PART 3

1550 Words
"Apa? Mau bilang saya ke sini karena ngikutin Bapak?" Abian yang baru membuka mulutnya jadi rapat seketika. Saat keluar dari mobil, beberapa detik berlalu ada motor bebek warna biru yang berhenti di halaman rumahnya. "Balikin STNK saya!" Abian menatap datar Sera. Dia meronggoh sakunya dan memberikan benda itu tanpa kata, selanjutnya Abian memilih pergi. Dia memasuki rumahnya. Sementara Sera pun melakukan hal yang sama. Abian berbalik. "Kamu--" "Ngikutin Bapak karena gagal move on sama rumah yang saya tempati dulu, Bapak mau bilang ini?" Abian menaikkan satu alis matanya. Kenapa Sera ngegas? Dia pun berdeham. "Mau sampai kapan manggil saya Bapak? Ini bukan di kampus." Sera terkekeh. "Terus apa? Pengin banget saya panggil Sayang? Atau Mas kayak dulu?" Abian berdecak, dalam hati dia mengumpat. "Kenapa? Nyebelin kan saya ngomong gini? Sama, Pak. Di kampus juga saya sebel banget pengin nyentil mulut Bapak," sinis Sera dalam berucap. Dia sedang sensi gara-gara nyaris ditilang tadi, untung saja dia bisa lolos dengan licin. Oh, jadi Sera balas dendam? Abian berdecih. Kekanakan! "Kalian ributin apaan, sih? Kedengaran banget sampai dapur," celetuk Mama Rahee, ibunda dari seorang Abi sedang berkunjung di kediaman putranya yang ini. Sera dan Abian serempak saling tunjuk dan menyalahkan. "Ini, Ma. Pak Abian" "Saya gak setua itu, ya! Ini salah kamu yang terlalu kegeeran juga." Abian tidak mau kalah. Yang Rahee perhatikan, Abi menjadi sosok-- 180 derajat-- berbeda dengan yang biasanya kumpul di keluarga. Sera melotot, tubuh Abian yang tinggi membuatnya mendongak tidak kira-kira. "Emang tua, kan? Nyadar diri aja sih, Pak." "Kamunya aja yang bocah, boncel, bantet, kerdil!" "Biasa aja dong, Pak. Inget umur, gak usah ngegas! Kebanyakan naik kendaraan metik, sih," balas Sera lebih sengit lagi. Ada emosi yang meliputi, membuat kehadiran Mama Rahee tak jadi objek peduli. Sungguh, Sera darting kalau berurusan dengan mantan prianya ini. "Berani, ya, kamu sama saya?" Sera memeletkan lidahnya. "Iya, lah! Ninggalin kamu pas lagi sayang-sayangnya aja saya bisa." "Oh, gitu?" Abian menepuk kepala Sera yang sebatas dadanya. "Cewek bantet, saya sumpahin hidup kamu gak tenang karena gatel pengin balikan sama mantan." Sera menepis tangan Abian di kepalanya, dia tak kalah menantang memberi sumpahnya. "Semoga Bapak gagal move on dan uring-uringan habis ditinggal pergi sama istri." Sera menyeringai, Abian tersenyum remeh. Lalu dua-duanya saling bertatapan, bengis. Seolah sedang lomba yang paling lama bertahan tidak berkedip dia lah pemenangnya. Sementara itu ... "Aamiin, aamiin ... semoga terkabul Ya Allah, aamiin." Mama Rahee menengadah dan bersungguh-sungguh mengaminkan. "Gak ada salahnya rujuk, Mama do'akan yang terbaik untuk kalian." Celetukkan Mama Rahee sukses membuat Sera dan Abian memutus kontak mata dan saling memalingkan wajahnya berlawanan arah. "Saya nggak suka cowok tua." "Sama, saya juga gak suka bocah bantet d**a rata." Huh! *** Sore hari di group chat dosen sedang ramai. Ponsel Abian sampai tak henti bergetar. Sehabis perang dengan mantan istri, Abian memilih mandi dan berendam. Lalu saat kembali ke kamar dengan handuk di pinggang, ponselnya jadi pusat perhatian. Dia mengambil benda itu, mengeceknya. Room chat. Bimo: Di bioskop ada ganteng-ganteng srigala gak, Pak Kinan? Reva: Adanya Dylan. Erlang: Loh, Bu Reva ... Pak Kinan, jangan-jangan kalian? Bimo: Bagus nih ada kemajuan, lelah saya jadi stalker tapi hubungan kalian masih jalan di tempat. Kalo Pak Erlang kapan nih legalin Bu Ris? Erlang: Nanti dong setelah Pak Abian dapetin perawan. Hihi Kinan: Jandanya Pak Abian lebih menawan, lho... Bimo: Katanya mahasiswi kita, ya? Airis: Inisialnya Sera, ya, kalau gak salah? Erlang: Kamu benar, Sayang. Airis: Tapi orangnya yang mana sih? Yang namanya Sera ada dua, kan? Erlang: Iya, Cinta. Lalisa: Lagi bahas apa nih? Bimo: Hallo, Bu Lis. Ini lho mantan gebetannya Bu Lis.... Kinan: Eh, kemarin kalian nyoblos nomor berapa? Erlang: Saya golput, Pak. Nasib jomblo, Bu Ris malah nolak. Ditutup. Abian mendengkus dan mematikan ponselnya. Itu tidak berfaedah. Lalu menyimpan ponselnya di meja. Dasar para human tidak jelas, sukanya bergunjing saja. Dia pun beranjak, berpakaian, dan keluar dari kamar. Di ruang makan nampaklah sosok Sera dan mamanya yang sedang berbincang. Abian mendekat. Well, Papa Altarik tidak ikut kunjungan ke rumahnya. Beliau hanya mengantar Mama Rahee saja sebelum nanti datang menjemput. "Iya, Ma. Operasi usus buntu." Itu yang Abian dengar dan lalu dia duduk di depan Sera. Melihat Abian, Sera melongos. Dia pun mengabaikan eksistensi manusia nomor wahid yang tidak ingin dilihatnya. "Oh, ya ... kalian gak ada niatan mau ke makam?" Abian menoleh kepada sang mama, Sera juga sama. Mereka kaku dan berdeham di waktu yang berdekatan. "Udah lama lho cucu Mama gak dijengukin Mommy sama Daddy-nya," kompor Mama Rahee sambil sesekali matanya melirik Abian dan Sera yang sibuk dengan makanan masing-masing. Abian mencomot ikan lelenya, lalu dia celupkan ke sambal. Kemudian dia memangku kakinya dan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Sedangkan Sera, dia meyesap sayur sop panas buatan mama mertua, yang sudah jadi mantan. Jadi, mereka sibuk sekali. Semua sudah berbeda. Tak ada ikatan, benang merah telah diputuskan. Dalam sedetik Sera dan Abian menjadi canggung, padahal dulu hubungan mereka lengket sekali. Pasangan suami-istri yang sudah bercerai mungkin harusnya tidak bertemu seperti ini. Terlalu tebal dinding gengsi yang membentang di antara mereka. Terlalu tinggi tiang yang menopang luka di hati keduanya hingga sama-sama sulit menenggelamkan duka yang tercipta, luka itu masih jelas terlihat permukaannya. "Sera pasti mau jenguk, kok. Cuma nggak sekarang." Abian melirik mantan istrinya. Dia mendengkus. Mama Rahee mengerti. Dia tersenyum. "Meskipun udah gak sama-sama, kalian jangan lupa kalau udah pernah ada anak." Sera mengangguk, Abian diam saja dan melanjutkan makannya. "Ngomong-ngomong, Sera udah ada pengganti Abian belum?" Licin banget bibir mamanya, Abian tersedak. Jantungnya tiba-tiba berdetak cepat. Dia mencari air putih tapi bagiannya memang belum disediakan, maka Abian merampas yang ada dan yang Sera sodorkan. "Belum ada, Ma," jawab Sera sambil duduk kembali. Abian tersenyum diam-diam. "Tapi kemarin Sera dikenalkan sama Ibu dan bisa dijadikan pertimbangan" "Gak usah!" sela Abian tiba-tiba, "paling nanti juga cerai lagi." "Abian!" "Lho, benerkan Ma? Cewek modelan Sera itu emang tipe-tipe yang gak betahan, masih bocah juga, egonya tinggi. Diramal deh, nikah sama yang lain pasti gak lama juga cerai lagi." Sera terhina. Dia menatap tajam wajah Abian, jangan sampai Sera bertindak emosional dan menyiramkan kuah sop ke wajah pria itu. "Sayang, maafin Abian, ya ..." Merasa tidak enak, mantan mama mertua itu sampai menangkup punggung tangan Sera. "Gak pa-pa, kok. Biasanya omongan jahat itu berbalik ke diri sindiri," balas Sera dengan senyuman. "Sera jadi pengin nyoba." Abian mencibir. "Kamu kalau mau berhubungan sama cowok diliat dulu bibit, bebet, bobotnya." Secara tiba-tiba Abian tidak bisa mengontrol kalimatnya. "Yang pasti lebih baik dari mantan suami saya, Pak," tekan Sera. Mama Rahee sampai dibuat pening. Sepertinya dia salah mendekatkan dua orang yang sudah berpisah. Abian terkekeh sinis. "Siapa yang tahu? Baru juga dikenalin, kan? Kamu jangan sampai dibegoin deh sama cowok zaman sekarang, nanti kamu banyak makan hati." "Tenang aja, Pak. Saya ada pengalaman terbego dan sering makan hati sama cowok-- bahkan cowok zaman dulu lho ini, jadi saya gak bakal masuk ke lubang yang sama." Dari situ ... Abian bungkam. Apakah selama ini dia yang menyakiti Sera? Tidak. Justru Abian yang ditinggal pergi pas lagi sayang-sayangnya dalam keterpurukan. "Ma, Sera pamit pulang, ya?" Mama Rahee tak ada respons lain selain mengangguk. Tak ada pilihan. Namun, dia meminta kepada Sera untuk membawa masakannya dan akan Mama Rahee siapkan di dapur. Sera setuju. Maka di ruang makan itu kini tersisa dirinya dan Abian. Mereka saling diam. "Kamu yakin ada cowok yang bisa gantiin saya?" Dan Abian gatal ingin tahu. Sera mengangguk. "Yakin." "Gak ada yang lebih baik dari saya." Sera terkekeh. "Kamu gak pernah ngaca." "Hubungan kalian pasti gak bakal bertahan lama, sama kayak kita dulu." "Jangan disamakan, dia bukan kamu." Abian tidak mau kalah. Hatinya panas membara. Ada denyut jantung menyakitkan yang menjadi kecemasan. "Sera, sedikit aja ... kamu gak merasa bersalah ke saya?" "Maaf, kalau saya memang salah." Abian mendesah. "Gak usah minta maaf kalau kamu gak merasa bersalah." Hatinya sakit. Abian memalingkan wajahnya. Dia belum menerima kenyataan kalau dulu tiba-tiba saja digugat cerai dengan perkara sudah tidak saling cinta. Abian menolak, tapi Sera memaksa dan mengancam akan menyusul anak mereka kalau saja Abian tidak setuju cerai dengannya. Benar-benar sakit hati, tak dipungkiri bahwa dia menangis saat itu. "Sampai sekarang kamu gak pernah mengerti saya, Sera." "Iya, mungkin dari sana kita gak cocok." "Kamu keras kepala," desak Abian ingin membuat Sera sedikit saja merasa bersalah padanya. "Egois. Kamu gak tahu kan, gimana perasaan saya waktu kehilangan anak kita? Terus kamu ... belum juga kering tanah makam anak sendiri, kamu malah minta cerai. Otak kamu di mana, sih?" Sera menarik napas panjang. Jangan salah, hatinya juga sakit. Lalu, dia menatap Abian penuh kecewa. Abian tidak mengerti, bukan Sera yang tidak mau mengerti. Abian terlalu sibuk dengan sakit hatinya sendiri hingga dia tidak sadar kalau sakit hatinya itu justru menyakiti hati Sera. Dulu .... Sampai saat ini. Kalau boleh jujur, Sera masih menaruh hati kepada mantan suami. Tapi dia tidak tahu bagaimana caranya untuk bertahan, makanya Sera memutuskan tali pernikahan. Semuanya berawal dari janji dan harapan ketika sedang bahagia. Abian dan Sera. Semuanya berlanjut pada kecewa. Abian menjawab tiap omongan Sera saat sedang marah. Lalu, semua itu berakibat menjadi perkara, hingga yang merasa sedih membuat keputusan. Sera ingin bercerai. Semua yang sudah berlalu, fatal. Berantakan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD