Setelah menyetujui permintaan Pak Wiguna, Damasa di undang makan malam untuk bertemu calon mertua dan juga suaminya.
Jujur saja Damasa berat menjalani semua ini. Kemarin dia masih bekerja seperti biasa. Berstatus masih single di usia dua puluh enam tahun. Tidak punya pacar ataupun dekat dengan seseorang. Tapi hari ini semuanya berbalik seratus delapan puluh derajat. Dan sekarang dia harus bertemu dengan calon suaminya. Tepatnya calon suami dadakannya.
Sebuah mobil hitam mengkilap terparkir didepan rumahnya yang sederhana. Itu adalah mobil yang di kirimkan keluarga Wijaya untuk menjemputnya. Damaasa menghela nafas panjang sebelum memasuki mobil itu. Mau tidak mau dia harus menjalani ini semua, demi sang ayah.
Tidak sampai satu jam mobil yang di tumpangi Damasa berhenti di depan rumah besar bak istana. Ibunya tadi bercerita jika keluarga pak Wiguna adalah orang kaya dan terpandang. Tapi Damasa tidak menyangka jika keluarga yang akan menjadikannya menantu dadakan sangatlah kaya.
Gadis itu juga berpikir kenapa keluarga kaya raya seperti Pak Wiguna mencari menantu dadakan? Apakah laki-laki yang ingin di nikahkan dengannya kebelet nikah atau bagaimana? Atau wajah calon suaminya jelek sekali sampai tidak ada wanita yang mau dengan laki-laki itu.
Damasa kembali ke dunia nyata saat supir membuka pintu mobil untuknya. Tidak tahu kenapa sekarang ia menjadi gugup karena akan bertemu dengan calon mertua dan calon suami dadakannya.
Seorang pelayan wanita menyambut Damasa dan membawanya masuk kedalam rumah. Sungguh, gadis itu hampir tak bisa berkedip saat melihat interior mewah rumah itu.
"Damasa."
Mendengar namanya disebut, Damasa langsung menghentikan langkahnya. Pandangan gadis itu tertuju pada sosok yang ada didepannya. Laki-laki kurus dengan setelan jas berwarna Navy, tak lupa juga dengan rambutnya yang di cat warna abu-abu.
Damasa meras wajah itu tidak asing baginya, tapi siapa? Tapi darimana laki-laki itu mengetahui namanya. Tunggu. Jangan-jangan laki-laki yang ada dihadapannya sekarang adalah calon suami dadakannya.
Laki-laki itu mendekati Damasa lalu menyunggingkan senyum.
"Jadi benar itu kamu? " Tanya laki-laki itu.
Damasa mengernyit bingung. Namun setelah melihat wajah laki-laki itu lebih dekat, sepertinya ia mengenalnya.
"Kamu nggak ingat sama aku? " Tanyanya lagi.
Dalam diam Damasa mencoba mengingat dan butuh waktu beberapa detik sampai gadis itu mengingat laki-laki yang ada dihadapannya.
"Eric, " Ucap Damasa ragu.
"Akhirnya kamu ingat juga, " Jawabnya senang. "Jadi kamu orangnya? Wow... Aku nggak nyangka banget. Sepertinya ini memang jodoh. "
Tidak. Tidak mungkin Eric adalah calon suami dadakannya. Damasa tidak mau...! Ya... Tuhan kenapa dari semua mahluk yang ada di muka bumi ini, kenapa dia harus menikah dengan Eric.
Eric adalah teman SMA Damasa dulu. Mengingat Eric, gadis itu langsung mengingat dua temannya yang bernama Hito dan Gavin. Ketiga cowok itu sangat-sangat menyebalkan.
"Eric." Panggil seorang laki-laki yang keluar dari dalam rumah.
"Ya, kak Tomy. "
"Ayo, kita berangkat. "
"Iya, kak. "
Damasa melihat laki-laki yang di panggil Eric dengan sebutan 'kak'. Wajah laki-laki itu seperti juga tidak asing untuknya. Malah mengingatkannya pada seseorang. Tapi anehnya dia lupa siapa?
Tomy melirik Damasa sebentar kemudian melanjutkan langkahnya.
"Aku tinggal dulu, ya, Sa, " Ucap Eric. "Bye... " Eric melambaikan tangannya.
Ada kelegaan yang Damasa rasakan saat melihat Eric pergi. Jika laki-laki itu pergi berarti dia bukan calon suami dadakannya.
***
Gavin sudah lelah mencari Rea. Orang-orang suruhannya pun membawa hasil yang sama dengannya. Nol.
Gavin yang duduk di balik kemudi melirik jam tangannya. Dia malas untuk pulang ke rumah orang tuanya. Tentu saja karena disana dia akan bertemu dengan calon istri dadakannya. Siapa juga yang mau menikah dengan orang asing. Tapi mau bagaimanapun Gavin tidak bisa menolak perintah orang tuanya.
Sudah hampir sepuluh menit mobil Gavin berhenti di tepi jalan. Pikirannya kacau, sedih, terluka, kecewa, sakit hati bercampur menjadi satu. Semua terasa menyakitkan. Orang yang begitu ia cintai tega menyakitinya. Apa salahnya? Apa kurangnya? Sampai Rea tega padanya.
Setidaknya jika Rea menginginkan pernikahan mereka batal seharusnya dia bicara langsung bukan pergi begitu saja.
Lamunan Gavin buyar saat mendengar ponselnya berbunyi. Tertera nama Eric di layar ponselnya.
"Lagi dimana? " Tanya orang yang ada di seberang telepon.
"Di luar. " Balas Gavin malas.
"Seharusnya kamu ada di rumah, bukannya di luar. "
Gavin tidak membalas perkataan sepupunya.
"Bukanya sekarang kamu harus ketemu sama calon istri kamu. "
Hanya desahan yang terdengar dari seberang.
Eric mengerti apa yang dirasakan sepupunya.
"Mending sekarang kamu pulang. Tante Rika sama om Wiguna pasti lagi nungguin kamu. Begitu juga sama... calon kamu. "
Tidak ada sahutan dari Gavin.
"Aku tadi ketemu sama calon kamu. Dia cantik. Cantik banget tapi agak sedikit galak, sih. " Eric terkekeh. "Aku yakin kamu pasti suka sama dia. "
Tanpa Eric tahu, Gavin memutar bola matanya karena ocehan sepupunya yang menurutnya tidak penting.
"Aku sama kak Tomy mau berangkat ke Kalimantan dan sebelum hari pernikahan kamu, kami udah balik. Jadi jangan takut kalau kami nggak data-"
Tidak mau mendengarkan ocehan sepupunya lagi, Gavin Langsung memutuskan sambungan telepon sepihak.
Belum juga ada sepuluh detik ponsel Gavin berbunyi kembali. Ternyata telepon dari ibunya.
Gavin mendesah. Jujur saja dia malas mengangkat telepon dari sang mama. Tapi kalau tidak di angkat mamanya akan memarahinya serta menyuruh bodyguard untuk mencarinya dan membawanya pulang. Dia tidak ingin bertemu dengan perempuan yang akan menggantikan posisi Rea untuk menikah dengannya.
Dengan malas Gavin mengangkat telepon ibunya. Dan benar saja mamanya menyuruhnya segera pulang.
Tidak sampai tiga puluh menit Gavin sampai di rumahnya. Dia berjalan memasuki rumah dengan malas. Salah satu pelayan di rumahnya mengatakan jika ia harus langsung ke ruang makan.
Di ruangan itu, di meja makan keluarganya yang besar Gavin melihat mama dan papanya sedang bersama seorang wanita yang kemungkinan besar adalah calon istri dadakannya. Wanita itu duduk membelakanginya. Terlihat rambutnya yang panjang dan hitam legam.
"Ah, itu Avin sudah datang, " Kata mama saat melihat putra bungsunya.
Wanita itu menoleh dan keduanya sama-sama terkejut.
Gavin tidak pernah menyangka jika calon istrinya adalah Damasa. Teman SMAnya dan juga mantan pacarnya.
Sedangkan Damasa merasa seperti terkena sial karena calon suami dadakannya adalah Gavin. Laki-laki yang sangat ia benci.