

chap-preview
Free preview
Epitasio
Hari sudah petang, Zita--8 tahun--berjalan di samping sang kakak setelah puas bermain di taman bermain selama seharian. "I'm so happy," ujar Zita. "Really?" tanya Mila dengan ekspresi tak kalah bahagia. Zita mengangguk pasti. Pergi ke taman bermain di hari ulang tahunnya adalah kado yang ia inginkan dari sang kakak. Meski kedua orang tuanya tidak bisa ikut karena harus keluar kota untuk mengurus pekerjaan, tapi pergi dengan Mila sudah cukup menyenangkan. Mereka berjalan di trotoar menuju halte bus terdekat. Angin senja terasa lebih dingin, tapi genggaman tangan Mila sudah cukup menghangatkan. Gedung dan pertokoan di tepi jalan banyak yang tutup, mungkin karena sudah melewati jam operasional atau mungkin hanya pertokoan itu memang tidak digunakan sejak awal. Satu per satu lampu mulai menyinari jalanan yang menggelap karena ditinggalkan sang mentari. Tak nampak satu pun orang di jalanan membuat area itu terlihat suram. Sepi. Sangat sepi. Sesekali ada mobil yang melintas, tapi tak mampu menghilangkan suasana hening di sekitar mereka. Zita tidak suka. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah. Namun, tiba-tiba Mila menghentikan langkah. Zita menoleh, melihat Mila menatap ke satu arah. Diikutinya arah pandangnya hingga mendapati seorang pria diseret paksa memasuki sebuah gedung. Mila dengan cepat melangkahkan kakinya, membuat Zita terpaksa membuntut di belakang, lalu berhenti di depan sebuah gedung tinggi yang tampak gelap. Gedung terbengkalai yang telah lama tidak digunakan. "Kak ...," panggil Zita, menarik lengan jaket Mila. Ia merasa takut berada di depan gedung yang terlihat menyeramkan itu. Mila menoleh, kemudian membungkuk menyejajarkan wajahnya dengan wajah Zita, lalu tersenyum. "Takut, ya?" Zita mengangguk masih dengan melirik gedung gelap di depannya. Mila lalu mengedarkan pandang, sebelum kembali menatap Zita. "Kamu tahu kan kalau tadi ada bapak-bapak yang diseret masuk ke dalam?" Zita mengangguk. "Di dojo tempat kakak latihan, ada anak seumuran kamu dan kalau nggak salah, bapak tadi orang tuanya. Kayaknya ada yang nggak beres. Kakak mau lihat ke dalam. Jadi, kamu tunggu di sana dulu, ya?" jelas Mila sambil menunjuk ke satu arah di belakang Zita. Zita mengikuti arah yang Mila tunjuk, pada sebuah minimarket di seberang jalan. Zita langsung menggeleng. Tangannya memegang erat tangan Mila. "Hei, kamu lupa kakak bisa karate?" Mila menyombongkan diri lalu tertawa lirih. "Ya ... walau nggak terlalu mahir juga, sih." Zita hanya diam, sama sekali tidak tertarik dengan gurauan Mila. "Kita pulang aja, yuk! Zita takut!" Mila mengusap kepala Zita pelan. "Kakak juga takut. Tapi kalau ada apa-apa sama bapak tadi, kakak nggak bisa bayangin gimana sedihnya anak itu. Sama kayak kakak nggak mau lihat wajah jelek kamu kalau lagi nangis." Zita masih menggenggam erat tangan Mila. Enggan melepaskan. Mila lantas mengembuskan nafas kemudian berdiri, melepaskan kalung di lehernya. "Kamu selalu mau kalung ini, kan?" Zita menatap kalung dengan liontin berbentuk kunci yang kini Mila pasangkan di lehernya. "Kalung ini kakak kasih buat kamu, tapi kamu tunggu di sana, ya? 30 menit--nggak! Nggak!" Mila mengibaskan tangan. "10 menit. Kalau kakak nggak keluar, kamu minta tolong sama kasir minimarket untuk telepon polisi. Oke?" Zita masih tidak mau melepaskan tangan sang kakak. "10 menit aja. Kakak coba cek ke dalam. Kalau bahaya, kakak langsung keluar, oke?" jelas Mila sekali lagi dengan menatap lekat mata Zita. "10 menit! Nggak lebih!" Pada akhirnya, Zita menurut. Ia mulai berjalan meninggalkan Mila dengan ragu. Sesekali menoleh ke belakang, mendapati Mila masih belum beranjak dari tempatnya, berdiri sambil tersenyum dan menggoyangkan tangan seperti gerakan mengusir. Zita menyeberangi jalanan yang lengang. Namun, tepat di tengah jalan ia berhenti. Ia menoleh kembali, tapi sosok Mila sudah pergi. Zita lanjut berjalan, tapi kemudian putar balik ke arah gedung untuk menyusul Mila. Zita masuki gedung dengan hati-hati, tidak mau membuat suara yang mengundang kegaduhan. Suasana gedung itu tampak seram. Beberapa lampu masih menyala, tapi cahaya redupnya seolah menunjukkan jika sinarnya siap mati kapan saja. Zita terlonjak saat mendengar suara benda jatuh dari lantai atas. Ia menelisik tempat itu dan menemukan tangga yang mengarah ke atas ada di sudut ruangan. Dengan cepat dan hati-hati Zita naik ke atas sana diriingi suara gaduh dan suara teriakan laki-laki. Zita takut sesuatu yang buruk menimpa Mila. Naik dan terus naik. Zita baru berhenti di lantai tiga yang ia yakini sebagai tempat suara tadi berasal. Ia menyusur koridor, mengintip ke balik satu per satu ruang hingga matanya menangkap sosok Mila sedang berjongkok di balik partisi setinggi satu meter yang membatasi sebuah ruangan. Zita mendekat, lalu berbisik. "Kak ...." "Aakkh!" Mila memekik, kemudian buru-buru menutup mulut. Nafasnya naik turun, matanya terbelalak lebar mendapati Zita ada di sampingnya. Dengan cepat ia menarik Zita ke arah tangga, menyeretnya naik ke lantai yang lebih tinggi, lalu berhenti di depan sebuah loker besi yang entah kenapa diletakkan di persimpangan tangga lantai 5 dan 6. Mila membuka pintu loker, menyuruh Zita masuk ke dalam. Wajah Mila tampak ketakutan, sesekali menoleh ke arah bawah tangga, memastikan mereka tidak sedang diikuti atau mungkin belum diikuti. "Cepet masuk," perintah Mila dengan suara berbisik. "Kamu sembunyi di sini. Kakak sembunyi di atas." "Kakak sembunyi aja di sini," jawab Zita. "Nggak muat, Ta! Cepetan. Keburu orangnya dateng," buru Mila. Mau tidak mau Zita menurut masuk ke dalam loker setinggi satu meter itu. "Apa pun yang terjadi, jangan keluar, oke? Jangan bersuara!" titahnya. Mila tarik tangan Zita untuk membekap mulutnya sendiri. "Jangan keluarin suara apa pun!" "Kakak gimana?" tanya Zita menahan tangis. Mila menempelkan jari telunjuk ke bibir. "Ssstt! Bahkan kalau sesuatu terjadi sama kakak, kamu jangan keluar! Apa pun hal buruk yang terjadi, anggap kamu nggak pernah lihat, dengan itu kamu pasti selamat! Seenggaknya, kamu harus selamat." Zita menggeleng tak setuju. Jika ia harus selamat, maka Mila juga harus selamat. Tapi, isyarat penolakannya tak berarti. Mila sudah keburu menutup pintu, meninggalkan dirinya di dalam kotak sempit dan gelap itu. Melalui lubang angin yang terdapat di pintu loker, Zita melihat Mila naik ke lantai atas. Tak berapa lama, suara denting besi diketuk-ketukkan terdengar mendekat dari arah tangga bawah. Sesuai perintah, Zita membekap mulutnya. TING! TING! TING! Suara semakin dekat, hingga Zita dapat melihat sosok pria muda--yang mungkin seumuran Mila--melintas di depan persembunyiannya. Ia berjalan sambil mengetukkan benda di tangannya ke pintu loker, membuat Zita spontan memejamkan mata. Setelah ketukan itu beralih ke tempat lain, barulah Zita berani membuka mata, kembali mengintip dari lubang angin dan menyadari bahwa benda yang dipegang pria itu adalah sebuah tongkat baseball. Pria itu menaiki anak tangga dengan masih menciptakan denting antara tongkat baseball dan besi railing tangga. Apakah Zita boleh bernafas lega melihatnya pergi padahal pria itu sedang mengarah pada tempat persembunyian Mila? Tak berapa lama, terdengar suara gaduh,, hingga mata Zita membeliak saat mendengar erangan kesakitan. Sangat jelas. Itu suara Mila. Zita hendak keluar, tapi pesan sang kakak terngiang di telinga. Ia tidak boleh keluar apa pun yang terjadi. Lalu bagaimana jika sesuatu terjadi pada Mila? Zita hanya bisa menggigit bibir. Berharap tidak ada hal buruk terjadi. Namun, sepertinya Tuhan tidak mendengar doanya. Zita mendengar suara langkah kaki menuruni tangga. Pria itu turun sambil menggenggam rambut, lebih tepatnya menyeret tubuh tak berdaya Mila menuruni tangga. Terlihat Mila berusaha melepaskan tarikan pada rambutnya walau tanpa hasil. Melihat itu Zita reflek menutup mata, tidak sanggup melihat penderitaan kakaknya. Sungguh, ia ingin keluar untuk menolong. Hanya saja, kakinya terasa lemas, tubuhnya gemetar ketakutan. Ia hanya seorang anak kecil. Apa yang bisa ia lakukan? "HAAIISSHHHH ...," lantang pria itu, dan sejurus kemudian Zita merasakan sesuatu yang berat menghantam loker diiringi lenguhan kesakitan. Zita membuka mata, melihat pria itu masih berada di tengah-tengah anak tangga, tanpa Mila di sana. Seketika itu ia sadar bahwa tubuh Mila-lah yang tadi membentur tempat persembunyiannya. Pria itu menuruni tangga. Wajahnya datar, tapi aura mengerikan menguar. Ia mendekati loker lalu kemudian berjongkok tepat di depan pintu tempat Zita berada. Seringai jahat muncul di wajahnya. "Akhhh ...," pekik Mila. Zita tidak dapat melihat bagaimana pria itu menjambak kasar rambut Mila. Yang dapat ia lihat hanya senyum menakutkan dari lubang kecil di hadapannya. "Kemampuan hanya seperti ini tapi mau sok hebat, heh?" sindir pria itu diiringi tawa mengejek. "Harusnya pura-pura nggak tahu. Tutup mulut dan pergi selagi bisa." Pria itu berdiri, kembali menyeret tubuh lemah Mila dengan menarik rambut gadis itu. Zita dapat melihat wajah Mila dihiasi cairan merah pekat. Saat itu pula Mila mengarahkan jari telunjuknya ke depan bibir, memberi isyarat untuk tetap diam, seolah tahu Zita tengah melihatnya. Air mata Zita mengalir. Ia ingin berteriak, tapi hanya bisa menahan isak. Jika saja ia lebih kuat, jika saja lebih berani, jika saja ia tidak menyusul Mila, atau jika saja dari awal ia tidak membiarkan Mila masuk ke dalam gedung itu, bahkan jika saja ia tidak meminta datang ke taman bermain, mereka mungkin sedang menyesap segelas s**u hangat di rumah. Tangisan tanpa suara itu perlaha menghadirkan lelah. Entah sejak kapan dan berapa lama ia tertidur, karena saat terbangun tempat itu terasa sunyi. Ragu-ragu Zita buka pintu, keluar dari sana, melihat semburat cahaya masuk melalui ventilasi kecil di dinding bagian atas, menunjukkan bahwa malam telah berlalu. Zita melihat ke lantai, bekas darah masih terlihat di sana. Tubuhnya bergetar. Ia ikuti jejak darah Mila itu. Terus berjalan hingga tiba di sebuah ruangan, tempat Mila mengintip sebelumnya. Jejak darah berhenti di situ. Akan tetapi, sosok Mila tidak ada. Sosok pria yang diseret masuk ke dalam ruangan itu pun tidak terlihat. Tanpa pikir panjang, Zita langsung berlari, mencari ke seluruh ruangan di lantai itu dengan memanggil nama sang kakak, tapi jangankan menemukan, sekedar sahutan pun tak terdengar. Yang terdengar hanya gema suaranya sendiri. Mila sudah dibawa pergi. Zita menuruni tangga, keluar dari gedung itu. Di luar masih tampak sepi. Udaranya terasa sejuk menusuk. Mungkin masih sekitar jam 5 pagi karena cahaya matahari belum nampak dengan jelas. Zita mencoba berpikir ke mana ia harus mencari, hingga suara sirine tiba-tiba terdengar. Tak berapa lama, sebuah mobil polisi melintas di depannya. Ya! Polisi! Ia harus meminta bantuan polisi. Zita mengejar mobil polisi itu, tapi tentu saja langkahnya kalah cepat. Mobil itu menghilang di salah satu tikungan. Ia tak mau menyerah, ia terus berlari ke arah tikungan itu. Bodoh memang. Bagaimana bisa ia mengejar sebuah mobil dengan langkah kecilnya? Beruntung, suara sirine itu masih terdengar jelas, artinya ia perlu mempercepat larinya agar bertemu dengan polisi itu dan meminta bantuan. Semakin jauh ia berlari, suara sirine terdengar semakin jelas, menunjukkan jika mobil itu mungkin tengah berhenti di suatu tempat. Setelah melewati beberapa persimpangan, akhirnya ia menemukan mobil itu terparkir di depan sebuah gang. Zita mendekat, tapi mobil dalam keadaan kosong. Ia menolehkan kepala ke dalam gang, melihat sebuah pita kuning membentang di depan segerombolan orang yang tengah menjadi penonton. Entah ada apa, yang Zita tahu polisi yang dicarinya pasti ada di depan sana. Zita menerobos kerumunan, berhenti tepat di belakang pita kuning, dan mencari keberadaan siapa saja yang berseragam satuan keamanan. Baru saja akan berteriak memanggil salah seorang polisi, netranya justru menangkap sesosok tubuh sedang tergeletak di tanah dengan pakaian berlumuran darah. Bagian wajahnya ditutup selembar koran, tapi tubuhnya masih dapat terlihat dengan jelas. Tubuh itu menggunakan pakaian yang sangat Zita kenal. Tanpa sadar, Zita melewati garis polisi. "Kak ...," panggilnya lirih dengan kaki perlahan mendekat. "Kakak ...." Kelebatan kemungkinan buruk menyeruak. Namun, hatinya dengan keras menolak pemikiran itu. Ia mengutuki diri yang bisa-bisanya memikirkan hal keji terjadi pada kakaknya. Tubuh itu mungkin milik orang lain yang kebetulan mengenakan pakaian serupa, tapi .... Seorang polisi wanita yang melihat Zita mendekat langsung menahannya. "Adek, kamu nggak boleh mendekat, tunggu di belakang garis polisi, ya?" "Kak Mila ...," gumam Zita. "Itu bukan Kak Mila, kan?" Polisi itu berjongkok di depan tubuh Zita. "Kamu bilang apa? Kamu kenal sama--" "Kak Mila, kenapa tiduran di situ?" Zita memotong saat melihat gelang merah di pergelangan tubuh itu. Zita tak mungkin salah mengenali gelang persaudaraan yang juga sedang ia kenakan. Polisi wanita yang ada di dekatnya mulai menyadari bahwa Zita mengetahui identitas tubuh yang tak bernyawa itu. Segera saja ia memutar tubuh Zita agar tak melihat ke arah mayat. Mau bagaimanapun, itu bukanlah hal yang pantas dilihat anak-anak. Dengan nada lembut ia mengajak Zita pergi dari tempat itu, menarik pelan tubuhnya menjauh dari TKP. Namun, Zita berontak, meraung memanggil-manggil nama Mila diiringi suara tangis yang memilukan. "KAKAK! KAK! KAK MILA ...."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
212.3K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
151.9K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
292.5K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.2K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
167.7K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.3K
bc

TERNODA

read
192.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook