Rumah

2231 Words
Papa menoleh ke arahku, “gimana del? Asyik kan tempatnya? Agak sepi sih, tapi udara nya segar. Kalau yang agak ramai blok sebelah sana karena itu perumahan yang baru dibuka. Sekolahnya juga ada disana, besok papa antar kesekolah.” Aku mengangguk pelan, sepakat dengan perkataan papa kalau disini memang sepi dan udara nya segar, cuma tak menyangka akan sesepi ini. “Masih banyak rumah peninggalan Belanda disebelah sini del, bangunan pabrik teh tu juga peninggalan Belanda, cuma mesin nya aja yang sudah diganti semua.” Tak berapa lama, di dalam kabut terlihat lampu sepeda motor yang keluar dari tikungan depan dan berhenti tepat di depan mobil. Pak Yono dan seorang bapak yang bertubuh agak gemuk turun dan menghampiri, diikuti Pak Yono dibelakangnya. “Assalamualaikum pak, selamat malam. Maaf pak, saya tidak mendapat kabar kalau bapak sampai malam ini, soalnya saya dapat kabar kalo bapak datangnya besok hari Sabtu.” “Walaikum salam, Oh gak apa-apa pak Budi. Salah saya juga, rencana semula emang hari sabtu, tapi saya majukan jumat karena besok mau kemas-kemas rumah dan lihat-lihat sekolah adel juga karena senin adel juga udah harus masuk sekolah,” kata papa sambil turun dari mobil dam menyalami pak Budi. “Ooo…ya lah pak. Oya, mungkin pak Aryo udah kenal dengan dengan pak Yono, salah satu sekuriti disini.” “Sudah pak tadi di pos depan, ada pak Teguh juga tadi. Yang dua lagi masih patroli katanya.” “Oh ya, Mardi dan Dani masih patroli pak. Ya udah pak, baik kita masuk, dingin soalnya disini. Udah beberapa hari ini hujan, kabutnya juga makin malam makin tebal. Pak Yono, tolong bantuin pak Aryo nurunin barang” kata pak Budi sambil menoleh ke arah pak Yono. “Siap pak,” kata pak Yono, lalu bergegas membuka pintu bagasi belakang mobil. Aku pun segera turun dari mobil dan menghampiri papa diikuti oleh mama. Tiupan angin dingin serta merta membuat aku menggigil kedinginan. “Kenalin pak, ini istri saya Saraswati, dan ini anak saya, Adel.” Mama pun tersenyum ke pak Budi dan mengulurkan tangan ke pak Budi. Aku pun berbuat hal yang sama. Pak budi menyambut uluran tangan mama, “selamat datang bu, selamat bergabung di Kayu Aro, rumah saya dibelakang situ buk, deket kok, kalo ada perlu apa-apa jangan sungkan,” lalu menjabat tanganku juga, “Selamat datang Adel, bapak yakin Adel betah disini. Walaupun malam agak sepi, tapi siang banyak anak-anak sebaya adel disini yang bermain-main. Ayok lah kita masuk, Adel udah menggigil disini, ha...ha…ha.” Aku memang benar-benar kedinginan karena suhu benar-benar dingin menusuk, bahkan aku baru menyadari kalo membuang nafaspun ada kabut tipis yang keluar dari hidung dan mulut, “kereeen… kawan-kawanku harus melihat ini,” batinku. Sambil berjalan pak Budi berkata, “barang-barang bapak udah nyampe dua hari yang lalu, semua masih diletakkan di ruangan tengah. Besok kalo bapak butuh bantuan ngemas atau angkut-angkut barang, biar saya kirim dua orang cleaning service pabrik buat bantuin bapak” “terima kasih pak, nanti kami kabari” Pak Budi mengeluarkan seikat kunci rumah dari kantong jaket, memilih salah satunya lalu membuka pintu, seketika aroma cat baru menyeruak, “rumah ini baru selesai dicat dua hari yang lalu pak, direhab juga sedikit dibagian belakang sesuai dengan permintaan bapak waktu bapak kesini bulan lalu, monggo pak.” Aku mengikuti papa dan pak budi masuk ke rumah, diikuti mama dibelakang. Jauh lebih nyaman dan hangat di dalam sini, walaupun hawa dingin masih juga terasa tapi tidak sedingin diluar tadi, sepertinya AC atau kipas angin tidak laku disini. Membayangkan itu, aku pun tersenyum. Ruang tamu ber cat putih itu tidak besar, berlantaikan keramik warna warni dan dihiasi lampu gantung model lama serta kursi dan meja tamu terbuat dari kayu yang membuat suasana ruangan ini terlihat klasik. Sebuah lukisan besar menggambarkan Gunung Kerinci waktu senja di salah satu dinding membuat suasan ruangan ini terasa hangat. Tepat disamping lukisan itu, ada sebuah pintu besar yang aku tebak merupakan ruangan kamar tidur. Kami lalu menuju ruang tengah yang cukup besar dengan jendela-jendela yang juga besar, terlihat lebih modern dan terang daripada ruang tamu tadi dengan sofa besar warna krem dan meja yang juga terbuat dari kayu, terletak disebelahnya tumpukan kardus yang kutebak merupakan kardus berisi barang-barang kami yang disebut pak Budi tadi. Terdapat pula sebuah TV besar diatas meja panjang disebelah lemari kaca yang tampaknya untuk hiasan-hiasan atau buku-buku. Serupa dengan ruang tamu tadi, diatas TV ada juga lukisan besar yang tergantung disini. Lukisan kebun teh diwaktu pagi dengan beberapa ibu-ibu mengenakan topi caping yang memetik daun teh. Di sisi dinding berlawanan dengan jendela yang besar tadi ada foto-foto lama yang masih hitam putih. Aku mendekati foto-foto tersebut dan memperhatikan dengan seksama, ada foto yang terlihat seperti pabrik dengan sekelompok orang yang berpose rapi didepan nya. Ada pula foto seseorang berpakaian seperti orang Belanda jaman dulu yang duduk diatas seekor kuda sambil memegang s*****a laras panjang dengan berlatar hamparan kebun teh dengan beberapa pekerja. Aku tertarik dengan foto disebelahnya, sebuah foto rumah yang terlihat sama persis dengan rumah yang tadi kulihat tak jauh dari sini, Cuma disini tak terlihat pagar yang mengelilinginya, hanya sebuah rumah dengan jendela-jendela besar yang walaupun foto hitam putih tetapi masih terlihat jelas dibawah jendelanya ditanami bunga-bunga mawar serta sebuah mobil yang terparkir di halaman nya dengan tiga orang berpose disamping mobil. Seorang pria, seorang wanita dan seorang anak perempuan yang terlihat sebaya denganku. “Itu foto-foto lama Del, yang itu pabrik teh awal-awal tahun 1900-an, waktu itu namanya NV.HVA, singkatan dari Namlodse Venotchhaaf Handle Veriniging Amsterdam. Yang naik kuda itu namanya Jasper Willem Hendrik, yang dipercaya oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu untuk membuka dan memimpin kebun teh disini, dan foto disamping itu rumah kediamannya, yang itu istri dan anak perempuannya,” jelas pak budi yang tiba-tiba sudah berdiri dibelakang Adel. “Kayaknya rumah yang difoto mirip dengan rumah yang tadi dilewati ya pak?” tanya adel “oh tadi adel lihat rumahnya ya? Iya emang itu rumahnya, asli belum ada pemugaran. Cuma dibiarkan tak terurus kayak gitu. Rencananya nanti mau dijadikan cagar budaya sama pemerintah.” “Beneran itu rumah nya pak? saya lihat juga tadi sekilas, awet ya?” kata mama yang dari tadi menyimak perbincangan kami. “Iya bu, bangunan belanda emang terkenal awet dan tahan lama. Bangunan pabrik juga sebagian besar bangunan lama dari tahun 1900-an dulu, cuma beberapa bagian aja yg diganti disesuaikan dengan mesin-mesin pabrik. Bagian komplek disebelah sini juga banyak bangunan lama, termasuk rumah ini. Nih lantainya masih tegel lama kan? Cuma atap dan plafon yang udah diganti. Nah, di blok sebelah sana yang baru, walaupun tak baru-baru kali lah, sekitar tahun 60-an. Tapi dibanding yang disini, disana jauh lebih modern.” Aku perhatikan emang lantai nya model tegel yang berwarna dan bermotif, seperti motif bunga gitu, cantik sekali. Aku baru sadar kalo ini tegel bukan keramik, mengagumi fakta bahwa pada jaman itu sudah ada tegel yang cantik seperti ini. Pak yono yang dari tadi mondar mandir mengangkat tas dari mobil ke ruang tengah memotong pembicaraan kami, “barangnya sudah semua pak.” Papa menoleh ke arah pak yono, “oh ya pak, terima kasih”. Pak yono mengangguk pelan. “Bapak sudah makan? Kalo belum minta tolong pak Yono beli di warung komplek sebelah” tanya pak Budi. “Tak usah repot pak, tadi kami juga udah bungkus nasi padang. Silahkan duduk dulu pak Yono, pak Budi, biar saya buatin kopi dulu,” tawar mama. “Ah mama nawarin kopi, emang udah tau dapurnya dimana? Kompornya dimana? Hahaha…,” canda papa. Pak Budi dan pak Yono tertawa dengar candaan papa, “oh gak usah repot bu, kami langsung pamit saja. Bapak sekeluarga pasti sudah capek pengen istrihat. Besok pagi saya kesini lagi, kan Adel mau lihat sekolah nya. Nanti saya tepon kepala sekolahnya buat ngabarin kalo besok pagi kita mau kesana. Sekalian besok saya bawa orang buat bantu-bantu ibu kemas barang disini. Ini kunci rumah nya pak, kalo ada perlu jangan sungkan nelpon saya atau sekuriti. Nanti nomor sekuriti saya kirim ke HP bapak,” kata pak Budi sambil menyerahkan satu set kunci, “ bye adel, besok bapak temanin ke sekolah ya, kami pamit pak bu, assalamualaikum” lanjutnya. “Waalaikum salam” jawab papa dan mama hampir bersamaan. Pak budi pun beranjak pergi diikuti oleh pak yono dibelakangnya. Papa mengantar sampai ke pintu depan, sekali lagi mengucapkan terima kasih dan menyalami pak budi dan pak yono, memperhatikan mereka berdua perlahan menjauh membelah kabut dan menghilang di tikungan, lalu menutup dan mengunci pintu. Sambil meregangkan kedua tangannya, papa menghampiri kami yang duduk santai di sofa. “aaarrrgh, akhirnya kita sampai rumah, gimana? Asyik kan? Walaupun tak sebesar di Pekanbaru, tapi cukuplah. Rumah ni ada tiga kamar tidur, kalo kamar papa dan mama di sana” kata papa sambil menunjuk pintu besar yang berada disebelah kanan meja TV, “kalo kamar Adel ya disebelah kiri nya, kalo yg didepan tu kita jadikan aja kamar tidur tamu.” Kamarku tidak besar dan tidak juga terlalu kecil, tidak ada kesan kuno pada kamar ini kecuali lantai tegelnya tentu saja. Lampu modern di tiap sudut plafon kamar membuat suasana terang benderang. Perabotannya seperti kamar tidur anak pada umumnya, sebuah tempat tidur kecil, lemari pakaian dan meja belajar. Ada dua buah pintu disini, yang satu terlihat seperti pintu kamar mandi, yang kedua dekat jendela besar adalah pintu menuju ke teras dan halaman samping. “Ayo kita buka,” kata papa, memutar kunci pintu dan mendorong pintu keluar. Seketika angin dingin terasa menusuk kulitku, membuatku reflek menggosok-gosok kedua lenganku dengan telapak tangan. Bau embun dan kabut dingin yang bercampur dengan aroma teh seketika memenuhi rongga hidungku. Aku melangkah keluar menuju teras yang tidak terlalu besar tapi cukup untuk meletakkan kursi dan meja atau sekedar membentangkan karpet disini untuk belajar kelompok atau bersenda gurau dengan teman. Sebelah kanan pintu teras, ada lagi sebuah pintu dan jendela yang merupakan pintu dan jendela kamar papa mama. Aku tidak terlalu melihat jelas halamannya karena kabut yang cukup tebal, tapi terlihat kalau halamannya merupakan halaman rumput cukup besar dengan beberapa pohon cemara yang tidak terlalu tinggi. “Yuk masuk, dingin diluar sini, ” kata mama. “Adel ambil tasnya terus mandi dulu dan sholat, abis tu baru kita makan. Yuk pa, tunjukin mama dapurnya.” Setelah menutup pintu akses ke halaman samping tadi, mama melangkah keluar kamar diikuti papa. Aku duduk di tepi ranjang, meraba kasur yang terasa lembut dan sejuk. Rasanya pengen langsung baring berselimut dan memulai chat wa dengan kawan-kawannya menceritakan betapa indah dan dinginnya disini. Tapi disisi lain, badannya juga mulai terasa lengket dan kotor. Mandi air hangat pasti akan terasa nyaman. Air hangat? Jangan-jangan tidak ada air hangat, gawat… Aku bergegas membuka pintu kamar mandi sambil mebayangkan bakalan tersiksa kalau setiap pagi mandi air dingin di tempat sesejuk ini. Membuka kran wastafel, menggeser ke kanan dan mengulurkan tangan dibawah air keran yang mengalir. Dari awalnya dingin menusuk perlahan berubah menjadi hangat, “Alhamdulillah ada air hangatnya,” aku bernapas lega. Sambil menenteng handuk setelah membongkar koper yang diletakkan pak Yono di ruang tengah tadi, aku pun bergegas ke kamar mandi. Kamar mandi ini modern dengan shower dan kloset duduk, Berbeda dengan ruangan lainnya, tidak memakai tegel melainkan keramik modern motif garis, dindingnya juga dikeramik sampai ke plafon. Keluar kamar, aku tak melihat lagi ada tumpukan tas yang tadi ada diruang tengah, hanya tersisa kardus-kardus yang masih diposisi yang sama, tasnya mungkin sudah dimasukin ke kamar mama, batinku. Melangkah keruangan lain, aku lihat papa dan mama sedang diskusi kecil tentang suatu hal. Kutebak ini adalah dapur sekaligus ruang makan karena kulihat kitchen set yang berada disudut ruangan dengan kulkas besar disampingnya serta meja makan kaca yang besar di sisi lainnya. Lantai ruangan ini berlapis ubin, berbeda dengan ruangan-ruangan didepan. Mungkin karena sering digosok atau karena usia, ubin ini terlihat mengkilap bahkan bisa memantulkan sedikit cahaya lampu dari langit-langit ruangan. Karena berwarna abu-abu, dapur dan ruang makan ini kesan kuno dan kusam. Aroma gulai ayam kesukaanku yang dipanasin mama membuat perutku yang tadinya lapar makin terasa sangat lapar. “Eh udah mandi anak papa,” goda papa. “Papa mama kok belum mandi?” tanyaku pula. “Iya belum nih, tadi masangin gas dulu sama bantuin mama ngemas barang dan panasin lauk. Yuk kita makan dulu lah, papa udah lapar,” papa mengelus-elus perutnya. “Ya udah kalian duduk sana di meja, mama siapin makan nya” Aku menarik kursi makan, duduk dan memperhatikan sekeliling ruangan. Ruangan yang cukup besar untuk dapur dan ruang makan. Persamaan dengan ruang lain adalah jendela nya yang besar, berada tepat disamping meja makan yang aku duduki. Ada dua pintu lagi diruangan ini. “Itu pintu apa pa?” tanyaku. “Oh itu pintu kamar mandi, yang satu lagi pintu ke teras belakang. Dibelakang ada kamar yang dulu dipakai untuk ruang pembantu dan tempat cuci, ada lagi gudang. Besok aja kita lihat, sekarang kita makan dulu. Setelah menyantap makan malam, aku masuk ke kamar, membaringkan badan di kasur empuk dan sejuk yang berseprei krem polos. Tanpa AC dan tanpa kipas agin, ruangan ini terasa sangat sejuk. Aku yang tadinya pengen memulai panggilan video call mengurungkan niat karena rasanya mataku sudah tidak bisa lagi menahan kantuk. Perlahan menarik selimut tebal, membaca doa tidur dan perlahan memejamkan mata. Selamat tinggal Pekanbaru, selamat datang di tempat baru, Kayu Ara atau Kayu Aro tadi ya? Ah sudahlah, besok saja dipikirkan karena jangankan mikir, untuk bertahan membuka mata saja terlalu sulit sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD