Suara ketukan pintu malam itu membangunkanku yang tengah terlelap sendirian tatkala Mas Reno suamiku sedang dinas malam itu.
Dengan tubuh yang semakin membengkak, aku bergerak perlahan menuju pintu dan membukanya.
Terkejutlah aku ketika mertuaku datang bersama seorang wanita asing yang menatapku tajam. Mereka berdiri di depan pintu dengan wajah tak sabar.
“Reno mana?” tanpa basa-basi, Ibu mertuaku yang bernama Rissa masuk ke dalam rumah dan mencari-cari keberadaan putranya.
“Mas Reno lagi bekerja Bu,” sahutku dengan suara lemah. Maklum baru beberapa menit yang lalu aku terlelap sehingga terpaksa bangun untuk membukakan pintu mereka yang bertamu malam-malam suntuk.
“Kok, dia kerja malam-malam?” Ibu bertanya lagi, kali ini suaranya terdengar tidak sabar.
“Iya, Bu. Mas Reno lagi dinas malam.”
“Telepon dia sekarang. Bilang Ibu datang!” perintahnya dengan nada sedikit membentak. Ia lalu tersenyum ke arah perempuan asing yang datang bersamanya lalu mempersilakan perempuan itu duduk di sebelahnya.
Tak ingin membantah, aku segera menghubungi Mas Reno malam itu juga dan menyuruhnya pulang segera. Mas Reno pun mengiyakan. Laki-laki yang menikahiku sembilan bulan lalu bilang akan segera pulang menemui ibunya.
“Mas Reno lagi di perjalanan pulang, Bu,” ucapku yang langsung dibalas dengan senyum masam.
“Ya, haruslah! ‘kan saya ibunya, dia harus segera pulang kalau nggak mau disebut anak durhaka. Iya ‘kan? Oh iya ngomong-ngomong bagaimana kabar cucu Oma? Pasti dia sudah besar. Kok lama banget nggak datang-datang nengok Oma?” Wanita paruh baya itu bersikap sangat lembut dengan perempuan asing itu. Aku dianggap seperti tidak ada di sana, mendengar pembicaraan mereka yang tentu saja tidak kumengerti.
“Eh, Arumi kok kamu sangat tidak sopan sih, Ibu datang bukannya disambut dengan baik. Kau malah ikutan duduk di sini. Harusnya kau siapkan minum buat kami!” sergah ibu dengan sinis menatapku yang duduk bersama mereka di ruang tamu.
“Oh, iya bu ... Ibu mau minum apa? dan Mbak?” aku terdiam sejenak mencoba menawarkan minuman pada wanita yang sama sekali tidak kukenal itu. “Maaf, mbak mau minum apa?”
Wanita itu tersenyum lebar, “Aku minum teh manis saja. Kalau Ibu mau minum apa?” Ia bertanya lembut pada mertuaku, yang tentu saja langsung disambut dengan senyumnya yang lebar.
“Ibu, mah minum teh manis saja biar makin manis sama seperti wajahmu, Siska.” Dengan genit ibu mencuil pipi wanita itu. Aksi ibu tersebut membuatnya tersipu malu.
“Baik, kalau gitu Arum izin ke dapur sebentar ya bu?”
“Jangan lama-lama,” sergah Ibu yang langsung kuiyakan.
Baru saja beranjak dari tempatku duduk, ibu langsung memanggilku sinis, “Ingat ya dua teh manis. Punya Ibu gelasnya agak besar sedikit Ibu haus banget soalnya.”
“Iya, bu.”
Aku segera menuju dapur dan menyeduh teh untuk mereka. Ketika aku kembali ibu segera menyambar cangkir minuman yang kubawa dan tersedak.
Ia terbatuk-batuk. “Ibu nggak pa-pa?” tanyaku tampak khawatir.
Wanita yang bernama Siska itupun menepuk punggung Ibu, berusaha meredakan batuknya. “Pelan-pelan, Bu ... “ katanya dengan suara lembut.
Ibu memberikan kode pada Siska kalau ia baik-baik saja. Tapi berbeda denganku, Ibu malah menatapku tajam. “Kau mau ngebunuh Ibu ya?” tudingnya sambil melotot ke arahku.
“Masya Allah Bu, buat apa Arum melakukan itu?” sergahku.
“Tehnya manis banget. Kau tahu ’kan kalo Ibu nggak suka yang manis-manis!”
“Aku cuma masukin satu sendok teh gula kok bu!” Aku membela diri sebelum akhirnya melanjutkan kata-kataku yang terhenti sejenak, “Aku tahu ibu ada diabetes.”
“Ah, banyak alasan kamu! Pokoknya ganti minuman ibu sekarang!”
“Baik Bu.” Aku bergegas kembali ke dapur dan menyeduh teh lagi, kali ini tanpa gula. Sekembalinya ke ruang tamu, Mas Reno ternyata sudah tiba dan terkejut melihat kehadiran ibu dan wanita asing di ruang tamuku.
“Siska apa yang kau lakukan disini?” Suamiku tampak pucat melihat wajah wanita yang duduk di sebelah ibunya.
Bergantian ia memandangi dua wajah itu, lalu pandangannya tertuju ke arahku dan perutku yang membesar karena kehamilanku.
Melihat kedatangan Mas Reno, Siska segera berdiri dan berlari menghampirinya. Tanpa Mas Reno duga, wanita itu memeluknya erat. “Mas aku kangen ... “ ujarnya sambil terisak di pelukan Mas Reno membuatku terbakar api cemburu melihatnya memeluk suamiku.
Bukan hanya Mas Reno yang terkejut, akupun sama terkejutnya dengan aksi wanita itu asing itu terhadap suamiku, yang secara impulsif memeluknya. Seolah-olah ia sama sekali tidak keberatan dengan kehadiranku sebagai istrinya.
Siska, siapa kau sebenarnya? Aku bertanya dalam hati. Tentu saja tidak ada seorang pun yang akan mendengar pertanyaanku.
Mas Reno berusaha melepaskan pelukan Siska. Ia merasa risih ketika wanita itu mendekapnya semakin erat—seolah-olah ada lem super erat yang menempel di tubuhnya sehingga membuatnya enggan melepaskan pelukannya.
Sesekali ia melirik ke arahku, aku hanya menatapnya tajam. Mas Reno yang rikuh akhirnya berhasil melepaskan pelukan Siska. Tapi bukannya sadar, Siska justru menggandeng lengan Mas Reno dan merapatkan tubuhnya semakin dekat, seolah Mas Reno adalah miliknya.
“Reno duduklah, Nak. Ibu mau bicara.”
Siska menggiringnya ke kursi di sebelahnya. Aku pun ikut duduk bersama mereka. Penasaran dengan apa yang hendak mereka bicarakan. Sebagai seorang istri, tentu saja aku berhak mendengar pembicaraan mereka bukan? Aku tidak mau ada yang ditutup-tutupi atau dirahasiakan dariku.
“Begini, Siska datang ke sini karena dia bermaksud rujuk sama kamu. Ia sudah berbicara pada ibu dan menyesali semua perbuatannya. Ia ingin kembali lagi menikah denganmu dan mengulang semuanya seperti awal lagi.”
“Apa?!?” Bukan hanya aku yang terkejut, Mas Reno pun tampak terkejut. Kami berdua memekik.
“Maafkan aku, Mas. Dulu aku sangat bodoh. Tapi sekarang aku sadar, kalau ternyata Mas Reno adalah segalanya. Lagipula Karin selalu menanyakan kabar Mas setiap hari. Jadi aku memutuskan untuk rujuk kembali dan mengulang semuanya dari awal lagi.”
Mas Reno tegas melepaskan rengkuhan Siska. Ia menatapku sekilas sebelum beralih ke wanita dari masa lalunya.
“Siska, maafkan Mas. Mas sudah memaafkan semua yang terjadi pada kita. Mas juga sudah merelakanmu, jadi Mas sudah memulai kehidupan baru bersama istri Mas. Kamu sudah kenal ‘kan sama Arumi?”
Siska mencebik. Ia tampak tak suka oleh penolakan Mas Reno.
“Begini ... begini, Reno. Dengarkan Ibu dulu. Maksud Siska disini tuh, kamu nggak harus menceraikan Arumi karena toh dia juga lagi hamil, ‘kan?” Ibu berusaha menjelaskan.
“Terus maksudnya?” Mas Reno tampak tidak mengerti alur pembicaraan ini. Begitu pula dengan diriku. Aku semakin tidak mengerti apa maksud kedatangan mereka malam-malam. Mengganggu waktu istirahatku, juga mengusik jam kerja Mas Reno.
“Siska mau jadi yang kedua, Mas. Biarkan Siska menebus kesalahan Siska dengan berbakti pada Mas dan menjadi istri kedua Mas yang taat.”
“Apa?” Kali ini aku tersentak mendengarnya. Nyaris tak kupercayai pendengaranku ini. Aku berharap aku tuli seketika sehingga tidak mendengar ucapan tamu tak diundang itu.
“I-istri kedua?” Mas Reno memekik. Ia pun sangat terkejutnya denganku. Dari ekspresi wajahnya, suamiku sepertinya tidak menduganya.
“Iya, Mas. Siska mau jadi yang kedua.” Gumam wanita itu lagi. Kata-katanya membuatku membisu seribu bahasa. Tak tahu lagi apa yang harus kuucapkan kepada wanita ini.
Mas Reno menatapku rikuh, lalu tatapannya kembali pada Siska kemudian pada ibu.
“Lalu, kapan kau akan datang melamar Siska?” tanya ibu tak sabar. Seolah-olah mudah sekali baginya mengatur pernikahan untuk putranya.
Mas Reno tampak terkejut, ia hanya terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa? Sedangkan aku?
Kucengkeram baju gamisku kuat-kuat menahan emosiku.
***