Bab 2 Teror Yang Mengerikan

1682 Words
Jayus menatap Lita dengan tajam, saat dia sudah masuk kedalam rumah. "Apa yang sudah kamu lakukan, Lita? Kenapa mereka bisa mengikutimu!" sentak Jayus marah. "Ini hanya bisa terjadi, apabila kamu meninggalkan kembang itu!" tukas Jiman. Lalita hanya terdiam, ia meraba pundaknya mencari selendangnya. Ia menoleh kanan kiri pundaknya, kemudian dengan nafas tersenggal ia menatap Jayus dan Jiman bergantian. "Kembang itu diselendang saya Mbah, tadi buat nutup kepala. Kayaknya jatuh pas ada hantu itu didalam rumah," jawabnya. Jiman menautkan alisnya, "Hantu apa maksud kamu?" "Anak bayi, Mbah. Tubuhnya kecil, tapi kepalanya botak, matanya bolong sama kulitnya melupas," jelas Lita sembari memilin ujung bajunya. Jiman dan Jayus saling pandang, "Bayi bajang! Ini hanya bisa terjadi jika kamu masih memikirkan janinmu," "Bukankah sudah saya katakan! Kamu tidak boleh memikirkan janinmu lagi, jika itu terjadi kemarahan jin suro wanita akan membahayakan nyawamu Lita!" ancam Jayus. Sebenarnya, Lita memang masih terus terbayang janin yang tempo hari ia lahirkan paksa. Ibu mana yang tak memikirkan buah hatinya, namun bimbingan Jayus membuat Lita perlahan menjadi Ibu yang durjana. "Ma-ma'af, Mbah. Saya hanya masih terbayang kejadian kemarin malam," sesal Lita. "Sudah saya peringatkan, jangan kenang jabang bayikmu itu. Karena rohhnya sudah di asuh oleh jin perempuan, jika kamu terus mengenangnya maka arwahnya tak akan tenang. Itu bisa membahayakan nyawamu!" tegas Jayus. "Ba--baik, Mbah," jawab Lita terbata. Diluar keadaan masih riuh, Jiman dan Jayus membakar dupa dan dan merendam bunga dikendi kecil. "Mulai hari ini, kamu tinggal disini saja!" tutur Jayus. Lalita termenung ia teringat pesan suami sebelum berangkat ke kota. "Kamu jangan sampai tinggal dengan Emak! Jangan ikuti apa saja perintahnya, Mas ngga mau kamu dan calon anak kita terluka!" pesan Amba. Hubungan Amba dan Orang tuanya memang tak baik. Sejak kematian istri dan juga anaknya, Amba juga tau bahwa orang tuanya pemuja setan. Kerap kali membunuh janin-janin yang tak berdosa untuk dijadikan makanan jin peliharaannya. "Lalita!" sentak Jayus membuyarkan lamunanya. "Ba--baik, Mbah." *** Pagi sudah datang, hamparan sawah dan perkebunan kopi di desa itu nampak begitu indah. Lita terbangun dengan mata yang masih sembab. Kemudian bergegas membersihkan tubuhnya di sungai yang menjadi tempat satu-satunya sumber perairan didesa itu. "Kita turut prihatin, iya Lita. Kamu harus kehilangan anakmu, kasihan Mas Amba. Ia sudah dua kali, lo kehilangan anak," tutur salah seorang perempuan tetangganya. Lita hanya mengangguk, kemudian bergegas pergi meninggalakan tempat itu. Takut jika nanti ada yang bertanya-tanya tentang anaknya. Diperjalanan pulang kerumah Jayus, Lita melihat seorang anak laki-laki tengah berlari bermain ria dengan teman-temanya. Tanpa sadar bibir Lita mengukir senyuman, namun matanya mengeluarkan buliran hangat. 'Andai anakku bisa dilahirkan dengan selamat, pasti dia akan bermain juga seperti anak itu.' Dengan cepat Lita menghapus jejak air matanya, dan menggelengkan kepalanya menghilangakan pemikiran itu. Masih ditengah jalan, Lita disambut dengan penampakan aneh. Seorang nenek-nenek tengah duduk dibatu kali besar dengan menundukan pandanganya. Lita adalah tipe orang yang tak mau tahu, gegas ia cepat melalui nenek tua itu. "Cah ayu!" suara nenek itu serak, khas wanita tua. Lita mengentikan langkahnya, sebab hanya ada dia dijalan itu. "Dia akan selalu mengikutimu, jalanmu salah. Sadarlah, jalan itu akan membunuhmu perlahan!" seru Nenek itu. Tak mau ambil pusing, Lita segera berlalu meninggalkan Nenek misterius itu. Sesampainya dirumah, ia dikejutkan dengan alat penjahit baru di ruang tamu. "Punya siapa ini, Mbah?" "Punyamu," jawab Jayus sembari mengelap meja. "Punya saya?" ulang Lita. "Iya, memangnya kamu mau kaya mendadak tanpa ada usaha? Mau bikin orang curiga apa?" "Ta--tapi saya ngga bisa jahit, Mbah!" Jayus tersenyum, "Saya tahu, tapi saya akan ajari kamu sampai bisa. Jadi, selama itu kamu jangan dulu gunakan hartamu, paham?" Lalita hanya mengangguk. Kemudian berjalan menuju kamarnya. "Lita," panggil Jayus. "Iya, Mbah. Ada apa?" Jayus berjalan tertatih dengan tongkatnya mendekati Lita. "Suamimu sudah Mbah kirimi surat. Seminggu lagi paling pulang. Jangan lupa pasang raut wajah sesedih mungkin, tapi jangan hatimu. Agar suamimu tak curiga," turur Jayus. Setelah menjelaskan hal itu pada Lita, Jayus keluar untuk menyiapkan sebuah ritual. Darah ayam kampung dimasukan kedalam sebuah cawan yang terbuat dari tanah liat, kemudian dimasukan berbagai bunga tujuh rupa. Kemudian ia letakkan dibawah ranjang tempat tidur Lita. Seutas senyuman mencurigakan terukir dibibir keriput itu, entah apa lagi yang kini ia rencanakan. "Lita, tolong kamu belikan saya minyak lampu. Sudah habis ini, nanti obornya mati," tirah Jayus. "Tapi sudah mau maghrib, Mbah. Apa ngga nunggu habis maghrib sekalian," jawab Lita. "Kalau nunggu habis maghrib, nanti keburu obornya mati." Kini Lita sudah tak menjawab lagi. Ia segera mengenakan selendangnya dan berjalan keluar. Sesampainya di warung Ijah, ia segera membeli apa yang disuruh Jayus. "Nak Lita, kok baumu wangi sekali. Mau kemana?" tanya Ijah. "Wangi!" ulang Lita. Alisnya menaut, tanda ia bingung. Setelah ia selesai berbelanja, ia bergegas pulang. Ditengah perjalanan hari sudah mulai malam. Adzan maghrib telah berkumandang. Lita mempercepat laju langkahnya. Seorang wanita tengah menggendong bayi duduk dibawah rindangnya pohon beringin. Posisinya membelakangi Lita. Awalnya Lita tak memperdulikanya. Namun, saat Lita berada didepan wanita itu, tangisan bayi membuat Lita menghentikan langkahnya. Wanita itu terlihat, diam saja meski anaknya menangis sejadinya. Hal itu yang membuat naluri keibuan Lita terusik. Lita mendekati wanita itu, "Mbak! Itu anaknya nangis, kok diem aja," seru Lita. Wanita itu hanya bergeming. "Mba! Mba," ulang Lita. Wanita itu memutar kepalanya tanpa menggerakan tubuhnya, Lita beringsut mundur. Wanita dengan wajah melepuh, dan baju yang dipenuhi darah. Lebih menyeramkan lagi saat ia melihat bayi yang digendong wanita itu adalah mahkluk mengerikan yang ia temui kemarin malam. Mulut lita tercekat tak mampu bicara, bahkan langkah kakinya pun berat. "Mengapa kau takut pada dirimu sendiri?" tanya mahkluk itu dengan suara yang sama denganya. Lita berlari dengan sekencangnya. Ia menyincing jariknya, sendalnya telepas hingga kakinya menusuk ranting-ranting pepohonan. Nafasnya tersengal, ia berhenti kala sudah menjumpai sebuah rumah. Tepatnya dirumah, Sumi. Ia merasan kakinya nyeri. Ia berencana meminjam obor dirumah Sumi, untuk membantu penerangan hari yang mulai malam. "As ... " Lita menghentikan ucapanya, ia teringat bahwa dilarang Jayus mengucapkan sesuatu yang berbau Allah. "Mbak Sumi! Mba," teriaknya didepan teras Sumi. Rumah yang terbuat dari papan dan panggung itu, terdengar langkah kaki berjalan. Terlihat wajah Sumi mengintip dari balik gorden jendela. "Owalah, Lita. Kirain siapa, malam-malam bertamu kok ngga ngucapin salam," ujar Sumi setelah membuka pintu "Saya mau pinjam obornya boleh, Mba?" "Iya, ambil aja itu yang didepan. Tapi singgah dulu, yuk. Itu kakimu berdarah," ujar Sumi, setelah melihat kaki Lita berdarah. Lita hanya terdiam, ia takut jika Jayus keburu menunggunya. "Lagian masih maghrib loh, Ta. Nanti habis maghrib aja. Pamali dijalan waktu maghrib," timpal Sumi. Litapun mengangguk, kemudian berjalan pincang menuju rumah sumi. Dirumah itu, Sumi bersama kedua anak dan suaminya. Lita duduk diatas tikar anyaman daun "Kamu dari mana? Kok ngga pakek sendal, dan tapihmu kotor gitu?" tanya Sumi sembari mengambil bubuk kopi untuk menghentikan darah yang keluar dari kaki Lita. "Tadi dari warung Bude Ijah, terus dijalan ketemu hantu, Mba!" ujarnya semakin lirih. "Hantu?" ulang Sumi, ia menautkan alisnya. Ia menceritakan kejadian yang ia lihat tadi, air matanya mengalir sebab ketakutan. "Ma-maksud kamu, bayi bajang?" tanya Sumi terbata. Lita menjawab dengan anggukan. "Bayi bajang itu, bukanya berasal dari bayi yang sengaja dibunuh orang tuanya, ya. Dan dia gentayangan untuk mempertanyakan pada ibunya mengapa dia dibunuh! Kenapa kamu yang dihantui? Apa jangan-jangan .... " "Ah sudahlah, Mak. Kenapa harus dipermasalahkan, banyak kok orang yang dihantui bayi bajang. Padahal ngga punya bayi yang meninggal," sahut Karto--suami Sumi. Ia tak enak melihat wajah Lita yang mulai gelisah. "Hem .. Iya sudahlah. Sebaiknya kamu pulang dihantar Bambang saja, ya. Sudah malam, ngga baik kamu jalan sendirian," tutur Sumi. Lita mengangguk, "Terima kasih ya, Mbak. Mba baik sekali," ujar Lita sembari berdiri. Bambang anak pertama Sumi berumur lima belas tahun, dia sering keluar malam untuk memancing. Itu sebabnya, Sumi memepercayai Bambang untuk menghantar Lita. "Dengar! Saya tahu banyak rahasia Mbah Jayus, yang saya yakin kamu tidak tahu. Oleh sebab itu, jika kamu membutuhkan bantuan saya, kamu jangan sungkan ya," pesan Sumi sedikit berbisik, saat Lita sudah berada diteras. Lita hanya tersenyum dipaksakan, ia merasa bahwa ia tak mungkin butuh bantuan Sumi. Sebab sekarang, Jayuslah yang membantu dia merubah hidupnya. Diperjalanan, Lita terfikir ucapan Sumi tadi. Bayi itu datang sebab arwahnya tak tenang, dan ingin mencari tahu mengapa ia dibunuh. "Mba Lita!" ucapan Bambang membuyarkan lamunan Lita. "Aa, iya. Ada apa?" tanya Lita tergagap. "Mba Lita kok bengong, terfikir apa yang dibilang Ibu tadi, ya?" "Ngga kok, cuma mikirin sendal saya yang tertinggal. Soalnya masih baru," jawabnya berbohong. Bambang tersenyum renyah, "Mba ngga usah bohong, tapi memang benar apa yang dibilang Ibu. Dulu Ibu lama tinggal sama Mbah Jayus, lebih tepatnya numpang, saat Lek Amba masih sama Bi Sukma. Pesan saya, Mba jangan sampai bernasib sama ya, sama Bi Sukma," ujar Bambang panjang lebar. "Maksud kamu apa bambang?" "Tapi Mba janji, ya jangan bilang sipa-siapa," ujar bambang lirih. Lita mengangguk, "Sebenarnya .... " "Lita!" suara serak khas wanita tua memotong ucapan Bambang. Lalita terjingkat, bagaimana Jayus bisa ada dijalan yang masih berjarak lima ratus meter dari rumahnya. Padahal Jayus jarang berjalan jauh, kecuali keperluan mendesak. "Mb--Mbah! Kok--kok sampai si-sini," ujar Lita terbata. Jayus hanya bergeming, tatapanya tajam kearah Bambang. Ia berdiri sedikit membungkuk memegangi tongkat kayunya. "Sampai sini saja ya, Bang. Mbah sudah jemput, Mba pulang sama Mbah saja," ucap Lita seraya tersenyum kepada Bambang. "Mba yakin?" tanya Bambang meyakinkan. Lita tersenyum sembari mengangguk. Kemudian bambang juga membalasnya dengan senyuman dan anggukan. Lalu, bambang berbalik meninggalkan Lita bersama Jayus. Jayus memutar badanya, berjalan perlahan menggunakan tongkatnya. Lita mengikuti dengan menundukan pandanganya. Jayus berhenti tepat dihalaman rumahnya, membuat Lita terkejut. "Ada apa, Mbah?" tanya Lita. "Duluan!" jawab Jayus singkat. Lita tak berani menjawab, kemudian berjalan mendahului Jayus. "Mbah, tadi kena ... " Sesampainya didepan teras ia berbalik, ingin menanyakan mengapa dia menyusulnya namun ucapanya terhenti kala tak menjumpai Mbah tua dibelakangnya tadi. "Mbah!" pekik Lita, ia mengedarkan pandangan kekanan dan kirinya. "Kamu nyari siapa, Lita?" Pertanyaan Jayus membuat Lalita terjingkat. Pasalnya wanita tua itu berdiri diambang pintu utama. "Loh, bukanya Mbah tadi disini!" ujar liat sembari menunjuk kearah belakangnya. "Dari tadi saya dirumah, nunggu kamu kelamaan. Lihat, obor di dalam sudah hampir mati, lampu petromaks dikamar juga sudah mati," ucapan Jayus membuat Lita menelan ludahnya. Jika Jayus sedari tadi dirumah, lalu siapa yang menjemputnya dijalan tadi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD