Gelap.
Tidak ada yang bisa dilihat Nina. Kepalanya pun terasa sakit karena terbentur lantai dengan sangat keras. “Lusi ... Rangga ...,” panggilnya lirih.
Tadi dia sangat jelas merasakan tubuhnya terjerembab ke dalam lantai yang menganga. Sebuah lubang gelap yang menakutkan. Karena benturan keras di kepalanya Nina merasakan pening yang luar biasa. Kelopak matanya yang terbuka walau semua pemandangan yang dilihat hanya warna hitam pekat nan gelap. Lalu kelopak matanya itu perlahan kembali tertutup.
Nina tidak sadarkan diri. Ia pingsan sendirian di dalam lubang gelap di kerak bumi. Berharap Lusi dan Rangga segera menolongnya.
***
Entah sudah berapa lama ia pingsan, Nina tidak ingat. Kini kesadarannya mulai pulih kembali. Seluruh tubuhnya terasa pegal dan nyeri. Seakan daging di balik kulitnya ini tercabik-cabik. Lalu sayup-sayup mulai terdengar suara Luna dan Andre yang berbincang-bincang.
Sontak Nina terkesiap. Ia langsung membuka matanya yang terasa sangat sulit terbuka. Suara yang tadi di dengarnya ini jelas suara milik Andre dan Luna. Ya ... Nina hafal betul suara mereka!
Sepasang mata Nina mendelik. Bola matanya lurus melihat langit-langit atap yang bersih. Kedua tangannya mulai bergerak, merayap dan mengusap permukaan sofa empuk yang ditidurinya.
“Sttt ... Jangan berisik ....” Suara Andre menegur Luna. “Nina sudah siuman dari pingsannya.”
Semua kata yang akan diucapkan Luna kini ditelan lagi.
Di indera pendengaran Nina tidak lagi terdengar sayup-sayup suara Andre dan Luna itu. Ia langsung menoleh ke kiri. Ke arah suara yang tadi jelas di dengarnya jika itu adalah suara Andre dan Luna.
Betapa Nina sangat terkejut melihat apa yang dilihat oleh netranya. Andre dan Luna tampak sehat dan duduk di meja makan berhadapan. Manik mata mereka juga tertuju melihat ke arahnya.
“Kamu sudah sadar? Bagaimana ... Apa kamu merasa pusing?” tanya Andre perhatian. Ia beranjak dari duduknya. Mendekati Nina yang masih terkesiap melihat sosok Andre dan Luna kembali lagi.
“Andre ...? Apa aku mimpi?” Nina tidak menjawab pertanyaan Andre. Ia malah mengajukan pertanyaan lainnya.
“Tidak kak ... Kakak tadi terjatuh dari tangga. Untung saja kami ada di sini dan menolong kakak,” sahut Luna. “Apa kakak baik-baik saja? Jika kakak merasa sakit, kita ke rumah sakit.”
“Jangan ‘jika merasa sakit’! Sekarang saja kita harus menemui dokter ke hospital!” seru Andre sembari duduk di sisa bagian sofa yang masih bisa ditempati.
Lagi-lagi Nina tidak menjawab. Tatapannya kosong memandangi Andre. Tangannya bergerak merayapi setiap inchi wajah Andre. Ia pikir semua yang dialaminya ini pasti mimpi. Semua ini tidak nyata. Maka Nina memilih tetap diam dan menikmati kamuflase dari mimpinya tersebut.
Ia mengatupkan bibirnya. Sepasang matanya mulai terasa hangat karena air mata yang mulai berkumpul di pelupuk netra. Perasaan haru dan bercampur sedih kini merasuki hatinya sangat kental. “Andre ... Kamu tampak nyata sekali ...,” ujarnya sembari menitikan air mata.
Andre mengerutkan dahinya. Merasa sangat aneh akan sikap Nina yang tidak biasa. “Kamu kenapa Nina?” tanyanya bingung.
“Kakak sedang mengigau?” tanya Luna menambahi.
Di tanya demikian Nina malah menangis dan langsung memeluk Andre. Ia memeluk erat kekasih yang sudah meninggal itu. Lalu ia menarik tangan Luna dan meminta dipeluk. Mereka bertiga berpelukan.
Nina menangis tersedu. Air matanya tak henti mengalir. “Mimpiku ini sangat tampak nyata. Astaga ... Apa karena aku sangat merindukan kalian ya?”
Luna dan Andre saling melempar pandang. Mereka sama sekali tidak mengerti dengan semua yang dikatakan oleh Nina.
“Kakak merindukan aku karena aku pergi syuting satu minggu di ke Denpasar?” tanya Luna sembari mengerutkan dahinya. “Seperti tidak pernah berpisah denganku saja ...,” sambungnya sembari tertawa.
“Apa kamu jadi begini karena aku tinggal pelatihan tugas kedokteranku ke Sumedang?” tanya Andre.
“Pelatihan?” Nina berbalik bertanya dengan muka datar. Ia teringat saat Andre pergi ke Sumedang untuk pelatihan. Saat itu sepuluh hari saat kejadian kecelakaan tragis tersebut terjadi.
Andre menatap lekat Nina. “Ada apa sayang ... Kenapa kamu begitu cemas?” Tangan Andre mengusap kepala Nina dan melihat bagian sisi dan belakang kepala tunangannya itu. “Kita harus ke rumah sakit sekarang. Bisa saja kamu mengalami gegar otak ringan.”
“Ini mimpi ...,” guman Nina kembali. “Ini mimpi ... Ini mimpi ....”
“Tidak. Ini bukan mimpi Kakak ...!” sahut Luna memberitahu. “Tadi kakak jatuh dari lantai saat akan turun dari tangga. Langkahmu tergesa-gesa dan terbelit sendiri. Lalu tergelincir dan kemudian pingsan,” ucapnya mengingatkan.
Nina mengamati seluruh ruangan rumah lamanya. Semuanya tampak sama. Andre dan Luna pun tampak sangat nyata bila semua ini hanya ilusi atau hanya mimpi.
“Nina ... tadi sebelum kamu turun dari tangga tadi ... Apa kamu ingat mendengar sesuatu?” Andre bertanya dengan mimik muka ingin tahu bercampur cemas.
Nina menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Ia menarik nafas dalam dan kemudian menghembuskannya perlahan sembari menurunkan telapak tangannya sendiri. “Aku tidak ingat apa pun. Aku juga tidak mendengar apa pun,” jawabnya lirih.
Andre dan Luna saling bertatapan setelah mendengar jawaban Nina. Seulas senyuman senang yang disembunyikan tertahan di wajah Andre. Ia senang memastikan Nina sudah lupa atas apa yang didengarnya sebelum jatuh dari tangga.
Untung saja Nina melupakan semua yang didengarnya itu, batin Andre. Jika tidak kekacauan pasti akan terjadi setelah ini.
Suara tawa lirih terdengar dari wajah Nina yang tertunduk. Kini perhatian Andre dan Luna kembali pada Nina.
Nina tertawa pelan. “Mimpi ini sungguh sangat nyata. Jika ini mimpi aku tidak ingin bangun dari tidurku ....”
Kata-kata Nina dianggap melantur oleh Luna. Karena masih merasa kesal kanapa Nina bisa semudah itu melupakan hal yang didengarnya barusan saat dia berbincang dengan Andre. Luna mendekat pada Nina dan mengguncangkan tubuh kakaknya itu. “Kak Nina! Jangan seperti orang bodoh begini kak! Dengarkan aku! Semua ini bukan mimpi! Semua ini nyata! Lihat aku ... sentuh aku ... Aku nyata kan? Dan apa kakak sama sekali tidak ingat apa yang sudah kakak dengar sebelum terjatuh?”
Andre langsung menarik lengan Luna secara kasar. Ia mengatupkan bibirnya rapat dan giginya menggemeretak. Mendekatkan tubuh Luna ke arahnya. “Apa-apaan sih kamu Luna? Kamu malah ingin Nina mengingat apa yang sudah kita bicarakan tadi?” desisnya berbisik.
Mata Luna mendelik dan menatap tajam pria yang sangat dicintainya diam-diam. “Biarkan semua terungkap ...,” jawabnya sinis.
Nina tidak mendengarkan apa yang sedang diperdebatkan lirih oleh adik tiri dan tunangannya. Ia sibuk berpikir dengan apa yang dialaminya saat ini. 'Luna bersikukuh jika saat ini bukan mimpi. Lalu apa ini memang nyata?'
Ia menampar wajahnya sendiri dengan keras, sehingga bunyi kencang dari tamparan tersebut mengejutkan Luna dan Andre. Mereka yang masih berdebat lirih kini kembali memandang ke arah Nina dengan tatapan penuh tanda tanya, kenapa Nina memukul dirinya sendiri?
Rasa sakit dan panas menjalar di seluruh bagian wajah dan pipinya. Nina mengusap pipinya yang seperti kesemutan itu. “Ini nyata ... ini bukan mimpi ... Apa ... Batu Petuah yang ada di museum itu ...?” Ia baru teringat akan kejadian hal mistis di museum. Netranya mendelik dan membulat. “Batu Petuah di museum itu sungguh membawaku kembali ke masa lalu!”
Nina menoleh ke arah Andre dan Luna. “Ini nyata! Aku kembali!” serunya senang dan kemudian netranya berpendar melihat ke seluruh ruangan. “Di mana Lusi?! Di mana dia?!” Tiba-tiba Nina merasa panik karena tidak melihat Lusi. Padahal tadi saat di museum itu, ia bersama Lusi memijak lantai yang sama.
“Di mana Lusi? Kenapa kalian berdua masih diam? Kenapa Lusi tidak ada di sini?"