Fathia yakin apa yang didengarnya di parkiran tadi itu adalah suara Abrar dan Sonya. Mereka berdua memang sedang berkencan di sini. Tapi yang membuat Fathia semakin merasa jijik, mengapa mereka melakukan hal itu di parkiran. Jika ingin melakukan perbuatan panas seperti itu seharusnya mereka pergi ke hotel saja. Bukan di tempat yang tidak pada tempatnya. Begitu beratkah menahan nafsu. Sehingga diparkiran pun mereka tidak bisa menahan diri.
“Apa mas Abrar dan temannya menghampiri kita, Dok?” tanya Fathia, kemudian menaruh sumpitnya di mangkuk ramen dengan wajah tegang.
“Iya, Fathia. Mereka melangkah kemari. Masak calon istrinya ada di sini bersama pria lain dia tidak menghampiri, sih?” sahut dokter Dewa sedikit bercanda. Namun sebagai detektif dia tentu mengamati reaksi bahasa tubuh Fathia dan juga dua orang yang sedang melangkah kemari itu dengan penuh selidik. Dokter Dewa yakin bila telah terjadi masalah antara Fathia dan calon suaminya.
“Assalamualaikum, Dokter, Fathia! Aku tidak menyangka kita bertemu di sini,” ucap Abrar ketika dia dan Sonya telah sampai di meja Fathia dan dokter Dewa.
“Waalaikumsalam,” jawab Fathia dan dokter Dewa hampir bersamaan.
“Halo Fathia, tidak menyangka kita jumpa di restoran jepang ini dengan dokter Dewa. Ternyata kamu malah makan malam di sini. Sejak tadi Mama dan Papa kamu sibuk cari kamu. Katanya, kamu pergi dari rumah nggak ngasih kabar. Nggak bisa dihubungi dan nggak ngasih kabar. Kamu sudah ngasih kabar ke mereka?” tanya Sonya langsung menohok Fathia dengan masalahnya tadi.
“Kabarku baik, Sonya. Aku sudah memberitahu Papa dan Mama. Kamu nggak perlu cemas,” sahut Fathia dingin.
“Fathia, malam ini kami ada pertemuan dengan rekan bisnis. Mereka meminta kami bertemu di restoran Jepang ini,” jelas Abrar kemudian agar Fathia tidak salah paham.
“Oh, begitu ya. Aku pikir kalian memang sengaja mampir kemari setelah pulang dari kantor,” sahut Fathia, santai seolah tidak terjadi apa-apa.
“Rencananya tadi aku mau jemput kamu duluan. Tapi kamu tidak mau. Akhirnya aku ajak Sonya sekalian berangkat kemari,” jelas Abrar sambil memilih tempat duduk di samping Fathia.
“Iya, aku mengerti, Mas. Dokter Dewa memang ingin mengantar sendiri aku ke rumah. Mas Abrar jangan cemas. Aku nggak apa-apa, kok,” balas Fathia dengan tersenyum tipis namun terkesan dingin.
Dokter Dewa diam-diam memperhatikan semua gerak-gerik ketiga orang itu. Dia yakin Fathia mungkin sudah tahu tentang hubungan Abrar dan Sonya.
“Apa rekan bisnis kalian sudah datang? Kalau kalian memang sudah ditunggu silakan temui saja rekan bisnis kalian itu. Aku akan temani Fathia. Kamu tidak perlu sungkan denganku mas Abrar,” ucap dokter Dewa, kembali melanjutkan penyelidikannya. Lalu dia perhatikan pakaian Abrar dan juga Sonya yang terlihat kusut dan agak berantakan. Sementara badan keduanya terlihat jelas seperti orang yang baru selesai berolahraga.
“Oh, belum. Kami sedang menunggu mereka. Katanya sedang dalam perjalanan kemari,” sahut Abrar. Pria tinggi dan gagah itu sambil mengelap wajahnya yang penuh peluh dengan sapu tangan. Setelah itu memasukkan kembali ke dalam saku.
“Terus bagaimana, dong? Masak kalian di meja ini hanya melihat kami makan. Apa sebaiknya, aku pesankan teh dan makanan kecil untuk kalian?” tanya dokter Dewa kemudian meneguk teh dari cangkir keramik di depannya.
“Tidak perlu, Dok. Kami makan nanti saja. Sekarang aku akan menyuapi calon istri saya saja. Sepertinya dia butuh bantuan saya.” Abrar menoleh pada Fathia. “Sayang, aku akan suapi kamu saja,” ucapnya kemudian.
“Tidak, Mas. Terima kasih. Aku bisa makan sendiri,” tolak Fathia.
“Nggak apa-apa, Sayang. Nggak usah malu-malu. Mereka pasti maklum dengan keadaan kamu,” bujuk Abrar, membuat Fathia tersinggung.
“Bukan begitu, Mas. Aku hanya ingin belajar mandiri saja. Walau aku sudah punya calon suami, aku tidak mau bergantung padanya. Karena hidup mandiri dan apa-apa bisa dilakukan sendiri itu jauh lebih baik dan menyenangkan. Kita tidak boleh tergantung pada orang lain. Meskipun calon suami atau pasangan sendiri. Kita tidak tahu bagaimana nasib kita nantinya. Akan tetap punya pasangan atau tidak. Entah dipisahkan oleh maut atau tertarik dengan wanita lain. Yang jelas, sejak kecelakaan itu dan kehilangan penglihatan membuat aku sadar bahwa apa yang aku miliki sebenarnya bukan milikku. Tapi hanya titipan dari Tuhan saja,” tutur Fathia cukup panjang. Tak lupa menyisipkan sindiran untuk Abrar dan Sonya.
“Iya, Sayang. Aku mengerti,” ucap Abrar terdengar sangat sabar dan pengertian. Begitupun dengan sikapnya yang terlihat peduli dan tulus menatap Fathia. Sementara tangannya bergerak menyelipkan sebagian rambut ke telinga. “Tapi Fathia. Aku sekarang tidak sedang sibuk. Aku tidak masalah menyuapi kamu makan. Kamu bisa makan sendiri kalau kita sedang tidak bersama,” jelas Abrar kemudian.
“Tidak, Mas. Aku sudah bisa makan sendiri. Sekalian sekarang latihan pakai sumpit. Sejak aku tidak bisa melihat. Aku belum berlatih makan pakai sumpit,” tolak Fathia, kukuh. Jangankan disuapi. Bahkan Abrar menyentuh tangannya saja, sekarang dia merasa risih. Sejak tahu perselingkuhan itu. Fathia merasa pria itu bukan miliknya lagi. Dia pikir Abrar hanya pura-pura mencintainya. Fathia merasa Abrar tidak punya hak atas dirinya. Karena itulah dia terus berusaha meminta kepada orang tuanya untuk berpisah.
“Oh. Ya sudah. Terserah kamu saja, Fathia. Mas hanya ingin membantu kamu. Tapi kalau kamu merasa lebih nyaman dan senang makan sendiri. Kamu lakukan saja,” ucap Abrar penuh pengertian. Seraya masih terus mengusap wajah dan membelai rambut Fathia.
“Mas, tolong hentikan!” ucap Fathia lirih seraya menjauhkan tangan Abrar dari wajahnya. “Jangan seperti ini. Malu dilihat dokter Dewa dan yang lain,” jelasnya kemudian.
“Habis aku bingung, Fathia. Di sini, Mas nggak ada kesibukan. Bukankah lebih baik belai-belai calon istri kesayangan, Mas saja. Benar dan boleh, ‘kan, Dok?” tanya Abrar kemudian melemparkan pertanyaan itu pada dokter Dewa yang tengah asyik menikmati ramennya.
Dokter Dewa menghentikan aktifitas makannya. Dia tuangkan teko berisi teh panas ke dalam cangkirnya. Lalu meneguk teh yang sudah turun suhu jadi hangat itu pelan-pelan.
“Maaf, mas Abrar. Kalau itu, aku berpihak pada Fathia. Meskipun dia calon istri kamu, tapi dia yang punya hak penuh atas dirinya. Bahkan kalau sudah menikah pun dia berhak menolak permintaanmu bila dia merasa tidak nyaman,” ucap dokter Dewa setelah menaruh kembali cangkirnya.
“Dokter Dewa menyinggung soal pernikahan. Oh ya. Apakah dokter sudah menikah atau sudah punya calon istri?” tanya Abrar kemudian.
“Belum, Mas. Aku belum menikah. Aku masih single. Mungkin mas Abrar mau carikan calon?” gurau dokter Dewa menatap Abrar bercanda. Dengan nakal dan memasang senyum ramah dia mengalihkan pandangannya pada Sonya. Timbul ide jahilnya untuk mengetes reaksi Abrar saat dia menggoda menginginkan wanita di sampingnya itu.
“Oh, aku sampai lupa belum memperkenalkan Sonya pada Anda,” ucap Abrar baru menyadarinya.
“Hai, Sonya. Perkenalkan aku Dewangga,” ucap dokter Dewa. Mengulurkan tangannya pada Sonya.
“Sonya. Senang bisa kenal dengan Anda, Dok,” ucap Sonya, menyambut jabat tangan dokter Dewa.
“Aku juga senang bisa berkenalan dengan wanita secantik kamu, Sonya” puji dokter Dewa membuat wajah Sonya yang putih bersih seketika merona dan membuat Fathia cukup terkejut mendengarnya. Tidak disangka, dokter yang sering terlihat pendiam dan serius itu bisa memuji dan merayu Sonya.
“Ah, dokter bisa saja. Saya tidak pernah merasa cantik, Dok. Saya wanita biasa saja,” jawab Sonya masih terlihat tersipu malu dengan gombalan dokter Dewa.
“Aku tidak bohong, Sonya. Kalau nggak ada yang keberatan, kapan-kapan aku mau mengajak kamu jalan-jalan. Bagaimana?” tanya dokter Dewa, terkesan spontan dan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.
Kedua mata Sonya yang indah lebar, terlihat membesar. Bibirnya yang merah merona sedikit terbuka mendengar ajakan spontan itu. Lalu dia menoleh pada Abrar dengan tatapan bingung. Sementara itu Abrar terlihat agak gugup dengan pura-pura tersenyum pada Sonya dan dokter Dewa. Tanpa sadar pria itu mengambil gelas air putih milik Fathia lalu meneguknya sampai habis. Seketika membuat dokter Dewa dan Sonya menatapnya aneh.
“Tidak tahu kenapa, tiba-tiba aku merasa haus sekali. Maaf, Fathia aku telah menghabiskan air putihmu kamu,” ucap Abrar tersenyum malu-malu seraya meletakkan gelas kosong itu dengan cukup keras.