Hari ini Joana mendapat shift siang. Masa training yang dijalani telah selesai dan sudah beberapa hari ini Joana resmi mejadi karyawan kontrak di tempatnya bekerja. Patut bersyukur sekalipun dia belum mejadi karyawan tetap. Semua memang butuh perjuangan dan tidak ada yang instan. Sebelum berangkat ke tempatnya bekerja, Joana sudah berniat untuk datang kembali ke kantor milik Jofan yang tak lain adalah papanya Joshua. Sebenarnya dia hanya ingin mengucapkan terima kasih atas semua bantuan yang telah Jofan berikan. Bisa saja Joana menelepon Jofan, tapi tidak Joana lakukan. Menurut Joana dengan menelepon akan kurang efektif dan terkesan tidak sopan. Selain ini Joana juga lebih berhemat pulsa. Terdengar lucu memang, tapi itulah kenyataannya. Joana harus hidup hemat. Lebih baik dia belikan bensin untuk bahan bakar motornya sehingga bisa ia gunakan ke mana-mana.
Joana memarkir motor matic miliknya, melepas helm serta membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan karena tertiup angin selama perjalanan. Setelah dirasa dia sudah rapi, dengan langkah lebar Joana masuk ke dalam kantor Jofan. Memasuki lobi yang langsung disambut oleh seorang reseptionis.
"Selamat siang, Mbak. Saya Joana. Bisakah saya bertemu dengan Bapak Jofan?" sapa Joana ramah dan seorang reseptionis muda dengan wajah cantik tersenyum kepadanya. Wanita itu memang sudah mengenali Joana karena pernah sekali datang berkunjung ke kantor ini dengan tujuan sama yaitu mencari Pak Jofan.
"Apakah sudah ada janji dengan Pak Jofan sebelumnya?"
Joana menggeleng. "Belum. Tapi ijinkan saya bertemu dengan beliau, Mbak."
Reseptionis itu tersenyum. "Baiklah, ditunggu sebentar."
Lalu wanita itu menelepon seseorang yang Joana perkirakan adalah Pak Jofan. Setelahnya wanita itu tersenyum manis pada Joana.
"Joana, anda bisa bertemu dengan Pak Jofan sekarang. Pak Jofan sudah menunggu di ruangannya. Tidak lupa, kan, di mana ruangan Pak Jofan?"
Joana menganggukkan kepal, "Saya masih ingat," jawabnya kemudian.
Reseptionis mempersilahkan kala Joana berpamitan padanya, dan gadis itu sudah berjalan menuju lift bersiap mendatangi ruangan Jofan. Tak berselang lama tibalah Joana di lantai di mana ruangan Jofan berada.
"Selamat pagi, Mbak. Bisakah saya bertemu dengan Pak Jofan?" sapa Joana ramah pada sekretaris Jofan.
"Silahkan masuk, Pak Jofan menungumu di dalam."
"Terima kasih."
Sedikit gugup Joana rasakan kala pintu ruangan Jofan sudah terlihat di depan matanya. Dengan perlahan ia ketuk pintunya.
“Masuk ...!" jawaban dengan suara berat milik seorang pria membuat Joana merinding mendengarnya. Dengan takut Joana membuka pintu dan menyembulkan sedikit kepalanya lalu tersenyum dengan cantiknya pada Jofan.
"Selamat pagi, Pak Jofan."
"Masuklah, Joana!"
Joana megangguk melangkahkan kakinya dengan berat menuju kursi yang berada di depan meja kerja Jofan. Seperti kemarin saat ia datang ke kantor ini. Joana takut menatap mata tajam milik Jofan. Memilih menunduk dan menautkan kedua tangannya.
"Jadi ... ada apa kau menemuiku Joana? Apakah adikmu membutuhkan biaya lagi? Dengan senang hati aku akan membantumu jika memang kau perlu biaya untuk perawatan adikmu."
Dengan panik Joana mendongak menatap Jofan. "Tidak ... tidak ... bukan itu." Joana mendengus. Bisa-bisanya Jofan mengira bahwa kehadirannya untuk melakukan peminjaman uang lagi. Mungkin lain kali dia akan menemui pria itu untuk meminjam uang jika ia membutuhkan biaya untuk pengobatan Jery, tapi tidak dengan kali ini.
"Jika seperti itu lalu ..." Jofan tak melanjutkan kalimatnya berharap Joana yang meneruskan ucapannya.
"Saya ... saya ... hanya ingin berterima kasih pada anda, Om Jofan,” jawab Joana terbata. Sukses membuat panggilannya pada Jofan berubah dari Pak menjadi Om Jofan karena dia gugup dan juga panik.
Jofan tersenyum tipis. Bahkan karena tipisnya Joana tak mampu melihatnya.
"Hanya itu?" tanya Jofan tak percaya.
Joana mengangguk. "Ya, hanya itu. Jika tidak karena bantuan Om Jofan, mungkin hingga detik ini Jery masih di rawat di rumah sakit dan saya masih kesulitan untuk mencari biayanya."
"Jika memang seperti itu kenapa kau harus repot-repot datang ke kantorku? Bukankah kau bisa meneleponku, Joana?"
Joana tersentak, haruskah hal ini dibahas oleh Jofan. Apakah pria itu keberatan jika dia mendatangi kantornya. Joana merutuki kebodohannya sendiri, terang saja Jofa keberatan. Pasalnya dia tak ada urusan apa pun dengan kantor ini. Dan jika hal pribadi seharusnya Joana bisa menelepon saja tak perlu datang ke tempat yang isinya adalah orang elit semua. Tidak seperti dirinya yang hanya gadis biasa, seorang pelayan pula.
"Om Jofan, maafkan saya. Memang seharusnya saya bisa menelepon Om saja tanpa harus mendatangi Om di kantor. Tapi menurut saya tidak etis rasanya jika saya hanya berterima kasih melalui telepon. Seolah saya tidak menghargai semua bantuan Om kepada saya dan keluarga saya. Sekali lagi saya mohon maaf jika kedatangan saya telah mengganggu kesibukan Om Jofan."
"Joana, bukan seperti itu maksud saya. hanya saja kamu tak perlu susah-susah datang ke kantor saya hanya untuk berterima kasih. Itu akan sangat merepotkanmu."
"Saya tidak merasa direpotkan sedikit pun, Om. Dan sekali lagi saya berterima kasih atas semua bantuan yang Om berikan kepada saya untuk pengobatan Jery. Saya janji akan mengembalikan uang yang saya pinjam pada Om meskipun itu akan sangat lama lunasnya."
Ingin sekali Jofan tertawa mendengar gadis di hadapannya ini akan mengembalikan uangnya sekalipun itu sangat lama. Astaga! Jofan tak pernah berharap Joana mengembalikan uangnya. Karena uang yang ia pakai pun juga di dalamnya ada hak Joshua juga.
"Kalau seperti itu saya pamit dulu, Om. Selamat siang."
Joana berajak berdiri, dan membungkukkan sedikit badannya. Jofan hanya menatap punggung Joana yang kini hilang dibalik pintu ruang kerjanya.
Sementara itu, setelah Joana keluar dari ruang kerja Jofan, gadis itu tak lupa berpamitan pada sekretaris Jofan. Baru setelahnya Joana berjalan mendekati lift dan menunggu hingga lift terbuka.
Ting
Pintu lift terbuka. Joana sudah bersiap masuk ke dalamnya akan tetapi sebelum niat Joana terlaksana, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam lift. Menatap Joana sedikit lama bahkan wanita itu sempat melihat Joana dengan tatapan penuh tanya. Meneliti Joana dari ujung kaki sampai ujunh kepala, hingga membuat Joana kebingungan.
"Mohon maaf , Bu. Bolehkan saya memakai lift-nya?" tanya Joana sopan karena ditunggu-tunggu wanita itu tetap berdiri di hadapannya hingga menghalangi Joana yang akan masuk ke dalam lift.
Wanita itu sedikit terkesiap lalu tersenyum dan menggeser tubuhnya. "Oh iya, Silahkan," jawab wanita itu dan diangguki kepala oleh Joana.