GCS -8-

1354 Words
Setelah pertengkaran pertamaku dengan suamiku, akhirnya aku memutuskan untuk pindah kamar, aku tak suka sikap arogan dan keras kepala suamiku yang belum berubah sejak kami menjalin hubungan dulu. Aku membela istri pertama suamiku, bukan karena aku cari muka atau ingin terlihat baik. Namun aku hanya tak suka saat wanita dipermalukan seperti itu oleh laki-laki. "Calya, kita ini baru menikah, lalu bertengkar dan sekarang kamu mau pisah kamar?" Suamiku berdiri di depanku untuk menghalangi jalanku yang menuju kamar tamu, aku memilih mengabaikan suamiku dan lanjut jalan, namun dia tak mau minggir, saat aku kanan, maka dia ke kanan, begitu terus hingga kesabaranku habis. "Kamu maunya apa? Kamu yang mulai pertengkaran kita, sekarang kamu mau menyalahkan aku?" "Aku yang mulai? Kamu yang mulai, kamu bela gadis desa itu dari pada aku?" Aku menatap tak percaya pada suamiku yang masih saja menyebut iatri pertamanya sebagai gadis desa walaupun aku sudah memperingatinya. Ini yang aku takutkan dua tahun lalu ketika dia melamar aku untuk menjadi istrinya. Kami sama-sama temperamental dan tak mau mengalah sehingga permasalahan ini tak akan berakhir dengan mudah. "Kamu tahu aku benci pria kasar dan memperlakukan wanita semena-mena. Yang hutang ke kamu itu ayahnya, lalu apa perlu hina dia di meja makan tadi? Dia wanita, aku pun wanita, aku menjunjung tinggi emansipasi wanita!" "Oke, aku minta maaf sama kamu, sekarang kita kembali ke kamar." Akhirnya dia mengalah dalam pertengkaran ini, suamiku menarik tanganku agar ikut masuk ke dalam kamar, namun aku melepaskan tangannya dengan lembut lalu menatap pintu kamar istri pertama suamiku dan pintu kamar suamiku. Aku baru tahu jika mereka beda kamar. "Keputusan aku pisah kamar tidak berubah, kita akan tetap pisah kamar sampai kamu bersedia satu kamar dengan Sekar." "Jangan aneh-aneh, Calya." Aku bisa melihat suamiku terkejut ketika mendengar ucapanku, terlihat sekali dia tak suka dengan apa yang aku ucapkan dan langsung menolak. Memangnya kenapa jika suami istri tidur di satu kamar? Gavin tak keberatan tidur di satu kamar denganku walaupun belum menikah, namun dengan istrinya sendiri tak mau. Entah apa yang ada di otak suamiku ini. "Kalian pasangan suami istri, sah jika kalian tidur bersama." "Kau tidak mengerti tentang pernikahanku dengan gadis desa itu, kami tidak saling mencintai." Aku menghela kasar saat suamiku terus saja beradu argumen denganku, aku malas untuk lanjut bicara dengannya, mengingat jika aku bicara maka percikan pertengkaran akan semakin membara di antara kami. Tanganku mendorong tubuh besar dan berototnya agar menjauh dari jalanku, lalu melanjutkan langkah kakiku ke kamar, belum sempat aku membuka pintu kamar tamu itu, suamiku sudah lebih dulu membalik tubuhku lalu mencium bibirku dengan lembut, sejenak aku hanyut dalam ciumannya sebelum akhirnya aku sadar ketika melihat pintu kamar istri pertama suamiku. Aku harus bisa menahan diri, akhirnya aku mendorong tubuh pria itu dariku, terlihat sekali suamiku kecewa dengan penolakanku, hal itu membuatku merasa bersalah namun aku harus menekan rasa bersalah itu untuk menebus kesalahanku yang telah hadir di antara Sekar dan Gavin. "Sebesar apa pun cinta kamu ke aku, tetap saja aku akan tetap menjadi yang kedua di pernikahan kita. Kalau kamu saja belum memberi nafkah batin ke Sekar, bagaimana bisa kamu ingin memberikan aku nafkah batin? Aku sudah cukup egois dan berdosa dengan menjadi duri di pernikahan kalian, jangan tambah lagi rasa bersalah ini ke Sekar dengan menjadikan aku yang pertama di pernikahan ini." Aku tak kuasa menahan air mataku agar tidak mengalir deras di pipiku, akhirnya aku menangis saat mengingat bagaimana rasa sakit istri pertama suamiku saat kami duduk di meja makan, aku tidak mampu membayangkan jika aku yang berada di posisi Sekar. Aku bukan wanita sebaik Sekar yang rela dihina walaupun itu suamiku sekali pun, dari kecil aku diajarkan oleh ayah untuk menjadi wanita terhormat dan tegas, siapa pun orang itu, dia tak memiliki hak menghina kekuranganmu. "Calya .... Sebelum suamiku kembali membalas perkataanku dengan argumennya, aku sudah lebih menutup mulutnya dengan telapak tanganku sambil menggelengkan kepalaku pertanda jangan bicara lagi, aku sudah terlalu lemah untuk menahannya dan menahan diriku sendiri. "Stop, aku mohon stop, jangan buat ini semakin sulit untuk kita, aku tahu pernikahan kalian tidak dilandaskan cinta dan sudah berantakan sebelum kehadiranku. Tapi tetap saja aku salah di sini karena menambah rumit pernikahan kalian. Ini persoalan yang mudah, Gavin. Semakin cepat kamu mengerti tugas kamu sebagai suami ke Sekar, maka akan semakin cepat pula kamu menjalankan tugasmu sebagai suamiku. Kamu yang lebih mengerti apa yang harus kamu lakukan." Suamiku hanya diam dan tak lagi menahanku ketika aku masuk ke dalam kamar tamu dan menutup pintu tersebut. Ini pilihan terbaik untuk kami bertiga, Gavin hanya mendengarkan ucapanku, sehingga aku bisa mengendalikannya agar berubah menjadi suami yang baik untuk Sekar. Hanya untuk Sekar, karena aku tahu jika pria itu jauh lebih baik menjalankan tugasnya sebagai suamiku. Aku duduk di pinggir kasur sambil menatap kamar ini, seharusnya ini malam pertama kami, tapi kami harus pisah kamar. Tapi bukan itu yang menjadi masalahnya, jika Gavin bisa bersikap adil antara aku dan Sekar, pasti kami akan melakukan malam pertama bersama. Aku berbaring di atas kasur, sambil memikirkan hubunganku dengan suamiku dan istri pertamanya yaitu Sekar. Begitu rumitnya hubungan kami berdua, hingga aku sendiri pusing memikirkannya. "Semoga kamu bisa mengerti jika yang aku lakukan ini untuk kebaikan kita juga." [][][][][][][][][][][][][][][][][][][][] Adakah yang lebih melelahkan dari pada menjadi pembantu yang membersihkan rumah dua lantai sendirian? Aku tak pernah memegang alat kebersihan apa pun, namun aku sudah bertekad untuk belajar jadi istri yang baik, tidak mungkin jika aku terus membiarkan Sekar membersihkan rumah ini sendirian, sementara aku bersantai ria seperti ratu. Aku tidak sejahat itu, namun amu tak menyangka jika menyapu lalu mengepel lebih sulit dari pada mendesain kerangka gedung pencakar langit. "Capek, aku engga kuat jadi pembantu, maksudnya engga kuat bersih-bersih." Akhirnya aku kalah dengan kebiasaan malasku dulu, di rumahku ada sedikitnya lima pembantu, aku masih ingat saat hendak menyapu untuk tugas sekolah membantu orang tua, namun aku malah dimarahi ayah karena katanya aku adalah ratu yang tidak boleh bekerja, ada pembantu. Sejak saat itu, aku tak pernah pegang alat kebersihan apa pun, aku tak tahu hal tentang pekerjaan wanita kecuali Fashion dan riasan. Beristirahat sejenak saat sudah mengepel lantai atas, tinggal lantai bawah, tapi nafasku sudah seperti orang ingin mati saja. Aku menyesal tidak pernah bersih-bersih selama tiga puluh tahun hidupku. Membayangkan Sekar bekerja seberat ini setiap harinya selama dua tahun, hal itu membuat aku bergidik ngeri. "Sekar itu wanita kuat, berbeda denganku. Lagi pula suamiku pelit sekali, masa tidak mempekerjakan satu pun pembantu di rumah sebesar ini, apa dia tidak tega pada Sekar? Aku akan memarahinya jika sudah bangun nanti." "Kalau aku terus istirahat nanti mereka semua bangun, terus Gavin nanti memarahi Sekar karena lihat aku bekerja. Aku harus selesaikan semua pekerjaan ini sebagai bantuan untuk Sekar." Akhirnya aku kembali mengepel lantai rumah ini, biasanya aku senang rumah berukuran besar karena luas dan aku bisa menaruh banyak barang, sekarang aku benci rumah besar karena sudah tahu betapa lelahnya membersihkan rumah besar. Helaan nafas lega keluar dari bibirku saat aku sudah menyelesaikan semua pekerjaan, aku tersenyum bangga melihat rumah ini rapi dan itu semua berkat kerja kerasku. "Aku ini rajin sekali, lihat rumah ini, ini adalah rekor pertamaku membersihkan rumah." "Calya." Jantungku serasa akan loncat dari tempatnya ketika mendengar namaku disebut oleh seseorang, aku berharap itu bukan suamiku. Aku menoleh ke belakang dan untungnya itu adalah Sekar. Aku bisa bernafas lega karena tak akan ada keributan padahal tadi aku sudah berpikir keras bagaimana menjelaskan pada suamiku yang sudah tahu jika aku tidak pernah bersih-bersih. "Sekar, kau cepat sekali bangunnya." "Kau juga, kau yang bersihkan semua ini?" "Iya, kau sudah memasak makan malam kemarin, sekarang gantian tugasku." Aku memberi senyum ramah pada wanita di depanku ini, namun wanita itu malah terlihat acuh dan berjalan mendahuluiku, pasti Sekar ingin memasak sarapan. Aku ingin berjalan ke arahnya namun langkah kakiku terhenti di tempat ketika mendengar suaranya. "Jangan banyak bekerja, aku tahu tipe wanita seperti apa dirimu. Jangan mempersulit diriku, anggap kita ini orang asing." Seharusnya aku sadar jika sampai kapan pun istri pertama tak akan pernah menerima istri kedua, aku memilih untuk menjauh dan berjalan ke arah kamar suamiku, setidaknya aku butuh penyemangat sebelum akhirnya kembali berusaha dekat dengan Sekar. Tangerang, 20 Desember 2020
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD