“B—bukan tawaran apa-apa, Za.” Mira tidak ingin Aza tahu mengenai tawaran gila Edgar padanya.
Kemudian Mira meminta Aza untuk duduk manis berjarak dengannya dan Edgar, karena ada urusan penting yang belum boleh diketahui oleh Aza. Aza mengangguk mengerti. Gadis kecil itu mengambil duduk agak jauh, membuka bungkus es krim stiknya, dan mulai menikmatinya seraya memandangi jalan raya siang ini. Benar-benar tuan putri kecil sejati!
Kembali kepada Mira dan Edgar. Mira menegaskan sekali lagi. “Pak, itu tidak mungkin. Tidak masuk akal. Lagipula, mengapa harus saya? Masih banyak wanita lain di luaran sana yang pasti mau.”
“Tapi hanya kamu yang saya beri tawaran menarik itu, Mira.”
“Bagi saya bukan tawaran menarik, Pak. Tapi tawaran gila!” Mira kehilangan kesabarannya. Tetapi berusaha calm down dengan menarik-mengembuskan napasnya. Mau bagaimana pun, Edgar telah membantunya tadi. Dia sosok yang baik, dermawan, Mira akui itu.
Mungkin efek patah hati berat membuat akal sehatnya mengenai pernikahan, sedikit bergeser. Mira maklumi. Edgar sedang terpukul.
Maka dari itu, Mira segera menutup perbincangan ini. Sebelum itu, Mira mengambil kresek putih yang ada di keranjang sepedanya. Memasukkan dua yogurt dengan varian rasa berbeda, yang jelas bukan stroberi lagi.
Meletakkan kresek putih berisi yogurt itu di meja bulat, pemisah duduk mereka tadi. “Ini..saya beri yogurt varian rasa original dan bluberi. Gratis untuk Bapak! Sebagai ganti uang Bapak yang tadi membayar es krim lima ribu, satu buku gambar lima ribu, dan pensil empat ribu. Terima kasih banyak, Pak. Mari..” Mira berjalan menuju sepedanya tanpa menoleh pada Edgar.
Tak lupa Mira melambaikan tangannya pada Aza. “Ayo, Aza! Mbak masih harus keliling habis ini.”
“Oke, Mbak!” Aza berlari kecil mendekatinya.
Ada yang unik setelahnya.
Sebelum Aza benar-benar naik ke boncengan sepeda Mira. Aza sempat mendekat dan membungkuk sopan pada Edgar. Gadis kecil itu mengucapkan sederet kalimat ajaibnya. “Pak Edgar, makasih ya udah beliin Aza es krim, buku gambar, dan pensil. Semoga Tuhan membalas kebaikan Pak Edgar. Dadaaaa~” Diiringi dengan lambaian tangan kecilnya pada Edgar. Tentu saja tidak berbalas. Edgar tetap duduk tegap, tidak bergerak sama sekali di tempatnya.
‘Cihh..ngapain si Aza pakai acara d**a-d**a sama Pak Jembatan? Ada-ada aja tingkah Aza,’ batin Mira merasa geli sekaligus bangga. Sesopan itu Aza.
Setelah kepergian Mira dan Aza. Barulah Edgar tersadar dari kekagumannya sesaat pada gadis kecil yang mendo’akan hal baik padanya. Edgar bergumam dengan menyunggingkan senyum tipisnya, “Aza? Manis sekali..”
Edgar masih mengingat dengan jelas pertemuan keduanya kemarin dengan seorang gadis bernama Mira dan adiknya—Aza. Ya, Edgar menyebut Mira seorang gadis. Menurut pengamatan Edgar, Mira sepertinya belum menikah. Walau awalnya Edgar pikir Aza adalah Putri Mira.
Konyol.
Mira tidak setua itu di mata Edgar. Mira justru terlihat lebih muda daripada Zola.
Argghh..sial! Kepikiran Zola lagi. Edgar segera menepis bayang-bayang Zola di pikirannya. Mencoba fokus dengan berkas-berkas di hadapannya.
Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Edgar teringat membawa sesuatu saat pergi ke kantor hari ini. Ia lantas berjalan menuju lemari es kecil yang memang ada di dalam ruang kerjanya ini. Mengeluarkan kresek berwarna putih di sana.
Yogurt pemberian Mira. Katanya, sebagai ganti uang yang telah Edgar keluarkan untuk membayar belanjaan di minimarket kemarin.
Edgar tidak menolak. Toh, minuman ini menyehatkan. Sekali mencicipi varian rasa stroberi, Edgar langsung menyukainya. Kini Edgar mencicipi varian original dengan duduk santai menyilangkan kakinya di sofa. Pemandangan gedung-gedung terlihat jelas, karena sofa yang didudukinya ini menghadap ke kaca besar.
Edgar mengangguk-angguk sambil menatap botol yogurt di tangannya. Approve untuk varian original ini! Enak dan segar. Rasanya seperti yogurt pada umumnya. Justru semakin natural karena tidak ada campuran rasa buah-buahan di dalamnya.
Ketukan pintu membuat kegiatan santai Edgar terganggu. Edgar berseru, “Masuk!” Guna mempersilahkan sosok pengganggu kegiatan santainya itu masuk.
“Selamat pagi, Pak. Saya Yuvarani Sudirja, sekretaris baru Bapak. Senang rasanya dihubungi oleh Tante Harini sekaligus mendapat pekerjaan ini. Semoga kita bisa menjadi partner kerja yang baik, demi kemajuan perusahaan Bapak.”
Edgar sudah menduga. Dan, dugaannya tidak meleset sama sekali. Ulah Nyonya Besar Abisena memang memusingkan kepala!
“Tidak perlu terlalu formal, Yuva. Maafkan Mama saya. Akhir-akhir ini beliau memang gencar mencarikan saya sekretaris baru,” ucap Edgar menunjukkan senyum tipis penuh sesal.
Ditatapnya gadis bernama Yuvarani Sudirja itu dari atas hingga bawah. Penampilannya sopan. Mengenakan kemeja putih panjang dengan kancing atas yang hanya dibuka satu, rok span selutut, dan sepatu hitam berhak. Rambutnya dikuncir satu rapih. Sempurna. Cantik pula. Dia terdidik dengan baik oleh Keluarga Sudirja. Edgar tidak akan ragu menerimanya jika memang untuk bekerja.
Namun, kedatangannya kemari pasti mempunyai maksud terselubung. Gadis ini..berada di pihak Nyonya Besar Abisena—Mama Edgar.
Yuva dengan semangat empat-lima menanggapi ucapan penuh sesal Edgar. “Bapak tidak perlu meminta maaf. Saya senang mendapat pekerjaan ini!” Tak lupa menunjukkan senyum terbaiknya. Sehangat mentari. Siapapun pasti akan sependapat dengan Edgar.
Hening sesaat.
Hingga pertanyaan tak terduga, dilontarkan oleh Edgar dengan santainya. “Apa ada niatan lain di hatimu?”
“M—maksud Bapak apa, ya?” Yuva gugup. Walau sebenarnya Yuva sudah menduga Edgar pasti bertanya macam-macam. Edgar bukan pria bodoh yang tidak bisa menyimpulkan maksud terselubung mamanya.
“Maaf. Seharusnya kamu bisa mempunyai jabatan yang lebih tinggi. Misalnya, menjadi pemimpin di perusahaan papamu. Saya tahu, kamu mampu menduduki jabatan itu tanpa campur tangan siapapun. Lantas, kenapa kamu malah menerima tawaran bekerja dengan saya? Saya hanya ingin kita terbuka dari awal. Sehingga kedepannya tidak akan terjadi kesalahpahaman yang tidak berarti,” jelas Edgar blak-blak-an. Karena ia tidak ingin mendapat masalah baru disaat masalah sebelumnya belum benar-benar selesai. Sekaligus, Edgar tidak ingin menyeret Yuva ke dalam permasalahan asmaranya.
Setelah berpikir sejenak. Akhirnya Yuva memperdengarkan jawaban tegasnya. “Saya ingin mengenal Bapak lebih dekat. Sepertinya, Tante Harini juga menginginkan hal itu. Maaf, Pak.”
“Hmm..begitu, ya? Baiklah.” Edgar manggut-manggut mengerti. Kemudian menatap tepat di sepasang mata Yuva yang penuh ambisi itu. “Tapi maaf, Yuva. Meskipun Zola telah meninggalkan saya, bukan berarti saya bisa membuka hati saya untuk kamu. Kamu wanita baik, cerdas, ambisius, dan masih banyak lagi hal-hal luar biasa yang ada pada dirimu. Saya kagum dengan itu semua. Tapi jika ada niat lain di hatimu, tolong buang jauh-jauh niat itu. Saya tetap akan menikah. Walau Zola bukan pengantin wanitanya.”
Yuva tampak terkejut. Ia bahkan bertepuk tangan diantara heningnya suasana ruangan ini. “WOW! Tante Harini pasti tidak mengetahui hal ini. Dengan siapa Bapak akan menikah!?” Ia dengan berani juga bertanya lebih lanjut.
“Dengan pilihan hati saya. Mengapa kamu terkejut?” Edgar menunjukkan senyum manisnya. Tentu senyum itu mengandung sebuah arti, yang jelas bukan sebuah senyum tulus. Seperti senyum Aza kemarin.
“Secepat itu, Pak?” Yuva masih tidak percaya.
“Saya ‘kan memang berengsek. Tidak jauh berbeda dengan Zola dan Levon. Kamu pasti belum benar-benar mengenal saya. Iya ‘kan?” tanya balik Edgar seusai menyebut dirinya sendiri ‘berengsek’. Edgar merasa memang harus calm down dalam menghadapi gadis ini.
Yuva mulai paham dan mengikuti alur permainan Edgar. Lagipula, berdirinya ia di sini juga untuk bermain. “Ah, tidak juga. Saya tahu bila seorang Edgar Rylan Abisena bukanlah pria berengsek. Dia pria baik yang sayangnya tersia-siakan..ups! maaf..” Yuva menutup bibirnya yang sempat lancang. “..kembali ke topik. Baguslah kalau begitu. Saya turut bahagia dengan pilihan hati Bapak.”
Di sinilah Edgar mulai dilanda kebingungan. Pasalnya reaksi Yuva tidak seperti dugaannya. Apa Yuva memang semisterius itu?
“Kamu tidak kecewa? Masih ingin menjadi sekretaris saya?”
Dua pertanyaan Edgar barusan membuat Yuva mengedikkan bahunya. “Tentu saja tidak. Untuk apa saya kecewa? Sejujurnya, saya sudah mempunyai seorang kekasih. Kami backstreet. Saya bekerja di sini demi meraup kebebasan yang tidak bisa saya dapat ketika bekerja di perusahaan papa saya. Bagaimana, Pak Edgar? Pujian Bapak kepada saya cukup baik, loh. Artinya saya diterima ‘kan jika niatnya pure bekerja?”
Fakta besar baru Edgar ketahui dari salah satu anak gadis Keluarga Sudirja. Ternyata..dia memang secerdas itu. Edgar tidak berpikir panjang. Dari ucapan hingga kesungguhan Yuva, ia sudah bisa menilai bahwa Yuva tidak berbohong sedikit pun. Maka Edgar mengangguk dengan yakin. “Kamu diterima. Bekerjalah dengan baik, karena kapanpun saya bisa dengan mudah memecatmu. Sekaligus..membeberkan hubungan backstreetmu itu.” Edgar tersenyum miring. Ia memamerkan kartu AS barunya.
Yuva memeluk dirinya sendiri seraya mengusap kedua lengannya. “Uuuu..ternyata ancaman Pak Edgar bukan main, ya? Saya langsung merinding.”
“Supaya kamu tidak macam-macam,” tegas Edgar dengan tatapan tajamnya.
“Baiklah. Saya juga tidak berminat untuk macam-macam.” Dibalas Yuva dengan tatapan yang tak kalah tajamnya.
“Kamu bisa pergi,” usir Edgar secara halus. Ia masih ingin menikmati waktu sendirinya seraya meminum yogurt gratis pemberian Mira.
“Iya-iya..” Yuva sudah hendak pergi. Namun pandangannya tercuri pada dua botol yogurt yang terletak di atas meja. Yang satunya sudah berkurang isinya. Sedangkan yang satunya masih utuh. “Ngomong-ngomong, Bapak sangat menyukai minuman yogurt, ya?”
“Baru-baru ini. Kenapa?”
“Sama dengan mama saya. Bahkan mama saya sampai langganan beli di Mbak yang jualan yogurt keliling.” Yuva sedikit bercerita mengenai mamanya. Lebih tepatnya kebiasaan sang mama.
“Jualannya pakai sepeda!?” Yuva merasa aneh ketika Edgar sangat tertarik dengan perbincangan ini. Berbeda sekali dengannya yang santai tapi serius sebelumnya. Kali ini..terlihat sangat antusias.
Anggukan Yuva seperti secerca harapan bagi Edgar. Entahlah..harapan apa itu?
“Iya, Mbaknya keliling pakai sepeda motor. Kenapa, Pak?”
Secepat itu pula harapan Edgar lenyap tak bersisa. Edgar menghela napas kecewa. “Oh.. T—tidak. Bukan apa-apa.”
‘Ternyata bukan dia. Kenapa aku jadi kepikiran dia!? Dari sekian juta penduduk kota ini, bukan cuman dia yang jualan yogurt keliling pakai sepeda, Edgar. Come on. Pikiranmu lebih berguna untuk menyelesaikan pekerjaan atau memikirkan cara supaya dia menerima tawaranmu yang katanya gila itu. Tetapi mengapa aku hanya yakin pada dia? Padahal banyak wanita lain di luaran sana yang akan langsung bersedia. Terlebih ketika aku mengiming-imingi sejumlah uang pada mereka.’
‘Ah, uang! That’s point! Aku lupa menyebutnya dalam tawaranku. Pantas saja dia menolak mentah-mentah. Mungkin dia pikir hanya akan mendapat kegiatan baru dan menjadi relawan karena sudah menolongku.’
“Saya permisi, Pak..” pamit Yuva membuyarkan peperangan batin Edgar.
“Hm.” Edgar hanya menggerakkan tangannya. Mengizinkan Yuva untuk berlalu.
Edgar tersenyum-senyum sendiri. Sekarang ia sudah menemukan senjata ampuh yang dipikirnya akan bisa membuat Mira tertarik dengan tawarannya.
Pria itu pun melanjutkan kegiatan bersantainya, sebelum kembali bergumul dengan berkas-berkas penting dan laptopnya.
Beberapa saat kemudian, mendekati jam makan siang. Ponsel Edgar yang terletak di atas meja kerjanya itu bergetar. Edgar segera menerima panggilan suara penting itu. “Halo? Bagaimana perkembangannya?”
“Amerika..” lirih Edgar dengan raut wajah pucatnya.
Pupus sudah.
Amerika itu jauh dan sangat luas. Banyak ketidakmungkinan yang timbul ketika mendapat kabar terbaru hari ini. Padahal sebelumnya Edgar masih berharap menemui titik keberhasilan.
Tetapi hari ini..seperti tidak ada harapan. Benar-benar tidak menemui titik yang ia harapkan sebelumnya.
“Baik. Terima kasih,” ucap Edgar dengan sisa tenaganya.
Kabar hari ini yang Edgar dapati dari mata-mata yang ia sewa adalah Zola dan Levon yang melarikan diri ke Negeri Paman Sam itu.
“Tidak ada harapan.” Edgar menggelengkan kepalanya lemah dengan tangan yang menggenggam kuat ponselnya. Seolah benda itu bisa ia remukkan.
Ketukan pintu membuat Edgar mendesis. “Apalagi..”
“Masuk!”
Yuva muncul dan langsung mendapat semprot dari Edgar yang suasana hatinya memburuk. “Ada apalagi, Yuva!?”
“Maaf, Pak. Ada salah seorang karyawan Bapak yang memaksa untuk menemui Bapak.”
Edgar menghela napas. Mengangguk dan mempersilahkan karyawan yang berkepentingan dengannya itu untuk masuk ke ruangan ini.
Sosok itu tampak sangat gelisah. Ia mencurahkan maksud hatinya yang kukuh menemui Edgar kemari. Ternyata untuk meminta izin pulang sekarang juga dikarenakan anaknya yang masih bayi sakit dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Begitulah kabar yang ia dapatkan dari sang istri yang tengah panik di rumah.
Kepala bidang tempatnya bekerja tentu tidak semudah itu memberi izin. Edgar sudah menduganya. Maka dengan segenap keberaniannya ia mengungkapkan masih sangat memerlukan pekerjaan ini. Namun di rumah, anaknya yang masih bayi itu juga sangat memerlukan kehadiran ayahnya.
Edgar semakin pening dibuatnya. Setelah tadi ditimpa masalah besar, kini masalah lain muncul. Seperti tidak rela membiarkannya tenang barang sekejap. Namun, ada perasaan kuat yang mendorong Edgar untuk pada akhirnya membuat keputusan yang tak disangka-sangka. “Baiklah. Mari saya antar. Sekalian saya hendak mencari makan di luar.” Bahkan oleh Yuva yang sejak tadi masih berdiri, diam, dan hanya mengamati dengan perasaan iba atas permasalahan yang menimpa karyawan Edgar.
Tindakan tak disangka-sangka Edgar itu membuat karyawannya mengucap ‘terima kasih’ berkali-kali. Ia bersyukur mempunyai bos muda sebaik Edgar. Tak peduli dengan berita yang beberapa hari belakangan ini beredar di kantor, yang jelas ia mengambil kesimpulan bahwa Edgar sosok yang baik.
“Bapak serius?”
“Kenapa? Mau ikut?”
“Ogahh!—ups..m—maksud saya, tidak Pak. Terima kasih. Saya sudah ada janji makan siang.” Yuva memaksakan senyumnya selebar mungkin. Setelah tadi sempat keceplosan mengatakan ‘ogah’ dengan lantang. Maklum. Terbawa suasana.
Edgar lantas bertanya pada Yuva tanpa dosa, “Bersama kekasih simpananmu itu?”
“Woahh..” Yuva geleng-geleng kepala dibuatnya. Ia lantas memprotes Edgar dengan berkacak pinggang. “Bapak tidak boleh seenaknya menyebut kekasih saya dengan sebutan seperti itu! Dia bukan kekasih simpanan saya. Dia kekasih satu-satunya saya. Yang paling saya cinta. Garis bawahi.”
“Ya..ya..ya.” Edgar memutar bola matanya, muak dengan anak gadis Keluarga Sudirja yang sedang menjadi b***k cinta itu.
Dia belum merasakan sakitnya hati karena masalah di luar medis—cinta.
Yuva mencoba bersikap sesantai mungkin. Walau aslinya kesal sekali pada Edgar yang seenaknya menyebut kekasihnya sebagai kekasih simpanan.
“Efek ditinggal kabur calon istri membuat Bapak sensi ya, dengan kisah asmara orang lain. Cihh..” Yuva menjeda perkataannya sejenak dengan memutar bola matanya. Dengan maksud membalas reaksi Edgar sebelumnya. “Tenang, Pak. Saya amat memakluminya. Saya ucapkan, selamat menikmati makan siang, Pak. Walau berteman sendok dan garpu. Oh ya, satu lagi. Pisau. Pisaunya jangan dipakai bunuh diri ya, Pak. Permisi~”
***