bc

HATE LINE

book_age18+
13
FOLLOW
1K
READ
HE
opposites attract
badboy
sweet
bxg
office/work place
selfish
like
intro-logo
Blurb

Greysa tidak punya pilihan lain selain menerima nasib malangnya yang sudah kehilangan keluarganya, dipecat dari perusahaannya ditambah lagi sekarang dia harus bekerja dengan salah satu orang yang paling dia benci di muka bumi ini. Seorang pria yang suka mengganggunya sejak SMP bernama Galen Bumi Amandjaya.

Greysa tidak tahu kalau sejak kedatangannya mengantar lamaran di perusahaan itu, dirinya sudah dipantau oleh Galen. Lelaki cadel itu tidak sabar untuk menyambut Greysa dan membalaskan dendamnya sejak masa SMA mereka itu.

Tapi, kata orang batas antara cinta dan benci itu terlalu tipis. Bisakah keduanya tidak melanggar garis batasan itu?

chap-preview
Free preview
1. Galen Meet Greysa
Tidak semua orang bisa berlarut-larut dalam kesedihan dan Greysa adalah salah satunya. Baru saja kehilangan ayah, kakak laki-laki satu-satunya juga kakak iparnya tiga minggu yang lalu. Minggu lalu dia harus mendapati kemalangan lainnya sudah datang menghampirinya. Perusahaan tempatnya bekerja dinyatakan akan segera bangkrut dan nama Greysa masuk dalam daftar gelombang PHK pertama. Namun Greysa tidak punya banyak waktu bahkan mungkin tidak punya waktu untuk meratapi nasibnya, dia masih punya ibu dan Yoshi-keponakan satu-satunya yang kini bergantung hidup padanya. Jika dia tidak bekerja maka nasib rumah tangga itu akan hancur dan Greysa tidak akan bisa hidup dengan melihat itu terjadi. Beberapa hari lalu dia membawa lamarannya ke perusahaan ini, sebuah perusahaan yang bergerak di dunia digital agency bernama Creatiwave Media Labs dengan posisi sebagai creative marketing. Mungkin benar kata orang kalau jika kita berjuang untuk keluarga maka selalu ada jalan terbuka. Karena baru beberapa hari saja sejak memasukkan berkas lamarannya, kemarin dia sudah ditelepon oleh HRD perusahaan ini untuk proses wawancara kerja. Greysa hanya bisa mengulum senyum dan bangkit dari kursi tunggunya setelah namanya dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan. Kemeja blus berwarna biru pucat dengan rok spandek pendek sepinggang membuat gadis dengan tinggi 170 cm itu terlihat jenjang dan cantik. Greysa memberikan senyum manisnya begitu dia melihat dua orang pria sedang duduk di dalam ruangan itu. Kedua pria yang masih tampak muda itu langsung membalas senyum Greysa dan menunjuk ke arah kursi di depan mereka untuk Greysa. “Greysa Betty Maharani?” Pria dengan lesung pipi menyebutkan nama lengkap Greysa yang disambut Greysa dengan anggukan kepala dan senyum. “Perkenalkan nama saya Rama dan ini Pak Arka.” “Salam kenal,” balas Greysa masih dengan senyum yang menutupi rasa gugupnya. Greysa tidak membayangkan akan bertemu dengan dua orang pria tampan di perusahaan secepat ini. “Sebelumnya kamu bekerja sebagai tim kreatif ya?” Pria lainnya yang bernama Arka itu bertanya. Dia tampan tapi tampak punya wajah lebih serius yang begitu kentara dari garis wajahnya. “Iya, Pak.” Greysa lalu mulai ditanya soal pengalamannya bekerja dan bagaimana dia bisa melamar di perusahaan yang masih terhitung baru ini. Tanpa menemui banyak kesulitan Greysa menjawab, bahkan mungkin cenderung lancar karena sebelumnya Greysa sudah banyak berlatih. Dia terus menonton video tips untuk lancar wawancara kerja. Butuh waktu 30 menit untuk Greysa berada dalam ruangan itu dan mendapatkan senyum dari Pak Rama juga Pak Arka. “Saya suka cara berpikir kamu, Greysa,” puji Pak Arka. “Terima kasih, Pak.” “Kamu sudah bisa pulang, nanti akan dihubungi oleh staf kami kalau kamu diterima,” sambung Pak Rama. Greysa bangkit dari kursinya lalu meninggalkan ruangan itu tanpa tahu kalau sesudah itu ada seorang lelaki yang muncul dari balik pintu lainnya. Lelaki itu tersenyum puas pada dua pria yang baru saja mewawancarai Greysa. “Apa gue bilang? Dia hebatkan? Lo beldua masih mau bilang kalau gue nepotisme?” “Dia teman apa lo sih?” tanya Rama pada lelaki bertubuh maskular yang baru saja keluar dari persembunyiannya itu. “Teman SMP gue, nyokap kami belteman.” “Tapi kemarin ada juga teman lo yang melamar di sini lo gak segininya deh, Len. Sampai mau gue sama Arka yang turun langsung,” ujar Rama. Pria bernama Galen itu menggeleng pelan, “Yang ini beda, Lama. Yang ini spesial.” “Gebetan lo ya?” Arka akhirnya angkat bicara. “Gebetan tapi kok lo malah sembunyi? Kenapa gak ditemuin?” “Bukan gebetan ya. Dia itu musuh gue!” “Sebentar!” Rama menjulurkan tangannya ke depan, dia menatap Galen meminta penjelasan yang hanya dijawab Galen dengan senyum. “Anjir! Pantas tadi kayak gak asing! Itu si Greysa? Greysa yang sering lo panggil Betty gara-gara lo cadel itu ya, Len?” Rama menepuk tangannya. “Sialan lo! Gue manggil dia Betty karena nama anjingnya Alka juga Betty ya. Itu buat ngejek dia!” Galen membela diri. “Dia udah beda banget ya? Dulu gayanya laki banget,” tambah Arka. “Makanya itu! Bebelapa hari lalu pas gue mau makan siang, gue gak sengaja lihat Gleysa bawa amplop berkas ke sini. Pas gue tanya HLD telnyata emang dia mau melamal kelja di sini. Langsung gue kabalin lo beldua. Gak mungkin gue minta si Klif buat wawancala ‘kan?” Arka mengangguk. “Dia bagus kok. Keluar dari perusahaannya juga karena perusahaannya bangkrut. Gue sih oke aja kalau dia mau join, dia bisa masuk ke tim lo di marketing, Ram,” ujar Arka. “Boleh dia gabung di gue aja gak? Gue kayaknya butuh tambahan olang deh.” ujar Galen. “Tapi dia ‘kan basic-nya di marketing?” “Tapi sama gue aja, please!” Galen memohon. “Gimana, Rama?” “Terserah. Emang lo pikir gue bisa bikin si cadel ini mengalah?” “Ngomong cadel sekali lagi, gue tonjok benelan ya, Lam!” Arka menahan tawa melihat perdebatan dua sahabatnya itu, dia kemudian bangkit berdiri dan bersiap pergi. “Udah, udah. Ya udah, dia masuk ke HRD ya, Galen.” “Yes! Thanks Alka!” Galen tampak bahagia sebelum dia bergegas keluar dari ruangan wawancara karyawan itu. “Kok gue merasa keputusan buat ngasih itu cewek ke Galen itu salah ya, Ka? Lo tahu sendiri mereka itu kayak kucing sama anjing, mana pernah akur? Bisa-bisa mereka bisa saling membunuh,” ujar Rama yang kini memalingkan pandangannya ke arah Arka yang langsung mengangkat bahu. “Menurut lo siapa anjingnya?” tanya Arka. “Pake nanya lagi, ya udah jelas si Galen lah!” Keduanya lalu tertawa. *** “Ibun! Yoshi!” Greysa berteriak gembira memanggil keluarganya yang tersisa itu. “Kenapa sih teriak-teriak begitu?” Linda yang biasa dipanggil Ibun oleh anak dan cucunya itu hanya mendapati anak perempuannya sedang tersenyum lebar dengan memegang ponsel. “Ibun! Aku diterima kerja, Bun!” “Iya? Wah, selamat ‘Nak! Puji Tuhan!” Ibun mendekat untuk memeluk anak yang tinggal satu-satunya itu. Keduanya berpelukan untuk beberapa saat sampai tidak sadar kalau mereka saling menangis dalam pelukan masing-masing. “Maaf ya, Ge.” Suara Ibun bergetar menahan semua gejolak perasaannya. “Ibun! Udah Gege bilang Ibun gak perlu minta maaf! Ini sudah takdir aku dan aku akan jalani ini dengan ikhlas. Yang penting sekarang, kita gak bingung lagi dengan tagihan bulan depan,” ujar Greysa. Ibun mengangguk pelan. “Coba Ibun gak sakit ya, Ge. Pasti beban kamu gak tambah banyak.” “Bagi aku, Ibun sama Yoshi itu bukan beban. Udah! Jangan dibahas lagi ya, sekarang mending Ibun siap-siap, kita pergi kontrol lagi.” Greysa tersenyum lalu menggandeng tangan ibunya menuju ke dalam rumah. “Yoshi!” Greysa berlari untuk memeluk keponakannya yang tengah asyik membaca buku komik itu. “Ah! Ibun! Lihat ini mami Gege anggu!” Bocah berusia empat tahun itu melaporkan Greysa pada neneknya. “Udah, jangan berantem!” “Ih, kamu! Awas aja kalau aku gajian nanti gak aku beliin coklat!” ancam Greysa membuat bocah dengan rambut mangkok itu langsung menaruh komiknya dan memeluk Greysa erat bahkan terlalu erat sehingga membuat Greysa kesulitan bernafas. “Mami, Yos mau oklatnya empat boyeh?” Greysa memicingkan mata lalu melemparkan pandangannya ke arah samping seolah marah. “Mami?” Yoshi menatap Greysa dengan tatapan ingin menangis. Anak polos itu pikir Greysa benar-benar marah padanya. “Ya udah boleh tapi cium pipi dulu,” ujar Greysa. Tanpa menunggu lagi, Yoshi mendekatkan bibirnya yang sudah dia majukan ke pipi Greysa tidak lupa dengan bunyi kecupan yang keras sehingga membuat Ibun dan Greysa tertawa. “Sebelah juga dong.” Greysa memberi pipinya yang lain. “Tapi oklatnya tambah atu agi ya?” “Lah, dia nego.” Greysa dan Ibun kembali tertawa. “Makanya Yoshi doain Mami biar bisa punya uang banyak buat beli Yoshi coklat yang banyak juga ya?” Gerysa menatap wajah Yoshi yang langsung membuatnya teringat pada abangnya dan membuat wanita itu ingin kembali menangis. “Mami jangan nangis lagi! Nanti Yos doa deh!” Yoshi langsung memeluk Greysa yang malah membuat wanita itu kembali menangis merindukan keluarganya. *** Greysa masuk ke dalam sebuah ruangan bersama dengan orang-orang yang sudah dinyatakan diterima di perusahaan digital agency itu. Langkah wanita itu hanya mengikuti orang lain yang dia ketahui diterima sebagai staf marketing karena memang Greysa melamar dan juga diwawancarai di posisi itu. “Lo mau ke mana?” Suara bariton itu membuat langkah Greysa terhenti, beberapa orang juga berhenti karena suara itu. Greysa berbalik dan mendapati sosok lelaki yang lebih tinggi darinya itu berdiri beberapa langkah darinya. “Betty! Lo ikut gue!” Ingatan Greysa langsung tahu siapa pria di depannya itu karena hanya ada satu makhluk homo sapien yang memanggilnya dengan panggilan itu. “Kenapa harus ikut kamu?” Pria tinggi yang sudah berbalik itu kembali membalikkan badannya untuk menatap Greysa. Tangannya meraih sesuatu dari kantongnya dan memberikannya pada Greysa. “Itu kaltu tanda pengenal di kantol ini sekaligus kartu makan dan belanja. Sekalang ikut gue kalena--” “Loh, gue bukannya masuk tim marketing?” Greysa memotong penjelasan Galen. Pria itu memutar matanya malas. “Lo bisa baca ‘kan?” “Kenapa tiba-tiba pindah ke HRD?” balas Greysa masih tidak paham. Galen menarik senyumnya menjadi sebuah seringai yang bagi Greysa malah terlihat menyebalkan daripada menakutkan. “Kalna gue bosnya. Gue! Itu! Bos! Elo!” Galen benar-benar menekankan kata bos pada kalimatnya. Greysa menatap Galen dengan tatapan meragukan pria itu membuat Galen langsung melepaskan kartu tanda pengenalnya dan memberikannya pada Greysa. “Manager Human Resource Department?” “Itu bisa baca, sekalang ikut gue!” Galen kembali berbalik siap untuk melangkah. “Tapi kemarin pas wawancara, gak ada sedikit pun bahas soal pindah ke HRD.” Cukup. Sabar Galen yang hanya setipis tisu dibagi dua itu kini sudah habis. “Kalo gak suka, lo bisa pulang sekalang! Gue gak butuh kalyawan celewet kayak lo!” Galen membentak membuat banyak pandangan kini beralih pada mereka. Nyali Greysa seketika itu juga ciut, dia sudah salah langkah. “Gu-gue! Saya gak bermaksud seperti itu.” Galen mendengus kesal lalu berjalan lebih dulu yang kini langsung diikuti Greysa. Wanita itu mengikuti Galen yang kini memilih diam untuk naik lift sampai ke lantai empat. “Agus! Ini anak balunya, untuk sementala dia sama kamu dulu sampai meja sama komputelnya datang besok. Tolong ajali yang baik,” ujar Galen lalu berlalu ke sebuah ruangan dengan dinding kaca. Greysa masih bisa melihat Galen duduk membanting dirinya ke kursi dan mendesah frustrasi sebelum pria itu mengambil remote dan mengaburkan dinding kaca itu sehingga orang luar tidak bisa lagi melihatnya. “Ayo!” ajak pria yang tadi bicara dengan Galen. “Kamu untuk sementara duduk sama Ayu aja dulu ya? Soalnya di meja saya lagi banyak formulir kenaikan jabatan,” ujar Agus yang berhenti di sebuah meja partisi seorang wanita muda. “Kamu kenal sama Pak Galen ya?” Seorang wanita muncul dari meja partisinya. Greysa menatap wanita itu dengan bingung. “Baru kali ini lihat Pak Galen sampai segitunya mau jemput karyawan baru. Padahal biasanya Agus yang disuruh jemput,” ujar wanita itu lagi. “Iya, sampai si Agus dikasih pekerjaan tambahan tiba-tiba.” Greysa tidak menjawab, dia hanya bisa menatap ruangan Galen tanpa bisa melihat lelaki itu. (Beberapa Jam yang lalu) “Agus, hali kamu ada mau jemput kalyawan balu ‘kan? Bial saya aja!” ujar Galen. “Eh? Gak apa-apa, Pak Galen. Biar saya saja, takutnya bapak salah jemput orang,” ujar Agus. “Kamu melemehkan saya?” “Eh?” Agus tahu dia salah bicara. “Bukan gitu, Pak.” “Kamu pikil saya gak bisa ke bawah untuk jemput kalyawan balu? Kenapa? Kalna saya tidak pelnah?” “Bukan pak Galen. Saya cuma tidak mau Pak Galen repot. Itu saja.” Galen tidak menjawab, dia kembali ke dalam ruangannya membuat orang yang tinggal di luar itu langsung menghembuskan nafas lega tapi juga khawatir pada Agus. “Tumben banget dia mau pergi jemput karyawan baru? Jangan-jangan keluarganya kali?” “Iya, ih. Sampai tersinggung gitu padahal ‘kan maksud Agus gak gitu.” “Emang benar-benar kesabarannya setipis dompet gue!” timpal yang lain. Kegiatan rumpi itu terhenti karena tiba-tiba saja Galen keluar dari ruangannya dengan tumpukan kertas tebal di tangannya. “Gus! Ini folmulil untuk kenaikan jabatan kalyawan sampai tahun depan. Saya mau kamu buat dan daftar satu pel satu ya. Sole ini kasih ke saya.” Galen menaruh tumpukan kertas itu di atas meja kerja Agus yang kini menatapnya dengan tatapan terkejut dan tidak percaya. “Kalna kamu banyak keljaannya jadi kalyawan balu itu bial saya yang jemput.” Galen mengulum senyum lalu meninggalkan meja kerja Agus. “Oh iya. Folmulil untuk meja dan komputelnya ambil di luangan IT lantai satu ‘kan?” tanya Galen yang kembali lagi. “I-iya, Pak.” “Oke, thank you.” Sepeninggalnya Galen dari ruangan HRD, beberapa karyawan kembali berkumpul. “Lo juga lihat ‘kan?” Beberapa orang langsung mengangguk. “Gue sampe merinding nih lihat dia secerah dan seceria itu.” “Dia salah minuman apa gimana sih? Kok jadi beda sama yang kemarin-kemarin?” Galen berbeda. Sangat berbeda dan Greysa adalah alasannya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook