Sore hari. Zhai mandi di kamar mandi yang ada di ruangan kantornya. Lalu mengganti pakaian dengan kemeja biru muda dan celana panjang eans biru tua. Kemudian menyisir rambutnya dan menyemprotkan parfum di tubuhnya. Zhai merasa cukup puas dengan penampilannya. Meski pakaian tampak sederhana, tapi sesungguhnya yang dikenakan adalah pakaian bermerek yang cukup mahal harganya. Zhai menatap dirinya di cermin. Rambutnya hitam lebat, dicukur pendek dengan rapi. Dahinya lebar. Alis dan bulu matanya hitam. Bola matanya sipit. Hidungnya mancung. Rahang dan dagunya terlihat kokoh. Bibirnya terlihat tegas. Matanya yang sipit tidak bisa menyembunyikan darah yang mengalir di tubuhnya. Tapi itu bukan sebuah kekurangan bagi Zhai. Karena mata sipitnya menjadi sesuatu yang menarik bagi para perempuan. Tidak sulit baginya untuk mencari perempuan untuk menemani. Tapi Zhai membatasi diri, hubungan mereka hanya sebatas di ranjang saja. Setelah dibayar, ia pergi, mereka tidak punya hubungan lagi. Sampai akhirnya jika Zhai menginginkan mereka bertemu lagi.
Dalam wajahnya yang tampan, Zhai merasa melihat kehampaan. Tampak di luar, ia seperti orang yang bahagia. Tapi di dalam hatinya, ada kekosongan yang membuat kesepian. Namun Zhai belum ingin mengisi kekosongan hatinya itu. Zhai belum menemukan perempuan yang menggetarkan hatinya. Orang berpikir tidak sulit baginya untuk mencari pendamping. Tapi mereka tidak tahu, dirinya yang tidak memiliki keluarga, tidak jelas anak siapa, menjadi sebuah pertimbangan bagi orang tua, untuk menariknya menjadi menantu mereka. Hidupnya tidak semudah yang orang pikirkan. Ada saja rintangan yang harus dihadapi.
Namun Zhai tidak berkecil hati. Kepercayaan diri yang dimiliki oleh Zhai cukup tinggi. Ia memiliki usaha karena kerja kerasnya, bukan karena warisan orang tua. Itu adalah poin penting dalam hidupnya, yang membuat dirinya merasa bangga. Usaha yang dimulai sejak ia masuk SMP. Ke sekolah membawa jualan kue dan cemilan masakannya sendiri. Hal itu berlangsung hingga lulus SMA. Setelah kuliah di Jakarta, Zhai berjualan di pinggir jalan. Berjualan teh, dan gorengan. Zhai tidak menyangka kalau jualannya laris manis. Zhai tahu bukan karena jualannya terlalu enak. Tapi karena penampilannya yang menarik para pembeli.
Dari hanya memiliki satu rombong, terus bertambah. Teman-teman mahasiswa perantauan seperti dirinya, ingin juga berusaha mencari penghasilan sendiri. Karena itu, mereka meminta Zhai untuk menerima mereka bekerja. Sampai saat ini, rombongnya ada di mana-mana. Tapi memakai sistem waralaba. Usaha yang sangat sukses, sampai saat ini. Zhai bisa membangun pabrik yang begitu besar. Bahkan produksinya sudah dijual ke luar negeri. ❤️
Zhai keluar dari kamar mandi. Sudah waktunya jam pulang kantor.. Ponselnya berbunyi. Zhai meraih ponselnya dan melihat siapa yang menelpon. Levina yang meneleponnya.
"Halo Zhai. Kamu sudah pulang?" Tanya Levina dengan suara lembut manja.
"Sebentar lagi. Ada apa?" Zhai balik bertanya, ada keperluan apa Levina menelepon nya.
"Malam ini aku ingin ke rumahmu." Levina mengutarakan keinginannya untuk datang ke rumah Zhai malam ini.
"Untuk apa?" Zhai merasa tidak ada kepentingan bagi Levina untuk datang ke rumahnya.
"Apa tidak boleh aku datang ke rumahmu?" Suara Levina merajuk manja. Sejak hubungan mereka kembali terjalin, Levina berubah lebih manja kepada Zhai. Walaupun hubungan mereka hanya pertemanan saja.
"Malam ini aku tidak ada di rumah. Ada urusan di luar." Zhai memang akan keluar. Ada janji dengan teman-temannya, juga dengan perempuan yang sering menjadi teman di atas ranjang.
"Urusan apa?" Levina tidak bisa menahan keingintahuan. Ada urusan apa Zhai di luar rumah.
"Maaf aku tidak bisa memberitahu kamu." Zhai menolak untuk memberitahu, urusan apa yang akan dikerjakan malam ini.
"Besok siang ada di rumah tidak?" Levina mencari waktu untuk datang ke rumah Zhai.
"Aku belum tahu. Bisa saja aku pergi." Zhai tidak ingin memberi kepastian kepada Levina.
"Kamu sengaja ya tidak memperbolehkan aku datang ke rumahmu?" Tuduhan itu Levina ucapkan, karena Zhai menolak kedatangannya ke rumah.
"Kamu ada keperluan apa datang ke rumahku. Kita tidak punya hubungan apa-apa. Aku pria bebas." Zhai tidak suka mendengar tuduhan Levina kepada dirinya. Dirinya pria bebas. Terserah saja ingin melakukan apa. Tidak ada yang bisa melarangnya.
"Bersikaplah ramah sedikit kepadaku, Zhai." Levina merasa Zhai tidak berusaha ramah kepadanya.
"Apa sikapku kurang ramah kepadamu? Kamu datang ke rumahku ingin bertemu, aku sudah mengatakan kalau aku ada kesibukan di luar. Tidak bisa bertemu kamu. Apakah itu kurang ramah menurutmu?" Zhai tidak merasa berkata kasar kepada Levina yang ia ucapkan memang benar adanya.
"Kamu kenapa sih?" Tanya Levina karena merasa sikap Zhai aneh.
"Kenapa bagaimana? Aku baik-baik saja. Yang aku katakan kepadamu cukup sopan menurutku." Zhai merasa heran dengan pertanyaan Levina kepadanya.
"Apa kamu telah menjalin hubungan dengan seorang wanita?" Levina tidak tahan untuk tidak menanyakan hal itu. Selama tiga bulan ini hubungan mereka baik-baik saja. Zhai mau menerimanya, meski belum membuka hatinya. Tapi hari ini, Levina merasa ada yang berubah dengan Zhai. Zhai seperti ingin menghindarinya.
"Maaf, Levina. Aku tidak ingin menjawab hal itu. Itu adalah urusan pribadiku, tidak ada sangkut-pautnya dengan dirimu." Zhai berkata tegas kepada Levina.
"Beri aku kesempatan, Zhai. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik untukmu." Untuk kesepian kalinya, Levina memohon kepada Zhai.
"Maaf, Levina. Untuk saat ini aku belum memikirkan untuk menikah lagi. Atau pun berpikir kembali kepadamu. Sudah ya, aku harus pergi. Selamat sore." Zhai mematikan ponselnya.
Zhai bereskan meja kerja, kemudian melangkah keluar ruangan. Pintu ruangan kerja dikunci olehnya. Kunci dimasukkan ke dalam tasnya. Para karyawan sudah pulang. Begitu juga dengan sekretarisnya. Zhai melangkah menuju keluar dari kantor. Zhai langsung menuju mobilnya. Tujuannya hari ini adalah makan dengan beberapa temannya. Zhai menuju tempat yang sudah disepakati. Sebuah rumah makan. Rumah makan di mana saat itu, Runi masuk di dalam mobilnya. Sampai sekarang, Zhai belum tahu bagaimana Runi bisa membuka kunci pintu mobilnya. Karena saat ia masuk, pintu mobil masih dalam keadaan terkunci. Sebuah keajaiban yang tidak mendapatkan jawaban. ❤️
Zhai memarkir mobilnya. Lalu keluar dari mobil. Zhai melihat ada beberapa orang bicara dengan satpam. Zhai tertarik mendengarkan obrolan mereka. Karena mereka menyebut nama Runi.
"Runi?" Tanya Satpam itu.
"Iya. Dia gadis keturunan India. Mungkin Bapak ada melihat dia di sekitar sini. Ini fotonya."
Pria itu memperlihatkan foto Runi kepada satpam.
"Saya tidak ada melihatnya. Memangnya dia siapa?" Tanya Satpam penasaran.
"Dia memiliki hutang yang cukup besar. Melarikan diri dari kampung. Karena itu kami kejar sampai ke sini." Pria yang memperlihatkan foto menjelaskan.
"Oh. Maaf, Mas. Saya tidak pernah melihat perempuan ini." Satpam menggelengkan kepala.
"Kalau melihat dia. Tolong hubungi kami. Kami kehilangan dia di sekitar sini. Mungkin saja dia tinggal di sekitar sini. Ini nomor telepon saya." Pria itu memberikan nomer ponselnya.
"Oh. Baik, Mas."
Orang yang bicara dengan satpam itu menatap ke arah Zhai. Zhai langsung pura-pura menelepon. Agar tidak ketahuan kalau ia mendengarkan percakapan mereka. Bagi Zhai ini artinya membahayakan bagi Runi. Runi tidak bisa sembarangan pergi keluar rumah. Karena anak buah ayah tirinya sedang mencari Runi. Zhai melangkah masuk ke rumah makan. Menemui temannya yang sudah menunggu. Zhai ingin setelah menemui temannya langsung pulang ke rumah. Tidak jadi menemui perempuan yang akan menemaninya malam ini.
Zhai merasa punya tanggung jawab untuk melindungi Runi. Karena Runi adalah anak dari wanita yang pernah ia cinta di masa SMA. Zhai tidak ingin Runi terluka. Zhai akan berusaha menjaga Runi, demi Arupita. Cinta pertama yang tidak pernah bisa ia lupakan. Walau Arupita tidak menitipkan Runi kepadanya, tapi Zhai merasa memiliki kewajiban terhadap Runi. Dulu Zhai tidak bisa menjaga Arupita, sehingga Arupita hamil dan harus menikah muda. Sekarang Zhai ingin menjaga Runi agar masa depan Runi lebih baik. Runi sama seperti dirinya. Tidak memiliki ayah yang memperhatikan mereka. Namun Runi masih merasakan kasih sayang ibunya. Tidak seperti Zhai yang hanya diasuh oleh nenek dan kakeknya.
Zhai berharap, kehidupan buruk dirinya, tidak menular kepada orang lain, apalagi kepada keluarganya. Untungnya jiwanya kuat, sehingga bisa menghadapi semua ini dengan lapang d**a. Zhai tidak menyalahkan siapa-siapa, walau tidak marah merasakan kasih sayang orang tua. Zhai cukup puas dengan kasih sayang diberikan nenek dan kakeknya. Juga diberikan oleh kedua orang tua angkatnya. Meski saat ini, ada perselisihan paham antara dirinya, dengan saudara ayah angkatnya. Saudara ayah angkatnya menganggap, ia mengambil sebagian warisan milik orang tua angkatnya. Padahal Zhai tidak pernah mengambil apa-apa dari mereka. Mereka yang memaksa memberikan sejumlah uang kepadanya.
*