Part 2 - Gadis Pengganggu

1565 Words
"If you want to smile just for second, i believe that you will get this world in your hand" - Radea Pitasari G - ©©© "Selamat pagi!" Sapaan riang itu terdengar di ruang makan yang sekarang sudah terisi oleh anggota dari keluarga Sabhara. Rivaldi dan Riana tersenyum meliht kedatangan gadis muda itu dengan ceria. Begitu juga dengan Senjana yang sedang memangku Elang, putra pertamanya. "Selamat pagi, Radea. Gimana tidurnya semalam? Nyaman berada disini?" tanya Riana. Radea duduk disamping Senjana lalu tersenyum pada Riana sebelum menjawab pertanyaan wanita itu. "Nyaman dong, Tante. Radea senang justru disini, apalagi ada Elang yang unyu ih gemes deh!" jawab Radea menoel pipi Elang yang menggembung karena makanannya. "Jangan sungkan disini yah, Dea. Anggap aja ini rumah kamu sendiri." ujar Rivaldi. "Iya, De. Nanti kalau butuh sesuatu bilang aja sama aku atau Kak Atar dan Kak Yudhis." tambah Senjana. "Beres Kak." "Excuse me! Apa Yudhis satu-satunya yang gak tau kalau dia itu siapa disini?" Yudhis yang sejak tadi diam sekarang mulai bersuara. Dia sendiri bingung kenapa kedua orang tuanya tampak sangat antusias menyambut gadis muda itu. Ditambah dengan interaksinya bersama Elang yang terlihat cukup dekat. Kepergiannya selama seminggu ini ternyata membuatnya tampak seperti orang bodoh sekarang. "Dia anaknya Om Sastro, Yud. Temannya Papa yang pernah hadir di pernikahan bokap dulu. Lo gak inget? Ini anak yang pernah nempelin lo gak mau lepas-lepas dulu." ujar Antariksa menatap Yudhis geli. "Ih masa Dea begitu sih Kak! Gak mungkin." elak Radea. "Emang gitu kok. Kakak masih inget banget muka polos kamu yang ngeliatin Kak Yudhis terus seakan dia itu pangeran dari negeri dongeng. Begitu dikenalin eh gak mau lepas dari gandengannya Kak Yudhis kamunya. Malah sempat nangis gak mau pulang, iya kan Ma?" tambah Antariksa. Riana dan Rivaldi sontak tertawa mendengar penuturan Antariksa. Mereka ingat jelas saat gadis remaja berumur 13 tahun yang dulu sangat menempel pada Yudhistira. Gadis berkucir kuda yang mempunyai senyum manis serta lesung pipi di sebelah kiri saat itu mampu membuat Yudhis yang kaku menjadi meleleh. Mereka masih ingat bagaimana gemasnya lelaki itu mencium pipi Radea kecil dengan gemas, bagaimana dia tertawa lepas menghadapi Radea yang masih sangat polos dan imut. Semua itu masih jelas teringat di ingatan mereka semua, namun sepertinya Yudhis sendiri sudah melupakannya. "Eyang kenapa sih ketawanya kenceng gitu? Emang apa yang lucu, Ma?" Elang bertanya sambil menatap Ibunya. "Elang kepo nih." jawab Antariksa yang mengambil alih untuk membawa Elang ke pangkuannya. Antariksa menggelitiki perut putranya sampai dia tertawa lepas. Senjana bahkan sampai memukul lengan Atar untuk berhenti karena Elang masih harus makan. "Masa sih gue kayak gitu?" tanya Radea pada dirinya sendiri. "Kalo kamu gak inget mungkin wajar, Dea. Tapi masa kamu lupa, Nak?" tanya Riana menoleh ke Yudhis di sebelahnya. "Ck! gadis cilik yang pake bando kelinci di kepalanya Yud. Rambutnya dikucir kuda terus dandanannya kayak princess gitu. Si Rara! Dulu panggilannya Rara kalau gak salah." tambah Antariksa gemas. Dahi Yudhis yang tadi berkerut mulai melonggar. Sekarang gikiran matanya yang membulat seperti terkejut dengan fakta yang baru dia terima. Lalu kemudian tatapannya jatuh pada gadis yang juga menatapnya sambil mengerjapkan mata, mungkin masih bingung karena tidak bisa mengingatnya. Yudhis melihat Radea seperti tengah menilai, apakah benar bahwa dia adalah Rara yang dulu pernah menjadi gadis cilik favoritnya. Karena seingat Yudhis, gadis cilik itu sangatlah anggun, sopan, dan sangat menggemaskan. Sedangkan gadis yang ada di hadapannya saat ini lebih terlihat urakan dengan seragam sekolah yang lengan bajunya di lipat-lipat, persis seperti preman. Lalu sopan? Boro-boro sopan, pertama bertemu saja dia sudah berbicara tidak pantas padanya. Dan lagi, menggemaskan? Hadeh kalau yang ini sih bukan menggemaskan lagi judulnya, sudah melewati level gemas sampai rasanya gedheg sendiri. "Gak mungkin. Rara itu gadis cilik yang anggun, gak urakan kayak preman gini!" elak Yudhis tidak terima. "Hee enak aja bilang gue urakan lo, Om! Ini itu fashion gue, tau?!" "Wait! Om?" sembur Antariksa sambil tertawa. "Daddy! Don't bothering me to breakfast. Your laugh hurt my ear!" teriak Elang meronta ingin kembali duduk bersama Senjana. "Atar! Sini Elang sama Eyang yuk! Kita makan di depan tv aja sambil liat kartun." ajak Riana pada cucu kesayangannya. "Daddy so sorry, boy. Come here!" ujar Antariksa sebelum Elang pergi lalu mengecup kedua pipinya. Senjana dan Riana akhirnya meninggalkan meja makan mengikuti Elang menuju ruang keluarga. "Yudhis berangkat sekarang aja, Pa. Takut macet nanti." ujar Yudhis yang mulai jengah harus berhadapan dengan gadis itu. "Ah iya, kamu sekalian antar Radea ke kampus juga yah, Yud. Kampusnya kebetulan juga searah sama kantor kamu." "Kenapa gak Antariksa aja?" tanya Yudhis berusaha menolak. "Gue mau ke lapangan dulu liat pembangunan real estate di Tangerang. Papa mau secepetnya selesai tahun depan depan biar bisa langsung dipasarin." "Lagian kenapa sih Om? Kok kayaknya keberatan banget kalo Dea nebeng. Santuy aja kali, gak bakal Dea gigit kok emang Dea nyamuk pake gigit-gigit segala." ujar Radea sudah siap dengan tas di punggungnya. Yudhis menghela nafasnya, "Yaudah cepet jalannya!" "Ish! Om aja belum bergerak dari tempat duduk udah suruh jalan cepet. Dikira lagi ikut lomba jalan sehat kali pake jalan cepet." Rivaldi dan Antariksa terkekeh, lain halnya dengan Yudhis yang wajahnya sudah sangat masam. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan cepat menuju pintu sampai Radea harus berlari kecil untuk menyamakan langkahnya. Yudhis bergerak lebih cepat lagi sampai di depan mobil putihnya yang sedang dipanaskan. Dia langsung masuk ke dalamnya tanpa menghiraukan Radea yang masih berlari kecil menuju mobil. Saat sudah masuk ke dalam mobil, Radea membanting pintu mobil dengan kencang sampai membuat Yudhis menoleh sambil melotot. Ini adalah mobil kesayangannya yang dia beli dari hasil kerjanya di perusahaan saat mencapai tahun ketiga. Mobil berjenis sport ini memang bukan keluaran terbaru tetapi tetap saja harganya itu setara dengan rumah gedongan di jakarta. Mobil ini hampir mirip dengan mobilnya yang sebelumnya juga berwarna putih namun jauh lebih modern. "Tutup pintunya harus banget dibanting gitu? Kalau rusak kamu gak akan bisa ganti!" ujar Yudhis sinis lalu menjalankan mobilnya. "Yaelah, berapa sih Om? Sini deh biar gue beliin, sampe sepuluh aja Papa Dea bisa kok beli mobil kayak begini." balas Radea sombong. "Saya tanyanya kamu bukan Papa kamu! Kalau beliau saya percaya mampu membeli lusinan mobil seperti ini, tapi kamu kan cuma anak bau kencur!" "Ini om-om satu kenapa sih suka banget samain gue sama anak kecil? Berasa gue masih SD deh digituin. Anak bau kencur? Huh?! Nanti kalo lo suka sama anak bau kencur ini baru nyaho lo, Om!" ujar Radea kesal. "Apa? Suka? Kamu mimpi?! Jangan suka ngayal ketinggian deh. Nanti jatuhnya sakit!" ejek Yudhis masih sibuk menyetir. "Mau taruhan sama gue, Om?" Yudhis menoleh sekilas mendengar tawaran gadis muda itu. Well, dia cukup tertarik juga sebenarnya, karena dia tahu kalau hal itu kemungkinan terjadi sangatlah kecil. Ibaratkan hanya kemungkinan satu persen untuk berhasil, bahkan satu persen-pun mungkin tidak ada. "Oke! Kenapa saya harus takut? Kamu tau, kemungkinan itu terjadi hanya 0,00001 persen untuk berhasil." "Halah, masa depan siapa yang tau Om! Kalau gue beneran bisa bikin Om jatuh cinta, Om harus kabulin satu permintaan dari Dea. Gimana?" "Satu aja? Gak mau sepuluh sekalian?" tawar Yudhis menyepelekan. "Ih sombong kali kau, Om! Liat aja nanti. Tunggu tanggal mainnya!" "Oke." Radea mendengus mendengar jawaban Yudhis. Dia menoleh ke kiri menatap jalanan dari balik jendela mobil. Jujur, dia sendiri saja bingung bagaimana membuat lelaki itu jatuh cinta dalam waktu singkatnya di rumah keluarga Sabhara. Dilihat lagi, lelaki itu bahkan sangat sulit untuk didekati dengan wajah super duper datarnya itu. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu menginap di rumah Papa saya? Om Sastro memangnya sudah bangkrut sampai gak punya rumah lagi?" "Enak aja! Papa itu lagi sakit makanya dia berobat ke Australia bareng sama Mama. Jadi Dea dititip ke tempat Om Rivaldi deh." "Terus kenapa kamu gak ikut? Malah terdampar di rumah saya?" "Om, gue itu masih kuliah. Liat kan sekarang aja lo lagi anterin gue ke kampus. Gue ini udah di semester akhir, jadi Mama gak bolehin gue buat ikut sama mereka yang kemungkinan cukup lama disana. Nanti kalau gue lulus dan Papa masih disana, kemungkinan besar gue juga bakal pindah kesana. Jadi, udah paham kenapa gue dititipin sama Om Rivaldi?" jelas Radea panjan kali lebar. "Kenapa harus Papa saya? Keluarga Papa Mama kamu memangnya gak ada?" "Ada sih, tapi kebanyakan tinggal di Bali sama Jawa. Bokap gue kan asli Bali, Om. Nyokap gue juga asli Semarang. Kerabat gue semuanya pada jauh-jauh, dan yang paling bisa diandalkan itu cuma Om Rivaldi, sahabat karib Bokap." Yudhis memanggut-manggut setelah mendengar penjelasan Radea. Sekarang dia jadi mengerti kenapa gadis tengil ini tinggal di rumahnya. Saat kampus Radea sudah terlihat, Yudhis memelankan laju mobilnya lalu berhenti dipinggir trotoar dekat kampus gadis itu. Radea melepaskan seatbelt lalu menggendong tasnya. Sebelum keluar dia melihat ke arah Yudhis sambil tersenyum misterius. Merasa diperhatikan, Yudhis menoleh dan mengerutkan kening mulai merasakan sesuatu yang tidak enak. Pasti gadis tengil ini tengah merencanakan sesuatu padanya. "Kenapa kamu liatin saya kayak begitu? Sekolah kamu beneran kekurangan stok laki-laki ganteng yah?" "Idih pede banget! Dikira cuma situ doang yang ganteng di dunia ini?" "Terus ngapain kamu liatin saya?" "Mau say goodbye dulu sama calon pacar dong haha..." ujar Radea sambil tertawa. Belum sempat Yudhis bertanya lagi, gadis itu sudah maju dan mengecup pipi kanan Yudhis dengan gerakan yang sangat cepat. Setelah melakukan tindakan pelecehan itu, Radea langsung terburu-buru membuka pintu mobil dan turun dari sana. Dia bahkan berlari kecil memasuki gedung kampus. Sementara Yudhis masih tercengang dengan perlakuan gadis yang bahkan jauh lebih muda dibawahnya "Dasar!" ujar Yudhis tersenyum kecil. ©©© TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD