Chapter 9.

1081 Words
Jenar menatap Papih dan Mamih yang berada dilayar ponsel itu. "Assalamu'alaikum.. Mih, Pih" senyum dan salam Jenar itu ternyata tidak mampu membuat kekhawatiran di wajah orangtua nya itu hilang. Kecemasan masih tergambar jelas di masing-masing wajah tua mereka. "Ya Allah, Nak... itu kenapa kening mu?" Mamih sedikit berteriak karena terkejut melihat kondisi Jenar yang memprihatinkan menurutnya. Keningnya tertutup perban, dan bibir pucatnya itu membuat Papih Tio mengelus d**a nya nelongso. Karena disaat putrinya itu sakit, mereka berdua tidak dapat menemani Jenar dan mengurusnya. Jenar terkekeh garing, "Jatuh, Mih.. tapi udah nggak apa-apa kok" "Jenar.. Jenar, kamu tuh 'kan baru saja berulangtahun.. kenapa ndak hati-hati?? Untung saja luka nya ndak parah" Jenar menyengir dengan tatapan mata melirik pada Bryan yang sedang mengulum senyumnya. Mamih itu jika sudah marah, sama seperti ibu-ibu yang lain pada umumnya. Akan sangat lama, dan akan melebar kemana-mana. Akan tetapi, Jenar dan Bryan paham kalau semua yang Mamih atau Papih ucapkan itu ada benarnya, atau lebih tepat nya memang benar untuk kebaikan merekan berdua. "Iya, Mih.. Jenar enggak hati-hati. Tapi aman kok, Mih. Dokter juga bilang enggak ada hal yang serius" "Oh iya, Mih, Pih. Besok itu Jenar sudah mulai KKN, dan enggak mungkin dibatalkan atau diundur. Jadi Jenar mau minta izin sekaligus minta doanya biar KKN Jenar itu berjalan lancar sesuai rencana" "Loh.. itu kepala masih diperban, malah mikirin KKN. kamu itu gimana sih?" "Mas bilang juga apa, Mamih pasti nggak setuju. Udah deh Mas bakal minta izin ke kampus mu, kalau kamu akan menyusul kesana" Bryan menimpali percakapan antara Jenar dan Mamihnya itu. mendengar hal tersebut, Jenar langsung menatap tajam kakak nya itu yang menghambat pendidikan dirinya. Bagi Jenar KKN ini sangat penting, dan harus di ikuti sejak awal. "Mas mu itu benar loh, Ndok. Kamu sembuh saja dulu, biar Papih yang bicara ke kampus, dan meminta izin biar kamu bisa menyusul dilain hari" Bryan tersenyum puas menatap adiknya itu, Mamih dan Papih mendukung dirinya penuh. Bukan nya apa Bryan sangat mengkhawatirkan kondisi Jenar, dan Bryan hanya ingin adiknya itu sehat terlebih dahulu. Maka dari itu dia sangat teguh pada keinginan nya agar besok Jenar tidak mengikuti KKN hari pertamanya. Jenar menggelengkan kepalanya, "Pih.. Enggak bisa gitu dong, ini semua untuk masa depan Jenar. Lagi pula...-" ucapan nya tergantung dengan pandangan mata yang menerawang. Kemudian Jenar bertemu tatap dengan Ayana yang sedari tadi diam mendengarkan. "Lagi pula ada Ayana kok, Pih. yang siap selalu menjaga Jenar. Iya 'kan, Na?" sorot mata Jenar meminta sahabatnya itu untuk mendekat dan menunjukkan dirinya pada kedua orangtuanya. serta membantu dirinya agar mendapatkan izin untuk pelaksaan KKN besok. Ayana jelas terkejut ketika Jenar menyeret-nyeret nama dirinya dan mengintimidasinya melalui tatapan gadis itu. Dalam gugupnya, Ayana mendekat pada Jenar dan memberikan salam kepada orangtua sahabatnya itu. "I-iya, Tante, Om. Insyaa Allah, Ayana siap jagain Jenar" ujarnya dengan terbata dan tentunya dengan senyum yang gadis itu paksakan. "Benar, Ayana? janji sama Om dan Tante ya kalau kamu harus menjaga Jenar? Pokoknya kamu harus selalu memberikan kabar ke Tante atau Bryan apapun kondisi Jenar disana?" Mendengar semua itu, Ayana hanya mampu menganggukan kepala nya dengan senyum bodohnya. Namun dalam hatinya, Ayana sudah melontarkan banyak makian kepada sahabatnya itu. "Tuhkan.. Mamih sama Papih lihatkan, Ayana siap tanggung jawab kok" ujar Jenar dengan ringan. "Siαlan lu!" desis Ayana tepat pada telinga Jenar. "Mih.. tapi Ayana itu cewek loh. Bryan cuma takut justru Jenar akan merepotkan dan membuat Ayana sulit disana" Benar sekali, Bryan masih terus berusaha agar kedua orangtuanya itu mendukung dirinya dan melarang adiknya itu untuk pergi KKN. Tidak ada maksud dan tujuan lain, Bryan melakukan hal ini hanya karena rasa sayangnya kepada Jenar. Bryan ingin merawat adiknya itu sampai luka pada keningnya kering. "Mas ihhh.. jahat banget!!" Jenar merengek seraya menaruh ponsel Bryan diatas sofa, kemudian gadis itu bangkit dan berjalan dengan pelan menuju kamarnya. Meninggalkan semua nya yang melongo karena tingkah Jenar. *** Pagi cerah dihari senin, sebuah mobil HIACE terparkir rapih pada parkiran kampus. Satu jam lagi kiranya, kelompok KKN yang di ketuai oleh Atthar akan melakukan perjalanan menuju desa yang menjadi tujuan nya. Bahkan semua anggota sudah melakukan absen, dan menyimpan barang bawaan nya di dalam bagasi mobil. Perjalanan akan memakan waktu yang lama, mengingat jarak yang mereka tempuh sangatlah panjang. Maka dari itu, Atthar ingin semua nya memastikan kembali barang bawaan pribadi mereka tidak ada yang terlupakan. khususnya untuk obat-obatan, pria itu tidak pernah bosan mengingatkan semuanya. "Jenar.." sapa pria itu pada Jenar yang sedang duduk terdiam dikursi yang tersedia. Jenar menoleh, tersenyum kepada Atthar. "Kamu yakin mau ikut?" tanya pria itu. Jenar mengangguk pasti. " iyalah, gue nggak gamau kalau harus nunda-nunda. nanti wisuda gue juga ketunda lagi" "Tapi itu kepala kamu aman 'kan?" tanyanya seraya menunjuk pada perban yang masih Jenar pakai. "Aman, lagian ini cuma luka ringan" Pria itu menganggukkan kepala dengan gugup. "Hmm.. kalau ada apa-apa, ngomong ya" ujarnya sesaat sebelum dia pergi meninggalkan Jenar. Jenar kembali terdiam, dari arah kanan Ayana datang menghampiri bersama Bryan, kakaknya yang dengan sengaja masuk kantor pada jam makan siang karena ingin mengantar adiknya itu terlebih dahulu. Kemarin itu setelah Jenar merajuk, meninggalkan semuanya. Bryan, dan Ayana meneruskan perbincangan nya bersama Mamih dan Papih. dan dengan berat hati, akhirnya mereka menyetujui segalanya dengan catatan Ayana harus selalu memberikan kabar dan perkembangan Jenar pada Bryan. "Ra.." sapa Ayana, gadis itu ikut bergabung dudik bersamanya. Sedangkan Bryan tetap berdiri di hadapan Jenar. "Mas sudah taruh obat dan vitamin ditas kamu, ingat harus selalu hati-hati" Bryan memberikan nasihat kepadanya untuk kesekian kalinya. Dari semenjak mereka melakukan sarapan hingga sebelum turun dari mobil. Bryan, kakak satu-satunya itu sudah menasihat dirinya lebih dari lima kali. "Iya Mas.. ih kenapa jadi bawel sih, Mas!" ujar Jenar dengan kesal. "Kok gitu? masih untung loh Mas memberikan izin. Coba kalau ndak, mungkin Mamih dan Papih juga ndak akan kasih izin kamu KKN" Jenar menghela napas nya, mencoba bersikap normal dan tidak emosi. "Iya.. Mas ku yang guantengg. Terimakasih sudah membantu adikmu ini" ujar Jenar dengan senyum yang dia paksakan. Melihat interaksi antara Bryan dan sahabatnya itu membuat Ayana mengulum senyumnya dan menahan tawanya. Ayana bingung, kenapa sahabatnya itu tidak bersyukur mendapatkan Bryan sebagai kakak yang baik dan menyayangi dirinya itu. Coba saja jika Ayana adalah Jenar, mungkin dia akan menjadi salah satu adik yang sangat beruntung di dunia ini. Mas Bryan akhirnya bergabung duduk bersama dengan mereka. pria itu pun mengelus lembut surai pendek adiknya itu dan menatap Jenar dengan tulus. "Hati-hati disana ya, Jenar Maheswara. Mas cuma punya kamu sebagai adik satu-satunya" ujar Bryan dengan ketulusan hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD