Edgar berdiri tegap tak goyah sedikitpun di bawah guyuran shower air dingin. Padahal sudah satu jam lebih ia tetap pada posisinya. Dingin? Jelas. Menggigil? Edgar sekuat tenaga menahannya.
Ini menandakan sebuah tekad yang kuat bahwa apabila suatu saat nanti Zola tiba-tiba kembali. Maka Zola tidak akan pernah mendapat apa yang pernah ia lepas—ketulusan cinta Edgar. Atau bahkan..wanita manapun itu?
Hati Edgar telah mati.
Merasa sudah cukup dengan kegiatan melampiaskan amarahnya, Edgar meninggalkan kamar mandi dan berganti pakaian. Pagi ini ia akan berangkat ke kantor setelah dua hari kemarin libur. Ia bosan berdiam diri di rumah masa depannya bersama Zola ini. “Sh*t! Untuk menjual rumah ini rasanya sayang. Karena semua desain rumah ini merupakan ideku, impianku.”
Edgat menyadari sesuatu. “Jika kupikir-pikir, dia memang tidak pernah mencintaiku. Makanya tidak pernah mau tahu atau terlibat dalam rencana masa depanku. Mengapa aku baru menyadarinya saat ini? Kupikir, dia wanita yang tepat karena tak banyak permintaan. Tahunya dia memang tidak mencintaiku.”
“Bodoh sekali kamu, Edgar.” Edgar memandangi dirinya di depan cermin besar ruang ganti. Penampilannya telah rapih, setelah dua hari ini acak-acakan. Di depan sana, bayangannya seolah tersenyum mengejek.
Mengejek ia yang menjadi sangat bodoh akibat terlalu mencintai seorang wanita! Tetapi tidak lagi setelah ini..
Setelah dirasa semua rapih, Edgar menyambar tas kerjanya, dan berangkat ke kantor. Ia akan menghabiskan waktu seharian ini berkutat dengan pekerjaan. Dengan begitu Edgar berharap, hari-hari esok akan terlalui sampai rasanya ia lupa semuanya dengan sendirinya. Lupa akan Zola dan cintanya yang tersia-siakan.
***
Di sore yang cerah, tapi berbanding terbalik dengan suasana mendung di hatinya, Mira telah cantik dengan gaun ibunya dan makeup tipis manis menghiasi wajahnya. Tidak seperti hari-hari biasanya yang hanya menggunakan bedak tabur dan liptint. Kali ini makeup Mira cukup berat. Ada foundation yang membuat mulus wajahnya, padahal bukan merk mahal, tapi sangat-sangat worth it.
Hasilnya kemarin menonton Yout*be salah seorang beauty vlogger di rumah Randi, alias demi menumpang wifi di rumah mewah milik orang tua murid lesnya itu. Sayang sekali rasanya bila kuota internetnya habis hanya karena menonton tutorial makeup ke kondangan mantan. Hadeh..lebih baik mempertontonkan kartun kesukaan Aza yang tayang juga di sana.
“Mir, sudah siap?” Pertanyaan ibunya membuat Mira tersentak dan mengangguk.
Walau sebenarnya anggukannya tidak menjawabi kesiapannya. Mau bagaimana pun, ini pernikahan sang mantan kekasih, sosok yang bahkan hingga kini masih dicintainya.
Lantas, bagaimana ia siap sementara hatinya masih saja sesak? Hm?
Berpura-pura baik-baik saja pun akan sia-sia. Karena ibunya mengerti bagaimana kondisi hati Mira saat ini. “Sebentar saja kok, Mir. Semangat! Ayo kita anggap saja sedang pergi ke pesta makan-makan.”
Mira terkekeh. Jika begini, bolehlah ia berbahagia sedikit saja. Benar kata ibunya, anggap saja sedang menghadiri pesta makan-makan tanpa mengamati singgahsana pengantin, yang seharusnya ditempatinya.
Ternyata, anggapan tidak semudah saat dibarengi dengan tindakan. Buktinya, ketika Mira memasuki gedung pernikahan Dhafi..perasaan sesak menghampirinya. Di bagian depan tadi hati Mira telah diuji karena tidak sengaja melihat foto prewedding Dhafi dan Devita yang terpampang besar, bak mahakarya sambutan untuk para tamu yang hadir. Berharap mereka turut bahagia.
Mira inginnya juga begitu—bahagia—tapi kegalauannya lebih besar. Momen putusnya hubungan mereka saja, masih Mira ingat sebagai mimpi buruk. Apalagi momen menghadiri pesta pernikahan ini..
Tetapi, tidak bisa selamanya Mira menghindar dari perasaan menyesakkan ini. Mira merasa harus menyelesaikan semuanya malam ini juga. Sehingga esok dan seterusnya, ia juga bisa fokus mencapai tujuannya bahkan jikalau mungkin menggapai bahagianya. Sama seperti Dhafi yang telah berbahagia. Tak terasa sore telah berganti malam. Saking asyiknya Rosiana mengobrol dengan Ibu Dhafi. Mereka tetap menjadi teman baik, walau tidak jadi menjadi besan.
Hingga ketika Ibu Dhafi permisi. Barulah Mira mengutarakan keinginannya. “Bu, Mira menghampiri Mas Dhafi dan istrinya, ya? Untuk mengucapkan selamat.”
“Kamu yakin hendak mengucapkan selamat pada mereka?” tanya Rosiana setengah tidak percaya, tapi dijawab dengan anggukan mantap oleh Mira.
Melihat tatapan penuh luka di kedua mata Mira, Rosiana tentu ragu. Takutnya nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Rosiana yakin Mira tidak berniat mengacaukan acara pria yang dicintainya itu. Namun, Rosiana khawatir dengan ketahanan tubuh Mira. Sejak tadi saja..makanan yang Mira ambil masih tersisa banyak. Padahal sebelum berangkat tadi Rosiana telah menanamkan anggapan bahwa mereka sedang pergi ke pesta makan tanpa Aza. Aza memilih pergi bermain ke rumah tetangga sebelah. Kesukaannya ‘kan memomong adik bayi anak tetangga sebelah.
Andai Mira nantinya menikah dan mempunyai seorang anak..sudah pasti Aza betah memomong keponakannya. HAHAHHA..si kecil ceriwis itu akan menjadi tante. Tante Kecil~
“Ibu..kenapa senyum-senyum sendiri? Mau ikut Mira tidak, Bu?” tegur Mira yang langsung mendapat gelengan kepala dari ibunya.
Mira merasa ada yang aneh dengan ibunya. Tapi yaa sudahlah..pertempuran yang sesungguhnya tengah menantinya di depan sana.
Dengan yakin, Mira melangkahkan kakinya menuju pengantin baru yang tengah berbahagia itu. Setiap langkahnya memang pelan. Namun pasti akan sampai, karena Mira tidak akan mundur atau berlari. Ia sudah bertekad menyelesaikan semuanya. Setelah ini, Mira akan menghapus perasaan cinta di hatinya karena Dhafi telah menjadi suami orang.
Langkah Mira pun akhirnya sampai. Ia berdiri tepat di depan Dhafi. Mira menahan air matanya sekuat tenaga dengan mengepalkan kedua tangannya di bawah sana. Pengantin baru itu bingung harus bagaimana, pasalnya Mira membatu di tempatnya berdiri.
Hingga Mira dan segenap pikiran warasnya bergerak memeluk pelan si pengantin wanita.
Devita tampak terkejut. Tapi saat mendapati sang suami mengangguk, ia turut menyambut pelukan amat pelan Mira. Mungkin Mira takut merusak gaun mewah atau riasan sempurnanya hari ini. Menjadi ratu sehari membuat Devita bahagia. Tapi dipeluk oleh Mira—mantan kekasih Dhafi yang sangat berbesar hati ini—Devita jauh lebih bahagia.
“H—hai..Mira? Kamu Mira ‘kan? Mas Dhafi sudah cerita banyak hal tentang kamu,” bisik Devita pada akhirnya.
Karena bisikan itu pula, perlahan Mira melepas pelukan tanpa kata itu. Ia mengernyitkan dahinya, menatap Dhafi dengan tatapan bingung seolah meminta penjelasan.
Dhafi dengan santai berucap, “Aku sudah menceritakan semuanya pada Devita, Mira. Dia mengerti. Tenang, rahasiamu akan selalu menjadi rahasia.”
Mira tentu tidak langsung percaya begitu saja. Hingga ia merasakan sebuah tangan halus menggenggam tangannya. Itu..tangan Devita.
Wanita cantik yang merupakan ratu di pesta pernikahan sekaligus ratu di hati Dhafi itu dengan pelan berusaha meyakinkan Mira. Ia merasa harus membantu sang suami. Misinya, setelah hari ini semua orang akan bahagia. Termasuk Mira.
“Mas Dhafi berkata jujur, Mira. Aku pun juga tidak akan pernah mengorek rahasiamu.” Senyum manis Devita membuat hati Mira lega. Ia memandang Devita dengan pandangan penuh kagum, bukan penuh luka. Seolah..wanita ini bukan perusak hubungannya.
Ya, memang bukan. Karena hubungannya dengan Dhafi berakhir karena ketidakselarasan misi masa depan.
“Terima kasih ya, sudah berbesar hati untuk datang ke acara kami. Bahkan mau menghampiri kami untuk mengucapkan selamat. Kami harap..kamu juga segera menjemput bahagiamu, Mira,” lanjut Devita masih dengan senyum tulusnya.
Bak terhipnotis. Mira mengangguk dan tersenyum haru. “I—iya, Devita. Aku harap, kamu dan suamimu juga bahagia selalu. Selamat atas pernikahan kalian berdua.”
Yang tidak Mira sadari adalah air matanya yang lolos begitu saja. Namun dengan sigapnya, tangan lembut Devita langsung mengusap air mata Mira. Pelan-pelan, sampai tidak sedikitpun merusak makeup Mira.
Saat itu juga Mira sadar bahwa Dhafi memang tepat menjadikan Devita sebagai tujuan akhirnya. Sementara dirinya? Masih harus bersabar untuk sampai di titik ini. Banyak beban yang masih Mira pikul. Tapi tak apa, Mira anggap kebahagiaannya sedang on the way.
Malam itu pun, semua benar-benar selesai dengan kelegaan hati yang sebelumnya tidak pernah Mira sangka-sangka akan hadir. Ternyata, di balik patah hatinya masih ada sedikit perasaan lain yang mengisi hatinya. Perasaan lega.
Lega melepaskan yang memang seharusnya tidak digenggam.
Sepulangnya dari acara pernikahan Dhafi, Mira izin kepada ibunya untuk bersepeda. Ia ingin mencari angin segar dan berjanji akan pulang. Dalam artian ia tidak akan berbuat macam-macam selama keluyuran malam ini. Rosiana mengizinkan. Hanya inilah satu-satunya yang bisa Rosiana lakukan yakni, membiarkan Mira mempunyai waktu sendiri. Entah untuk meratapi patah hatinya atau menyemangati dirinya untuk hari esok dan seterusnya yang masih panjang.
Yang jelas, Rosiana membiarkan Mira pergi sebentar malam ini.
Sepanjang perjalanan bersepeda menyusuri kota malam hari ini. Mira lagi-lagi merasa hampa. Benar, ia sempat merasa lega tadi. Tetapi ketika sedang sendiri bahkan di keramaian seperti ini, perasaan hampa itu muncul lagi.
Akankah ia akan bahagia? Atau selamanya bersama duka? Entahlah..
Sepeda yang dikayuh Mira membawanya pada sebuah jembatan besar. Tidak terasa untuk sampai di sini Mira bersepeda selama satu jam. Tapi tidak merasa lelah sedikitpun. Walau keringat membasahi dahinya.
Mira menstandar sepedanya. Kemudian berjalan menyusuri jembatan besar ini. Kendaraan yang tadinya memadati jalan di samping jembatan, kini mulai renggang. Hingga beberapa saat kemudian Mira menyadari bahwa hanya ada dirinya di sini. Dalam kesendiriannya itu, Mira tidak takut sama sekali. Ia justru membutuhkan ketenangan ini.
Terpaan angin membuat Mira sadar bahwa jembatan ini memang tempat yang tepat guna melepaskan beban di hati. Beban yang masih tersisa lebih tepatnya. Rambutnya telah tergelung menjadi satu di atas. Atas inisiatifnya karena gerah seusai bersepeda. Tatapan Mira kemudian tertuju pada bawah sana. Di mana aliran sungai cukup deras.
Mira menghirup udara sebanyak-banyaknya sambil memejamkan mata. Seolah ia tengah memeluk kebebasan yang sesungguhnya. Sampai-sampai ketika Mira membuka kedua matanya dan menoleh, ia terkejut dengan berdirinya sosok pria yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Sejak kapan pria itu berdiri di sana? Perasaan tadi hanya ada Mira seorang di tepi jembatan ini? Jangan-jangan..dia..
Tidak-tidak. Kakinya masih menapak. Bahkan sepatunya kinclong sekali. Sepertinya dia bukan pria sembarangan.
Tapi untuk alasan apa pria itu berdiri di sini? Selarut malam ini..
Baru saja berbagai pertanyaan memenuhi kepala Mira tentang kehadiran pria itu dan alasannya. Tiba-tiba dia membuat gerakan menaiki pinggiran jembatan.
Dia berniat mengakhiri hidupnya!?
Astaga!
Apa masalah hidupnya? Perasaan Mira yang masalah hidupnya jauh lebih rumit, tidak kepikiran untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun dari jembatan ini. Sama sekali tidak kepikiran!
“Saya tidak sedang merencanakan aksi bunuh diri dengan melompat dari jembatan ini, Pak. Jika Bapak hendak melakukannya. Saya sarankan segera ya, Pak. Mumpung sepi. Saya akan memejamkan mata untuk beberapa saat dan berpura-pura tidak tahu. Bapak merusak pemandangan saya saja!”
Entah mendapat keberanian dari mana? Mira meluapkan kekesalannya begitu saja.
Pria itu menoleh, menatapnya dalam diam, lalu turun kembali.
Syukurlah..Mira lega karena tidak akan menjadi saksi orang bunuh diri.
Mira pikir, dia memang tidak berminat menggubris ucapannya. Tetapi ternyata dia berjalan mendekat pada Mira dan dengan santainya memulai sesi curhat tanpa dipersilahkan.
“Saya memang sedang putus asa. Jelang hari pernikahan yang amat saya nantikan, calon istri saya kabur bersama pria lain. Sialnya, pria itu tidak lain dan bukan adalah sahabat saya sendiri. Jodoh memang cerminan diri dan mereka berdua cocok bersama—sesama pengkhianat!”
Mira bisa merasakan emosi yang tersalurkan dari tiap curahan hatinya barusan. Sebenarnya, ia dan pria itu tidak jauh berbeda. Sama-sama sedang patah hati. Hanya berbeda cerita saja.
“Lalu? Bapak hendak mengakhiri hidup Bapak di sungai itu?” Mira menggerakkan dagunya mengarah ke sungai.
“Tentu saja TIDAK! Tapi saya hendak bertanya pada kamu. Apakah kamu mempunyai waktu luang selama satu tahun kedepan? Barangkali kamu bersedia menyelamatkan harga diri seorang pria yang diinjak-injak dan mengisi peran istri. Ekhm..ISTRI SAYA. Nantinya kamu akan mendapat dua hal baik sekaligus. Pertama, kegiatan baru. Kedua, menolong pria baik hati yang disia-siakan. Bagaimana?”
“Sepertinya rumah sakit jiwa sedang kehilangan salah seorang pasiennya!”
Pria itu terkekeh. Menyadari bahwa tawaran gilanya barusan serius, tapi terlalu blak-blakan. Pantas saja ia dianggap pasien rumah sakit jiwa.
‘Bisa ketawa juga ini orang. Kupikir tadi dia bukan manusia. Tapi kalau dia setan, enggak mungkin bunuh diri ‘kan?’
Beberapa saat, tidak ada perbincangan yang terjadi. Keduanya kompak larut dalam pikiran masing-masing, menikmati keheningan malam dengan diiringi suara aliran sungai, dengan pandangan yang sama-sama tertuju pada sungai gelap beraliran cukup deras di bawah sana.
Seolah sungai tengah menyambut tubuh mereka apabila hendak mengakhiri segala permasalahan hidup saat ini juga.
Tetapi hal itu tidak terjadi. Entah urung terjadi, karena tadi Mira lebih dulu memergokinya yang menaiki pinggiran jembatan.
Yang jelas, keduanya sama-sama sadar bahwa mengakhiri hidup bukan jalan keluar atas segala permasalahan. Titik.
“Jadi, bagaimana?”
“Bagaimana apanya, Pak?”
“Kamu bersedia atau tidak? Saya serius.”
“Saya juga serius, menganggap Bapak salah seorang pasien rumah sakit jiwa yang berhasil kabur! Ayo, Pak! Saya antar kembali ke RSJ!”
***