9. Bukan Mahram

1293 Words
Kampus cukup ramai sejak Senin pagi. Banyak mahasiswa memiliki jadwal kelas mulai pukul setengah delapan pagi. Sedangkan untuk staf dan dosen biasanya akan masuk sebelum jam 8 jika tidak mengajar di waktu awal hari. Hani mengenakan atasan kemeja batik seragam kampus berwarna kuning gold dengan bawahan celana longgar kain warna putih. Pashminanya juga warna putih yang membuatnya sangat cerah sepagi ini. Tapi cerah di wajahnya langsung lenyap saat melihat sosok Fadli berjalan berlawanan arah darinya. "Ada pak dekan di dalem?" tanya Fadli begitu berdiri di hadapan Hani. Fadli juga memakai kemeja yang sama karena wajib dipakai saat hari Senin tiba. Jadi sangat mudah sekali membedakan staf dengan mahasiswa. Tapi Fadli memadukannya dengan bawahan warna hitam. "Ada, tapi katanya sebentar lagi akan rapat," jawab Hani masih dengan raut wajah tidak sukanya, apalagi saat ingat kemarin auratnya terlihat oleh Fadli. Kepala Fadli mengangguk. "Oke, terima ka-" Belum selesai Fadli berbicara, Hani sudah pergi dari hadapannya. Meninggalkan pria ini dengan kata yang tak jadi terucap di ujung lidahnya. "Kasih …" lanjutnya lalu tersenyum memaklumi sikap Hani. Padahal tadinya Fadli ingin minta maaf karena kemarin melihat Hani yang cuma mengenakan daster. Antara rejeki tapi juga Fadli merasa bersalah. *** Saat pukul 11, Hani ditugaskan untuk menuju aula tempat kompetisi berada. Persiapan sudah 50 persen berlangsung dan di sana jelas Hani akan bertemu dengan Fadli juga. Penampilan pria itu kini ditambahkan dengan topi hitam di kepalanya dan kamera yang tergantung di lehernya. Dia diikuti mahasiswa yang bertugas untuk latihan juga. Membuat Hani bisa mengamati sisi profesional Fadli setelah sekian lama. Setelah waktu zuhur dan makan siang berlalu, kedua orang yang dulu pernah menikah ini masih berada di tempat yang sama. Mereka masing-masing sedang beristirahat sebelum pukul 13.30 kegiatan akan kembali dimulai. "Hani," panggil Fadli yang memutuskan untuk menghampiri mantan istrinya yang tengah duduk sendirian di pojok aula. Ada deretan kursi di bagian ini dan Fadli duduk dengan jarak 1 kursi kosong di antara dia dan Hani. Wanita ini memperhatikannya dan merasa lega saat Fadli tidak mengambil tempat tepat di sebelahnya. Ini hanya akan menimbulkan gosip dan desas-desus tidak benar nantinya. "Apa?" sahut Hani tak berminat, fokusnya tetap pada ponsel di tangan. "Aku minta maaf karena kemarin nggak jaga pandangan aku ke kamu," ujar Fadli yang kali ini berhasil membuat Hani menoleh ke arahnya. Tapi itu cuma beberapa detik, sebab Hani tengah sibuk untuk meredam rasa malu dan kesalnya sekaligus. "Aku maafkan dan sebaiknya jangan dibahas lagi," kata Hani serius tapi wajahnya merah padam. Masih teringat jelas saat dia tidak mau bertemu Fadli karena sangat malu. Dia berpura-pura tidur karena kelelahan di kamar sehingga tidak perlu melihat pria ini lagi. Untung saja ibunya percaya alibinya itu. "Tapi … aku bener-bener nggak sengaja ngeliat kamu begitu karena sebelumnya kita pernah meni-" "Sttt!!" Hani memotong kalimat Fadli yang hendak mengungkapkan mereka pernah menikah padahal situasi di aula sudah kembali ramai. "DIEM!" ucap Hani dengan tegas. "Kenapa?" tanya Fadli karena dia sadar Hani tidak ingin orang lain tahu soal status mereka di masa lalu. Hani menatap Fadli tajam sembari melirik was was pada sekitarnya. Karena jangan sampai ada yang mendengar pembicaraan mereka berdua. "Karena aku nggak mau menjadi bahan gosip," jawab Hani lugas. "Itu bukan gosip, tapi fakta, Han," kata Fadli yang membuat Hani tidak suka. "Ya. Tapi fakta yang harus disembunyikan." Secara lugas Hani menimpali. Dalam hati Fadli, dia merasa seperti ada yang patah di dalamnya. "Aku nggak mau kalau orang-orang berspekulasi soal apa yang terjadi di antara kita apalagi soal perceraian. Jadi … aku harap kamu juga mengerti jika aku tidak ingin soal kita diketahui oleh orang kampus," sambung Hani. Fadli menghela napas lelah mendengar keputusan Hani. Karena Hani seolah mengatakan kalau waktu yang pernah mereka lalui tidak lah berarti. Saat Hani sudah akan beranjak dari duduknya, tiba-tiba Fadli berkata lagi. "Aku juga masih berspekulasi soal kenapa kita bercerai, Han … aku masih mencari tahu soal itu," ujarnya dengan nada suara yang dibuat pelan karena Hani menatapnya menegur. Tatapan yang kini berubah karena ada rasa marah yang tiba-tiba muncul di hati Hani. "Kamu punya pilihan, 1. Melanjutkan hidup tanpa memikirkan soal masa lalu dan abaikan aku juga. Dan yang ke. 2, jika ingin tahu kenapa kita bercerai …" Mata Fadli menatap fokus pada Hani sekarang. "Kamu harus mencari tahu sendiri alasan itu. Aku nggak punya waktu untuk menjelaskannya karena sudah berulang kali aku memberikan petunjuknya saat kita masih baik-baik saja," tutur Hani panjang. Dia kini benar-benar berdiri dari kursinya dan berjalan menjauh dari Fadli. Tapi pria ini dengan cepat mencegat langkahnya dengan berdiri di depan Hani. "Kalau gitu aku akan memilih yang ke. 2. Aku akan cari tahu alasannya dan berusaha memperbaikinya," ujar Fadli dengan kesungguhan hatinya. Sehingga sempat ada rasa harus mampir di benak Hani, tapi lagi lagi dia akan menepis jauh hal seperti ini. "Itu terserah kamu. Aku tidak mau ikut campur." Saat Hani sudah berlalu, Fadli menatap kosong ke depan dengan otaknya yang terus mengulang kalimat Hani barusan. Fadli berpikir, apakah kesalahan yang dia perbuat begitu besar? Apakah karena kesalahan tersebut membuat Hani tiba-tiba menggugat cerainya di malam saat dia baru saja selesai makan masakan wanita itu? Tapi apa? Fadli bahkan merasa kalau mereka berdua baik-baik saja sebelumnya. "Seberapa besar rasa sakit yang sudah aku perbuat hingga membuatmu sedingin ini padaku, Hani?" *** Usai percakapan penuh atmosfer ketegangan tadi, Fadli jadi tambah panas karena melihat Hani dihampiri oleh Abas. Salah satu saingan yang Fadli ketahui. Dan selalu sukses juga untuk memunculkan tawa Hani. Dia bahkan tanpa sadar meremas kameranya terlalu kuat hingga mahasiswanya yang melihat itu meringis. Takut saja kalau kamera mahal Fadli rusak. "Selamat bersaing sama, Pak," cetus salah satu mahasiswanya. Fadli menoleh ke belakang, menatap mahasiswanya dengan penuh penilaian. "Kalian nggak ikut ikutan suka sama Bu Hani, kan?" tanga Fadli yang disambut tawa. "Suka, Pak. Tapi nggak mungkin karena saingannya banyak." "Iya, lebih baik sadar diri dan mundur teratur." Kepala Fadli jadi pening sekarang. Bisa-bisanya mahasiswa juga memiliki ketertarikan pada mantan istrinya. Dan kini saat dia sudah menyelesaikan tugasnya di aula. Fadli, Hani dan juga Abas berjalan bersama menuju fakultas dakwah. Mereka berjalan bersisian dengan Hani yang berada di tengah. Tapi yang paling membuat Fadli kesal adalah Hani yang lebih sering menyahuti apa yang Abas katakan. "Pak Fadli masih ada jadwal hari ini?" tanya Abas. Mereka bertiga baru saja tiba di area fakultas dakwah yang tampak ramai mahasiswa. "Masih abis ashar nanti, kalau Pak Abas sendiri?" tanya Fadli balik. "Sama, mayan padat jadwal kalau Senin," jawab Abas yang memang pembawaannya sangat ramah. Jadi karena itu juga Fadli tidak bisa menganggap Abas adalah musuh. Saat mereka bertiga akan naik ke lantai 1 via basement, tiba-tiba saja ada yang menegur posisi mereka bertiga berjalan. "HANI!" panggil seseorang pada Hani, tapi semuanya ikut menoleh. Ternyata itu Farah, salah satu dosen perempuan di fakultas dakwah. Seorang yang sama cantiknya seperti Hani, tapi entah kenapa tampak selalu memusuhinya entah atas dasar apa. "Kamu jangan jalan di antara cowok dong. Kan bukan mahramnya," kata Farah yang seketika membuat Hani melangkah mundur hingga 3 kali karena tegura tersebut. "INGAT itu loh, Han," kata Farah lagi. Kepala Hani tertunduk. Sebenarnya tidak ada masalah dengan teguran yang Farah lakukan, hanya saja … setiap Farah berbicara padanya, sering menggunakan wajah yang ketus dan suara serupa juga. "Baik, Mbak. Terima kasih sudah mengingatkan." Setelah mengatakan itu, Hani langsung pamit untuk menuju kantornya duluan. Meninggalkan kecanggungan di antara Fadli, Abas dan Farah. Tapi secara mendadak Farah menyapa Abas dengan senyum lebarnya. "Assalamualaikum, Pak Abas," salam Farah. Nada suaranya bahkan berubah, tidak seperti ketika berbicara dengan Hani tadi. "Waalaikumsalam, Bu," balas Abas yang tampak ramah seperti biasa. Namun Fadli yang ada di sana, merasa bingung kenapa pula dia tidak disapa juga oleh Farah? Apakah dia tidak terlihat? Bahkan setelahnya Farah langsung pergi dengan senyum salah tingkah dan pipinya yang memerah dalam pengamatan Fadli. Atau dia salah lihat? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD