[2] Merasa Curiga

1097 Words
Hening. Ailen hanya diam, berdiri dengan kepala ditundukkan. Sudah hampir tiga puluh menit dia melakukan hal itu, menunggu perintah dari pria di depannya. Bahkan, sejak itu pun dia tidak membuka suara sama sekali, takut jika hal itu menyinggung sang dosen. Pasalnya, dia sudah membuat kesalahan bertubi dan dapat dipastikan jika hal itu akan berdampak buruk untuknya. Sayangnya, Kenzo tidak juga membuka suara. Ailen yang penasaran dengan apa yang dilakukan pria itu pun melirik. Dia melihat Kenzo yang tampak begitu serius. Wajah dingin dengan gurat ketegasan itu membuat Ailen terpaku. Kedua sudut bibirnya bahkan langsung tertarik, membentuk senyum tipis. Tampan, batin Ailen. “Siapa nama kamu?” Ailen yang masih melamun langsung dikejutkan dengan pertanyaan Kenzo. Dengan cepat, dia mengalihkan pandangan, tidak menatap ke arah sang dosen. Sebisa mungkin, dia juga berusaha untuk bersikap biasa, tidak ingin tertangkap basah jika tengah mengagumi pria itu. “Siapa nama kamu?” Kenzo mengulangi pertanyaannya dan menatap ke arah Ailen berada. “Ailen, Pak,” jawab Ailen dengan suara yang sedikit bergetar. “Ailen. Bukankah kamu mahasiswa saya?” tanya Kenzo kembali dan hanya mendapatkan anggukan dari arah Ailen. “Lalu, kenapa kamu baru berangkat? Bukankah kamu tahu kalau saya tidak akan pernah mengizinkan mahasiswa saya ujian di kelas lain?” Kenzo tampak begitu serius dan menatap tajam. Sorot mata dingin benar-benar membuat Ailen semakin menciut. Ailen menelan saliva pelan. Tingkah Kenzo benar-benar membuatnya semakin gugup. Dia bahkan tidak bisa mengeluarkan suara. Jangankan mengeluarkan suara, membuka mulut pun rasanya cukup sulit. “Selain itu, saya lihat kamu juga merupakan salah satu mahasiswa bimbingan saya, Ailen,” lanjut Kenzo serius. “Hah?” Ailen yang terkejut langsung memekik. Kedua matanya melebar, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Pasalnya, selama ini yang dia tahu, bukan Kenzo dosen pembimbingnya. “Karena satu dan lain hal, kamu harus menjadi mahasiswa bimbingan saya,” ucap Kenzo sembari mengulurkan selembar kertas di depan Ailen. Ailen masih tidak percaya dengan hal itu, membuatnya langsung meraih kertas itu dan membaca dengan cermat. Benar saja, dosen sebelumnya melimpahkan tanggung jawab itu dengan Kenzo. Kedua manik matanya langsung menatap ke arah Kenzo, merasa ngeri karena setelah ini harus berurusan dengan pria itu. “Sudah selesai membacanya? Jika sudah, kamu bisa keluar,” ucap Kenzo kembali. Ailen menelan saliva pelan dan kembali meletakkan kertas di tangannya. Pikirannya benar-benar kacau karena hal itu. Dia yang baru saja membuat masalah dengan pria itu, kini kembali dihadapkan dengan masalah yang sama. Kakinya pun dengan lemah melangkah ke arah pintu. terlihat jelas raut wajah bingung dari gadis itu. hingga dia menghentikan langkah dan kembali menatap ke arah Kenzo berada. “Ada apalagi, Ailen?” tanya Kenzo dengan sorot mata tajam. Ailen yang mendengar menggelengkan kepala dan kembali melanjutkan langkah. Wajah yang semula cemas dan bingung, kini berubah menjadi ceria. Benar-benar mudah berganti ekspresi wajah. Hingga dia yang sudah keluar dari ruangan Kenzo pun menutup pintu dan menghentikan langkah. Sejenak, dia hanya diam, tetapi setelahnya dia meloncat dengan senyum riang, bak anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan. “Kamu kenapa, Ailen? Sepertinya kamu mendengar kabar bahagia setelah dari ruangan Pak Kenzo.” Ailen menghentikan gerakan dan mengalihkan pandangan. Dia menatap ke arah wanita berkacamata di depannya. Dengan cepat, dia menggelengkan kepala. Senyum di bibirnya juga masih sama, memperlihatkan kebahagiaan yang begitu jelas. Hingga dia melangkahkan kaki, meninggalkan depan ruangan Kenzo. *** “Ailen, bisa kamu jangan senyum-senyum sendiri? Kamu benar-benar seperti orang gila, Ailen,” celetuk Aruna tanpa melihat ke arah sahabatnya. Ailen yang mendengar kalimat sahabatnya itu pun hanya diam. Dia tidak menggubris sama sekali ucapan yang lebih seperti mengolok itu. Bahkan, dia seperti tidak peduli dengan apa yang baru saja dikatakan sahabatnya. Bibir merahnya masih mengulas senyum lebar, membuat Aruna yang sudah selesai merapikan pakaian pun menjadi kesal. Aruna melangkahkan kaki, menuju ke arah sang sahabat yang masih duduk di depan meja rias. Dengan tenang, dia menepuk pundak sang sahabat, membuat Ailen tersentak kaget. “Jangan melamun terus, Ailen. Sekarang kamu harus bersiap. Kita harus segera datang ke pesta kampus,” ucap Aruna kedua mata melotot. Pasalnya, sejak tadi sahabatnya tidak melakukan apa pun, selain bersimulasi menjadi orang gila. “Iya-iya,” sahut Ailen, masih mengulas senyum. Dia segera meraih peralatan make up di depannya dan mempercantik diri. Meski sebenarnya tanpa make up pun dia sudah tampak cantik, tetap saja kali ini dia harus tampil dengan sempurna. Semoga Pak Kenzo datang, batin Ailen dengan penuh harap. “Sudah selesai,” ucap Ailen dengan riang. “Kalau begitu, sekarang kita berangkat,” kata Aruna dengan tenang. Ailen hanya menganggukkan kepala. Dengan cepat, dia melangkah keluar kamar dan menuju ke arah mobil. Sebelumnya dia bahkan tidak pernah sesemangat ini untuk datang ke sebuah pesta. Bukan hanya itu, biasanya dia selalu absen dengan segudang alasan, tetapi kali ini berbeda. Ailen malah sangat menantikannya. Beberapa menit menempuh perjalanan, Ailen memberhentikan mobil. Dia dan Aruna segera memasuki sebuah gedung dimana pesta itu berlangsung. Manik mata Ailen pun langsung mengamati sekitar, mencari sosok yang sangat dinantikannya. Dia ingin melihat penampilan pria pujaannya. Hingga manik matanya menangkap sosok yang sejak tadi dicari. Namun, perlahan senyum di bibir Ailen menghilang. Pasalnya, pria yang sejak tadi ditunggu tengah berjalan dengan wanita lain. Wajahnya berubah menjadi sendu karena memperhatikan senyum di wajah keduanya yang tampak bahagia. “Mereka serasi ya,” celetuk Aruna. Serasi. Ailen yang mendengar benar-benar merasa tidak senang dengan hal itu. Pasalnya, dia tidak mengharapkan kalimat itu keluar dari mulut siapa pun. Dia tidak ingin ada yang mengatakan Kenzo serasi dengan wanita lain. Seharusnya dia, tetapi nyatanya bukan. Ailen yang merasa sedih pun membuang napas kasar, mencoba menghilangkan perasaan yang mengganjal dalam hatinya. Semangat yang sempat ada pun menghilang begitu saja. Bahkan kali ini dia ingin sekali pulang ke rumah. Dia ingin sendiri. “Kamu mau kemana, Ailen?” tanya Aruna ketika sahabatnya hendak menghindar dari keramaian. “Aku mau ambil minum,” jawab Ailen tanpa semangat. Dengan gontai dia melangkah ke arah lain. Hening. Ailen hanya diam. Pandangannya tidak beralih sama sekali dari pasangan di depannya, memperhatikan dengan cukup dalam. Hingga manik matanya melihat Ciara—wanita yang bersama dengan Kenzo bangkit dan melangkah ke arah lain. Ailen yang penasaran pun beralih memperhatikan Ciara. “Dia mau apa?” tanya Ailen dengan diri sendiri. Keningnya berkerut dalam, merasa bingung karena Ciara yang membawa dua gelas minuman ke arah meja yang sepi. Ailen pun melangkah pelan, berusaha untuk tidak menarik perhatian para tamu undangan. Dia ingin melihat, apa yang sebenarnya sedang dilakukan Ciara. Hingga dia yang sudah cukup dekat pun melihat wanita itu memberikan sesuatu di salah satu minuman, membuat Ailen tampak bingung. “Apa yang dimasukkannya? Apakah itu racun?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD