Setelah beberapa lama melewati komplek perumahan yang cukup ramai tadi, disebuah persimpangan papa menghentikan langkah dan menoleh kearahku.
“Del, dari sini Adel tau jalan pulangkan? Papa mau ke pabrik dengan pak Budi, atau Adel mau ikut ke pabrik? Tapi agak jauh lho…” ucapnya.
Setelah berpikir sejenak aku memutuskan untuk pulang saja, mau bantu-bantu mama dan mbak Yanti beresin barang-barang.
“Ikuti aja jalan ini, nanti ada simpang tiga, Adel lurus aja. Jumpa rumah kosong yang bekas terbakar tadi, lurus terus sampai deh rumah kita disudut jalan,” kata papa mengarahkan dengan tangannya, “nanti bilang mama, papa pergi sebentar ke pabrik dengan Pak Budi ya, siang nanti papa pulang.”
Aku mengangguk ngerti, menyalami papa dan pak Budi yang lalu berjalan ke arah kanan sedangkan aku menuju kiri. Walaupun jam sudah menunjukkan angka 9.30 dan matahari sudah meninggi, sehingga membuat Gunung Kerinci terlihat jelas walaupun puncaknya masih tertutup awan, namun cuaca masih terasa dingin bahkan aroma embun bercampur teh masih tetap terasa. Aku memejamkan mata dan menghirup nafas dalam-dalam sambil merentangkan kedua tanganku lebar-lebar, suatu perpaduan yang sempurna. Membayangkan berjalan kaki atau naik sepeda ke sekolah tiap pagi dengan suasana seperti ini membuatku bersemangat. Walaupun baru satu hari disini, tapi aku optimis kalau aku bakalan bisa betah, berharap dalam hati mudah-mudahan papa tidak dipindahtugaskan dalam waktu singkat.
Setelah beberapa saat berjalan, aku sampai di depan rumah kosong yang kami lewati tadi. Aku menghentikan langkah, memperhatikan kondisi rumah dengan lebih seksama. Melihat lebih dekat kan tidak ada salahnya, cuma ke kolam ikan di depan saja. Papa kan melarang masuk rumah, bukan masuk halaman, pikirku. Dengan langkah santai aku memasuki halaman yang sangat luas tapi dipenuhi oleh rumput-rumput liar yang mulai meninggi, menuju ke kolam ikan yang tadi kulihat.
Ternyata kolam ikan ini jauh lebih besar dari yang terlihat dari luar, bahkan menurutku bisa dijadikan kolam renang mini, dengan tinggi dinding kolam sekitar setengah meter dan lingkaran kolam yang menurut perkiraanku berdiameter sekitar 4 meter dengan tiang ukiran tepat berada ditengah yang kuyakin dulunya merupakan tiang air mancur. Aku melongokkan kepala ke dalam kolam, tidak ada ikan disana melainkan cuma air kotor yang bercampur dengan daun-daun kering yang berwarna kecoklatan. Aku melihat ke kiri dan kanan mencari ranting yang bisa kupakai untuk mengukur kedalaman kolam, memungut salah satunya yang cukup panjang dan mencelupkannya sampai ke dasar kolam. Nah kan benar, bisa dijadikan kolam renang mini, pikirku, mungkin kalo aku berdiri didalam sini, air nya bisa sepinggangku. Memperhatikan ukiran air mancurnya membuatku kagum akan kekokohannya, setelah puluhan tahun masih tetap berdiri tegak tidak ada kerusakan apapun, cuma sedikit kotor dan berlumut di beberapa bagian. Mataku terpaku di satu sisi tiang yang tidak ditutupi lumut karena terlihat ada ukiran disitu. Aku mencoba mencondongkan badan semaksimal mungkin bertumpu dengan kedua tanganku, mencoba membaca tulisan yang ada disitu, Arabella Jasmine 18 Juni 1917, dan dibawahnya ada tulisan kecil yang tidak bisa aku baca, bahkan kurasa bukan bahasa Indonesia. Arabella Jasmine? nama yang indah. Karena terlalu mencondongkan badan, ditambah lagi dengan pinggiran kolam yang licin dan berlumut, tangan kananku terpeleset dan nyaris badanku tercebur kedalam kolam. Spontan aku menjerit kaget dan menahan tubuhku dengan tangan kiri. Nyaris saja, pikirku dengan jantung berdegup kencang. Perlahan aku berdiri bertumpu dengan kedua tanganku yang menopang di pinggiran kolam, memperhatikan kaos lengan tangan tanganku yang kotor karena bergesekan dengan pinggiran kolam tadi. Terasa perih, sambil meringis aku menggulung kaos lengan dengan perlahan dan mendapati ada sedikit luka baret kemerahan disana walaupun tidak ada darah yang keluar. Nasib baik pakai lengan panjang, kalo pake lengan pendek udah luka berdarah ni, batinku.
Sudah puas rasanya mengamati kolam ikan, dan tak mau menambah masalah lain, aku melangkah ke luar halaman menuju jalan sambil memegangi dan memperhatikan lengan kananku yang masih terasa perih.
“Non, ngapain disitu?” suara bapak-bapak mengagetkanku.
Aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati pak Yono, petugas sekuriti yang membantu kami tadi malam, menghentikan sepeda motornya.
“Ngapain disitu non?” ulangnya. “bahaya, bangunannya udah banyak yang lapuk.”
“Eh nggak kok pak, Adel gak masuk rumah, cuma lihat-lihat kolam ikannya aja kok,” jawabku.
“Ya tetap aja bahaya non, rumputnya udah tinggi, siapa tau ada ularnya.”
“Iya pak maaf, gak kesitu lagi”
“Ya udah, tapi kok sendiri? Papa mana?” tanyanya.
“Tadi papa dan pak Budi mau ke pabrik katanya pak”, jawabku.
“Oya udah, yuk boncengan sama bapak. Bapak mau kerumah non juga nih, tadi disuruh pak Budi kesana, siapa tau ada yang mau yang dikemas atau angkat-angkat barang gitu,” kata pak Yono sambil menepuk jok belakang motornya.
“Gak usah pak, Adel jalan aja, udah deket juga kok” tolakku halus.
Pak Yono mengiyakan, lalu beranjak pergi dengan motornya setelah sebelumnya mengingatkan kembali supaya aku tidak lagi bermain-main di sekitaran rumah itu atau rumah-rumah kosong lainnya.
Sambil bejalan menuju rumah pikiranku kembali ke kolam ikan tadi, Arabella Jasmine? nama siapa ya? Pasti nama seseorang. Apa nama anak kecil yang fotonya kulihat tadi malam? utau nama ibunya? Entahlah.
Tanggal berapa tadi ya? Oya, 18 Juni 1917. Mungkin itu tanggal lahirnya si Arabella Jasmine atau tahun pembuatan kolam, tebakku.
1917? Wow, berarti sudah seabad lebih usia kolam ikannya dan kondisinya masih sempurna. Tak salah kalau tadi malam pak Budi bilang kalau bangunan Belanda tu awet dan tahan lama. Terus tulisan dibawahnya yang belum sempat k****a karena keburu tergelincir tadi kupastikan kalau bukan bahasa Indonesia. Keningku berkerut karena mencoba Mengingat kembali sebagian tulisannya, verjaardag? Bahasa Belanda? Sepertinya begitu, walaupun aku tak tahu dengan pasti. Nanti sampai rumah aku coba pakai google translate.
Sampai kerumah aku mendapati sepeda motor pak Yono yang terparkir di halaman. Setelah mengucap salam aku melangkah masuk, tidak ada seorangpun di ruang tengah maupun di dapur. Mengambil gelas dan meneguk air putih, aku mendengar obrolan di balik pintu yang kata papa tadi malam, menuju ke teras belakang. Perlahan aku membuka pintu dan mendapati teras berlantai tegel putih berbintik hitam yang sangat luas. Terlihat mama, pak Yono dan mbak Yanti duduk mengelilingi meja kayu bundar dan kursi yang juga terbuat dari kayu di tengah-tengah teras. Tidak ada perabot lain disini. Dibelakang nya lagi, terpisah dari rumah yang dihubungkan dengan selasar, terdapat bangunan kecil seperti paviliun.
“Eh Adel udah pulang,” mama menoleh ke arahku, “papa mana?” tanyanya sambil celingak celinguk.
“Papa tadi katanya mau ke pabrik sebentar sama pak Budi, katanya lagi siang nanti pulang.”
“Gak jauh kok buk pabriknya, palingan kalo jalan kaki 40 menitan lah, nanti biar saya jemput aja,” pak Yono menawarkan bantuannya.
Mama tersenyum mendengar ucapan pak Yono, mengucapkan terima kasih dan mengajakku duduk di kursi kosong disamping beliau.
“sini duduk, kita cerita-cerita. Lah itu kenapa bajunya? Kok kotor? Ini juga lututnya juga kotor. Main dimana sih tadi anak mama?” Mama menepuk-nepuk lengan bajuku, aku sedikit meringis kesakitan.
“Gak apa-apa kok ma, cuma terpeleset dikit tadi”
“terpeleset dimana? dijalan?” cecar mama.
Sambil melirik pak Yono, aku menjawab, “gak, tadi Adel kan lihat kolam ikan di rumah yang kosong sebelah situ, trus licin, jatuh deh.”
“Rumah kosong yang dekat sini del? Oalaaah Deeel…, jangan main kesitu, ada hantunya,” mbak Yanti menimpali.
“Hantu?” tanya mama sambil terus menepuk-nepuk celanaku, berusaha menyingkirkan tanah dan kotoran yang tersisa.
“Iya lho buk, itu rumah jaman Belanda, sejak kebun teh ini dibuka udah ada. Dulu keluarga tuan Belanda….” mbak Yanti terdiam sejenak, lalu melanjutkan “duuuh.. sopo yo jenenge, aku kok yo lali yo, soalnya namanya susah, nama wong londo, tinggal disitu sama anak dan istrinya. Dia tu kejam, suka mukul-mukul pekerja kebun kalo ketauan malas-malasan. Mandor dan penjaga kebun juga kejam, padahal ada orang pribumi nya juga lho, kok yo iso tegaan gitu yo? Banyak juga yang gak tahan terus kabur lewat hutan, tapi namanya hutan belantara tho yo, banyak yang mati kelaparan atau dimakan hewan buas,” mbak Yanti terdiam sebentar memikirkan sesuatu lalu melanjutkan, “aku ingat sekarang, jenenge Tuan Willem. Wis, pokoke tuan Willem kui kejam, banyak yang gak suka sama dia tapi gak ada yang berani lawan, karena mereka punya serdadu dan s*****a, sopo sing berani lawan lansung di dor,” jelas mbak Yanti masih dengan logat jawanya.
Aku yang menikmati cerita mbak Yanti tanpa sadar sedikit mencondongkan badanku ke arahnya.
“Trus yang di dor jadi hantu dirumah tuan Willem?” kata mama.
“eh yo ora buk, yang jadi hantu dirumah itu ya tuan Willem dan keluarganya,” jawab mbak Yanti sambil mengibaskan tangannya ke arah mama yang cekikikan.
“Sampai suatu hari, para pekerja udah gak tahan dengan kekejaman tuan Willem, trus melakukan perlawanan gitu sampai banyak pekerja yang mati, wes poko’e serem. Ntah gimana ceritanya, mungkin ada perusuh yang berhasil masuk lalu membakar rumah tuan Willem. Tuan Willem bersama isteri dan anaknya terjebak api di kamar. Tapi namanya serdadu yang pake s*****a, yo ora iso dilawan, akhirnya kerusuhannya bisa diredam, tapi tuan Willem dan keluarganya keburu modar, terpanggang di kamar.”
Kami semua menjadi terpaku membayangkan kejadian tersebut di imajinasi kami masing-masing. Melihat semuanya terdiam, mbak Yanti semakin semangat bercerita,
“sejak tewasnya tuan Willem dan keluarga, rumah itu tidak ditinggali lagi karena banyak cerita hantu penampakan tuan Willem dan keluarga, terutama anak perempuannya suka terlihat berjalan didalam rumah, trus ada suara anak-anak nangis gitu bu. Mungkin karena pengaruh cerita atau emang penakut, pengganti tuan Willem yang juga orang Belanda gak mau tinggal disitu, malah milih tinggal dirumah ini, padahal rumah ini waktu itu cuma rumah kepala administrasi pabrik.”
“Rumah ini? Ada hantunya juga berarti?” tanya mama.
“Ya enggak buk, pengganti tuan Willem gak kejam kayak tuan Willem. Mungkin karena gak mau ada kerusuhan lagi, orang Belanda lalu mengubah sistem kerjanya, dari kerja paksa jadi kerja dibayar gitu. Walaupun tetap dibilang penjajah, tapi tidak sekejam tuan Willem. Sejak saat itu gak pernah ada perlawanan lagi dari pekerja sampai kebun ini diambil alih pemerintah setelah kemerdekaan, kalo gak salah tahun 1958 atau 1959 ya?”
Terlihat mama sedikit lega mendengar penjelasan mbak Yanti.
“Tapi mau dengar yang aneh gak bu?” tanya mbak Yanti. Walaupun kami belum menjawab, mbak Yanti meneruskan lagi ceritanya, “ada yang bilang kalo jenazah yang ditemukan hangus terbakar cuma dua, jenazah tuan Willem dan isterinya. Sedangkan anaknya, isssshhh…sopo meneh yo jenenge?” mbak Yanti memejamkan mata dan mengerutkan kening berusaha mengingat.
Sebuah nama terpikir olehku, “Arabella Jasmine?”
“lha iyo, Jasmine. Kok Adel bisa tau?” tanya mbak Yanti. Mama pun menoleh heran kearahku.
Baru saja aku membuka mulut untuk menjawab, mbak Yanti sudah melanjutkan lagi ceritanya.
“Nah itu non Jasmine gak ditemukan jenazahnya. Ada yang bilang kalo non Jasmine berhasil melarikan diri ke hutan dan mati disana. Ada yang bilang kalo non Jasmine diculik oleh para pekerja yang berhasil merangsek ke dalam rumah. Ada lagi yang bilang kalo dia diselamatkan oleh pembantunya tuan Willem. Tapi semuanya dibantah sama nenek buyut saya, yang waktu itu itu menjadi pembantu di rumah tuan Willem. Beliau bilang nggak ada non Jasmine melarikan diri atau diculik, yang ada non Jasmine kemungkinan ikut tewas terbakar bersama orang tuanya. Tapi kenapa jenazahnya gak ditemukan, gak ada yang bisa jawab, mungkin hangus jadi debu, wallahualam. Tapi walaupun jenazahnya gak ditemukan, kuburan yang dekat rumah sakit Belanda tu tetap tiga, tuan Willem, istrinya dan anaknya, meski gak tau yang dikubur di kuburan Jasmine tu ada isinya tau nggak.”
“Rumah sakit?” tanya mama.
“Iya lho buk, sebelah utara pabrik tu ada rumah sakit Belanda tapi udah tutup sekarang. Nah dibelakangnya ada kuburan tuan Willem dan keluarga,” jelas mbak Yanti.
Mama mengangguk-anggukkan kepalanya, menoleh kearahku dan bertanya, “lha tadi Adel tau dari mana kalo namanya Jasmine?”
“Itu ma, di kolam ikan tempat Adel jatuh tadi ada ukiran di air mancurnya, ukiran bertuliskan Arabella Jasmine, 18 Juni 1917. Trus ada tulisannya lagi dibawah, bahasa Belanda gitu, tapi Adel gak bisa baca.”
“Besok gak boleh lagi main kesitu, bahaya” tegas mama.
Aku cuma mengangguk dan tertunduk diam.
“Iya del, dengerin mama, bahaya. Soalnya ada lagi cerita pernah ada anak kampung sini yang main di situ, trus menghilang gak tau kemana, kata orang dimakan hantunya tuan Willem, iiiih…. pokoknya serem,” mbak Yanti menaikkan kedua bahunya.
“Ah mbak Yanti ada-ada aja, masa iya ada hantu makan orang?” canda mama.
Pak Yono yang dari tadi menyimak cerita kami, tiba-tiba berkata, “tapi memang dulu beneran ada anak yang hilang kok bu, terakhir ada yang lihat anak itu masuk ke rumah kosong tuan Willem itu, malah ada dua anak yang hilang disitu. Emang kejadian udah lama, kalo gak salah satu anak hilang tahun 1940-an, satu lagi tahun 1950-an. Catatannya pun masih ada di kantor, cuma karena udah lama, kasusnya udah ditutup, polisi juga udah nyerah kayaknya. Tadi saya udah ingatkan juga Adel, jangan main-main disitu, banyak kayu lapuk dan mungkin ada ularnya juga, maklumlah rumah udah lama kosong bisa jadi sarang binatang”
“tuh del, dengar kata pak Yono, bahaya,” kata mama yang lalu melirik jam tangan dan berkata, “ya udah, udah hampir jam sebelas, yuk mbak kita nyiapin makan siang sebelum papanya Adel pulang. Pak Yono mau tambah kopinya?” tanya mama.
“Oh gak usah buk, maturnuwun. Saya mau ke pabrik aja nyusul pak Aryo dan Pak Budi, barangkali butuh bantuan saya,” kata pak Yono sambil berdiri pamit.
Mama pun berdiri diikuti oleh mbak Yanti yang lalu mengantar pak Yono ke depan.
“Ganti bajunya gih, abis tu kemas-kemas barangnya, buku-buku sekolahnya masih di kardus tuh. Senin udah sekolah kan? Gimana tadi sekolahnya? Cerita dong ke mama.” Mama pun kembali duduk.
Selain menceritakan sekolah yang kami datangi tadi, aku cerita juga situasi komplek sebelah yang jauh lebih ramai daripada disini, serta mengutarakan niatku untuk berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah karena papa akan membelikan sepeda baru. Mama menyambut baik keinginanku, mengingatkan untuk rajin belajar dan bersikap baik ke teman-teman.
Setelahnya mama pun beranjak pergi menyusul mbak Yanti yang menyiapkan makan siang di dapur. Akupun masuk kamar, mengganti pakaian lalu membongkar barang dan buku-buku yang masih tersimpan rapi di kotak kardus. Sambil membongkar kotak diruang tengah, pandanganku beralih ke foto tuan Willem sekeluarga yang tergantung di dinding. Arabella Jasmine, nama yang indah, gumamku.