Keesokan paginya, selepas adzan sholat shubuh aku memutuskan untuk melanjutkan tidurku. Entah kenapa aku merasa sangat lelah pagi ini dan juga mengantuk. Karena semalam, Mas Reno bahkan tidak juga datang ke kamar setelah lewat jam satu malam aku menunggunya sambil pura-pura tertidur. Ketika ia kembali ke kamar, akhirnya aku pun terlelap, itupun ketika kulirik sekilas ke arah jarum jam yang menunjukkan pukul tiga dini hari.
Berbagai macam pikiran berkecamuk dalam otakku. Apakah Mas Reno datang dari kamar wanita itu, menemui mantan istrinya dan kembali mengulang kenangan diantara mereka? ataukah Mas Reno berada di ruangan lain sambil memikirkan sesuatu. Aku bahkan terjaga karena pikiran-pikiran buruk tersebut menyerangku terus menerus tanpa henti.
Aku dibangunkan oleh aroma masakan yang menguar hingga ke kamarku. Samar-samar kucium aroma yang cukup harum. Masakan yang menggugah selera makanku.
Aku pun turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar menuju dapur. Mataku terbelalak ketika melihat wanita itu tengah memasak sesuatu di dapurku. Tentu saja bersama mertuaku yang sibuk membantunya menyiapkan sarapan. Mas Reno sudah rapi dengan kaos santainya dengan secangkir kopi hitam tersaji di hadapannya.
“Selamat pagi, istriku.” Mas Reno seperti biasa menyapaku dengan senyum memikatnya pagi itu. Tapi entah kenapa aku merasa kesal melihatnya tampak begitu mempesona di mataku. Padahal aku takut Siska pun akan melihat pesona luar biasa suamiku yang seharusnya cuma aku yang bisa menikmatinya.
Mas Reno mengecup keningku lembut seperti biasa. Tak kusangka, ternyata mereka berada di sana dan menatapku dengan sinis.
“Assalamualaikum, ibu.” Aku menyapa ibu mertuaku, tapi sepertinya wanita tersebut memang tidak menyukaiku. Ia mencebik sambil membuang mukanya dari hadapanku.
Mas Reno terdiam melihat kelakuan ibunya terhadapku. Aku hanya mengangkat bahuku, tak acuh. Berusaha untuk tidak mempedulikan responnya.
Aku menghampiri Mas Reno yang duduk di depan meja makan. “Ini...?” Aku menunjuk ke arah pisang goreng hangat yang tersaji di atas meja.
“Oh, itu Siska yang masak. Sekarang dia jago masak, dek. Katanya dia berlatih keras agar bisa memasak makanan kesukaanku. Padahal dulu dia selalu gagal masak, ya ‘kan...?” Ujar Mas Reno sambil tersenyum kecil mengingat kenangannya bersama mantan istrinya tersebut. Namun entah kenapa aku tidak ingin mendengar kisah tentang mereka di masa lalu. Rasanya aku ingin berteriak di depan mereka, “aku tidak peduli dengan masa lalu kalian.”
“Ah, mas bisa aja. Tapi dulu kan mas selalu pengen pulang cepat karena pengen makan masakanku ‘kan?” goda Siska tanpa malu.
Ibu mertuaku hanya tersenyum kecil melihat Mas Reno dan Siska saling melemparkan candaan. Sepintas kulihat ia bahkan tersenyum miring ke arahku yang tampak kesal mendengar ocehan mereka.
Beberapa saat kemudian Siska dan Ibu Mertuaku pun menyiapkan sarapan di meja makan. Aku hanya duduk di sebelah mas Reno sambil sesekali melirik ke arah Siska yang berkali-kali terlihat mencuri pandang ke arah suamiku. Aku menatapnya tajam, tapi sepertinya ia tak peduli pada keberadaanku. Justru ia dengan sengaja memamerkan rayuannya ke pada Mas Reno.
“Ayo jangan malu-malu, Mas. Dimakan masakan aku, pasti Mas suka.” Ujarnya dengan suara genit yang dibuat-buat, sehingga nyaris membuatku mual karena melihat tingkahnya yang memuakkan.
Siska tanpa ragu menyendokkan nasi ke piring Mas Reno, ia mengambil alih peranku yang biasanya menyiapkan sarapan Mas Reno semenjak kami resmi menjadi suami istri. Tapi kali ini, semua peran itu diambil alih oleh wanita dari masa lalu Mas Reno yang tidak seharusnya berada di rumah ini dan menjadi benalu yang merusak kehidupanku dan Mas Reno.
Sesekali Mas Reno melirik ke arahku yang hanya diam tanpa banyak kata. Memandangi ketiga orang yang nyaris membuat emosiku meledak. Mas Reno pun mulai menyantap hidangan buatan Siska.
“Bagaimana Mas...? Enak ‘kan rasanya?” tanya Siska penasaran dengan penilaian Mas Reno terhadap masakannya.
Mas Reno mengunyah sarapan Siska pagi itu yang hanya terdiri dari telur dadar diberi sedikit kecap dan bumbu bawang serta irisan cabai. Ia pun akhirnya menelan masakan buatan Siska dengan susah payah. “Terimakasih Sis, rasanya lumayan enak.”
Mendengar pujian itu, wajah Siska bersemu kemerahan. Ia nyaris terlihat melayang di udara karena Mas Reno akhirnya memuji masakan buatannya. Tapi tidak denganku. Aku mengambil sesendok nasi dan menaruh telor itu diatasnya.
Entah kenapa masakan itu terasa hambar di mulutku. Aku bahkan tidak mampu mengunyahnya. Sontak aku pun tak bisa menahan rasa mualku.
Mas Reno panik ketika melihatku berlari menuju wastafel karena mualku mendadak kambuh. “Kau nggak pa-pa, dek?”
Aku memuntahkan semua isi perutku. Rasanya aku nyaris kehilangan separuh tenaga yang kumiliki karena tidak ada yang tersisa di perutku selain janin yang tumbuh subur di dalamnya. “Aku nggak apa-apa, mas.” Kataku sambil menyeka mulutku dengan air keran.
Mas Reno memijat belakang leherku, ia memang selalu melakukannya selama kehamilanku ini. Di awal trimester pertama kehamilanku, aku dilanda ‘morning sickness’ parah, sehingga aku tidak bisa memakan apapun selain buah. Itupun hanya jenis buah tertentu.
Di trimester kedua kondisiku perlahan membaik. Aku mulai bisa makan nasi, walau tidak banyak. Aku juga bisa meminum s**u serta suplemen yang diresepkan oleh dokter kandungan untuk menambah nutrisiku. Tapi entah kenapa hari ini, mualku mendadak datang menyerangku. Mungkinkan dua wanita yang menghuni rumahku ini penyebabnya.
“Harusnya kalau hamil jangan dimanja. Dulu ibu waktu hamil Reno, nggak ada tuh mual-mual kayak gitu!” Sindir ibu mertuaku ketika aku kembali ke meja makan.
“Mungkin Arum lagi nggak enak badan bu. Makanya dia mual-mual. Lagipula sudah beberapa bulan ini Arum sudah tidak mual kayak waktu awal-awal hamil dulu, ya ‘kan dek?” Gumam Mas Reno berusaha membelaku.
Aku merasa sedikit tenang karena Mas Reno membelaku. “Iya, mas.”
“Iya, bu. Mas Reno kan memang selalu perhatian sama istrinya. Dulu juga waktu aku hamil Karin, Mas Reno juga selalu menjadi suami siaga.” Entah apa maksud Siska berkata hal itu. Apakah ia ingin membelaku, atau justru ia ingin memantik api kecemburuanku. Aku hanya tersenyum kecut ke arahnya.
“Sudah-sudah nggak usah ribut. Kamu sekarang istirahat di kamar saja ya? Biar ibu dan Siska yang bantu bereskan ini semua.” Aku hanya mengangguk sekilas ketika Mas Reno memberikan perintahnya. “Bu, tolong bantu Siska bereskan meja ya? Arum butuh istirahat.” Kata Mas Reno dengan nada lembut.
“Dasar manja!” Ujar Ibu mengeluh sambil mencibirku.
Mas Reno menuntunku ke kamar lalu meninggalkanku sendiri di sana. Ia kemudian pamit padaku karena ia harus kembali bekerja siang ini, karena semalam ia bertukar shift dengan temannya, jadilah ia harus bekerja non-stop malam ini.
“Hati-hati di jalan ya Mas. Jangan lupa sholat dan makan.” Kataku sebelum melepas kepergian Mas Reno untuk bekerja.
“Iya, dek. Kamu juga kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi Mas segera ya...?”
“Iya mas.” Jawabku cepat. “Oh iya, Mas. Ngomong-ngomong kapan ibu dan Siska pergi dari rumah ini mas? Aku merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka disini.”
Mas Reno tersenyum lembut sambil mengusap kepalaku. “Nanti kita bicarakan ya Dek. Mas nggak punya waktu buat ngomong masalah ini semua. Nanti kalau pekerjaan Mas sudah beres, Mas akan tanyakan ke ibu dan Siska.”
“Iya, mas.” Katanya sambil menutup tubuhku dengan selimut. Aku pun bergelung manja di atas tempat tidur.
“Mas pergi dulu ya Dek.”
“Iya Mas. Hati-hati.” Mas Reno menutup pintu kamar. Aku pun segera memejamkan mataku sampai suara derit pintu membuatku terjaga.
“Apa maksudmu dengan memintaku pergi dari sini, hah? Dasar mantu nggak tahu diri! Masih mending kamu dinikahi anakku. Kalau nggak, mungkin kamu masih jadi perawan tua...!” Tiba-tiba ibu datang ke kamarku dan memberondongku dengan cacian dan makiannya.
Aku terduduk di atas ranjang. Kulihat ibu mertuaku berdiri di hadapanku sambil bertolak pinggang. Pun dengan Siska yang berdiri di depan pintu, menonton ibu yang sibuk memakiku dengan kata-kata kasar yang bahkan tidak pernah kudengar seumur hidupku.
“Apa maksud ibu? Arum nggak ngerti Bu?” Kataku yang jelas-jelas tidak paham apa yang membuat ibu datang ke kamarku dan memarahiku.
“Kau benar-benar perempuan udik! pemalas! nggak tahu diri! menyesal Ibu membiarkan Reno menikah denganmu! seharusnya Reno tidak pernah menceraikan Siska. Ibu berharap Siska kembali bersama Reno dan meninggalkanmu.”
“Ya Allah bu, istigfar...”
“Jangan sok menasihati Ibu...! Ibu nggak butuh nasihat darimu...!” Bentaknya lagi, kali ini dengan suara nyaring yang memekakkan telinga.
“Memangnya apa salahku, Bu?”
“Kau wanita miskin! tidak berpendidikan! kau juga dari kampung udik! ditambah kau pemalas! Ibu menyesal punya mantu seperti kamu, Arum!”
“Ya Allah Bu, emang apa salahnya kalau aku miskin Bu? Emang kenapa kalau aku juga dari kampung dan hidup di kampung?” aku balas bertanya pada ibu. Apa salahku karena aku berasal dari kampung dan memangnya aku miskin? Sejak kapan aku miskin? Aku malah bertanya pada diriku. Aku kaya, Allah memberiku tubuh yang lengkap dan sehat. Allah berikan aku fisik yang sempurna sehingga aku diberi kepercayaan untuk hamil setelah sebulan pernikahan kami. Lalu apa salahnya? justru ibulah yang salah karena hadir di kehidupan pernikahan kami dengan membawa wanita yang telah menjadi masa lalu Mas Reno.
“Ibu harap setelah kelahiran anakmu nanti, Reno akan segera menceraikanmu!”
“Ya Allah Bu, kenapa Ibu ngomongnya begitu?” aku terkejut mendengar ucapan ibu mertuaku itu.
“Kau bahkan tadi meminta Reno untuk mengusirku, ‘kan? Jawab jujur Arum!”
“Ya Allah kapan Arum bilang begitu Bu?”
“Tadi, sebelum Reno berangkat kerja? Kau bertanya pada Reno kapan kami pergi ‘kan? Kalau bukan mengusir, terus maksud kamu apa, hah?”
“Seharusnya kamu yang diusir dari rumah ini. Karena kau menjadi menantu durhaka!”
Aku hanya terheran, bagaimana bisa Mas Reno mengusirku dari rumah ini? sedangkan aku istrinya. Akulah ratu di rumah ini. Tapi mereka? mereka hanyalah penghuni baru yang tidak diterima sang pemilik rumah.
“Iya, aku tadi tanya kapan ibu dan Siska pulang?”
“Tuh kan benar apa yang kubilang Bu!” Ucapan Siska seperti menambahkan bahan bakar ke dalam emosi Ibu yang terbakar. Ibu pun semakin tersulut emosinya.
Aku melirik tajam ke arah Siska. Jadi dia biang kerok kemarahan Ibu. Pasti dia menambahkan bumbu macam-macam sehingga Ibu kepanasan mendengarnya.
“Jadi benar apa yang Siska dengar tadi? Kau memang mau mengusirku, hah?” Ibu naik pitam, matanya melebar, mukanya memerah oleh emosi. Ia terlihat menyeramkan, seperti ada sosok makhluk halus tengah menguasainya. Sedikit aku merasa ketakutan.
“Ya Allah Bu, istigfar...” aku berusaha menenangkannya. Karena percuma aku membela diriku saat ini. Ibu pasti takkan mendengarku.
Siska menghampirinya dan menenangkannya. “Sudah Bu, tenangkan diri Ibu. Jangan emosi. Nanti kalau emosi darah tinggi Ibu bisa naik. Terus kalau tensi Ibu naik, Ibu bisa kena stroke atau serangan jantung.” Siska berkata dengan suara lembut, sehingga perlahan-lahan emosi Ibu mulai stabil. Wanita paruh baya itu tak lagi melotot seperti sebelumnya. “Sudah, jangan emosi nanti kalau Ibu sakit, dia yang bersuka cita Bu.”
Aku mendelik tajam ke arahnya. Apa maksudnya Siska berkata itu? Sebelum aku melontarkan kata-kata, Siska menuntun ibu keluar dari kamarku.
Aku menghela napas lega sepeninggal Ibu dan Siska. Tapi beberapa saat kemudian Siska kembali ke kamarku dengan seringai di wajahnya.
“Ini baru permulaan, Rum. Kita lihat nanti siapa yang ada di sisi Reno pada akhirnya?”
Aku hanya menatapnya tajam sebelum akhirnya dia benar-benar pergi meninggalkan kamarku dan tak kembali. Semoga dia juga segera pergi dari rumah ini selamanya.
***