Pagi-pagi sekali, Wira terbangun dari tidurnya. Pria itu menjalani rutinitas paginya seperti biasa. Untungnya, dia tak mengalami kejadian aneh lagi kemarin. Jadi, dia bisa tidur tenang malam terakhir tadi.
Kemarin juga, dia habis bercerita panjang lebar dengan Melati. Kalau dipikir-pikir, mereka cocok satu sama lain. Sudah begitu, mereka sama-sama tidak miliki pasangan lagi. Bukan ide yang buruk, kan, jika mereka berakhir menjalin hubungan yang lebih serius lebih dari pertemanan? Sepertinya, tidak perlu ada yang dipertanyakan lagi.
Baiklah, untuk urusan cinta mungkin Wira masih mencintai Sabrina. Pria itu sudah mengatakan kalau melupakan orang yang dulunya begitu berarti di hidupnya tak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Dan kalau boleh jujur, dia masih mencinta Sabrina. Kemarin saja, sebelum tidur, bayang-bayang Sabrina yang terlintas dalam pikirannya. Senyumnya, canda tawanya, marahnya, semua masih Sabrina.
Baru saja lega tidak terjadi apa-apa. Wira terdiam dengan tubuh menegang tatkala menyentuh pantry yang mungkin dulunya menjadi tumpuan Sabrina untuk tetap berdiri. Wira terhenyak dan menarik tangannya cepat-cepat.
"What was that?" degup jantungnya berdetak tak normal kembali. Dia melihat sesuatu yang mengerikan di sana. Sabrina menangis bukan karena sedang acting atau semacamnya. Namun, memang ada yang sedang mengganggunya saat sedang membuat makan malam.
Wira terhenyak, buru-buru menarik tangannya menjauh dari tempat itu. Dia diam di tempat, menatap sekeliling apartemennya dalam diam. Sudah bertahun-tahun dia hidup di sana dan tak sekalipun ada yang mengganggu dirinya.
Lalu yang dia lihat tadi, dia jelas melihat bagaimana Sabrina menangis histeris meraung-raung sampai akhirnya tidak mampu mengeluarkan sepatah kata lagi saat ada hantu perempuan dengan wajah yang hancur lebur, tubuhnya dipenuhi belatung dan berbau busuk datang menghampiri Sabrina secara cuma-cuma.
Wira mencoba mengingat-ingat. Malam itu...
"Mas tidur aja dulu. Aku mau masak, nanti aku bangunin."
Wira tersenyum renyah. Dia mendekat ke arah Sabrina untuk memberikan kecupan hangat di pelipisnya dan setelah itu masuk kamarnya untuk beberes dan tidur seperti yang diperintahkan Sabrina.
Yang Wira tahu saat itu, dia hanya mandi kemudian ganti baju dan rebahan, tahu-tahu pagi sudah menyapa dengan matahari yang sudah tinggi.
Buru-buru Wira keluar dari kamar, mencari Sabrina karena seingatnya, Sabrina masak dan memintanya untuk tidur dulu karena pasti akan dibangunkan. Tapi siapa yang menyangka kalau keluarnya Wira dari kamarnya disambut tangisan Sabrina yang begitu pilu di pojokan dapurnya.
Matanya sembab dengan lingkaran hitam gelap di bawah matanya seperti tidak tidur dan terus menangis semalaman suntuk.
Hingga, begitu Wira mereka adegan ulang dengan kemampuan baru yang dia miliki, ternyata ada yang Wira lewatkan. Sabrina menangis bukan tanpa alasan tapi perempuan itu diganggu. Dan yang mengganggu Sabrina sama dengan hantu yang Wira lihat di kantor, yang ingin menyelakai office boy tapi tidak jadi karena Wira lebih dulu datang di tempat kejadian perkara.
"Astaga..." Wira terduduk lesu di sofa, dia meraup wajahnya susah payah, berusaha mengembalikan kewarasan yang serasa jauh sekali dari gapaiannya.
Namun Wira tidak terlalu yakin dengan yang dia lihat sendiri hari ini. Kalau Sabrina memang diganggu, tidak seharusnya dia tidur dengan pria lain, kan? Itu semua tidak bisa dibenarkan.
Kalau Wira bisa melihat masa depan dan terbukti benar, berarti waktu tidak sengaja bersentuhan dengan Sabrina, dia melihat masa lalu yang benar, bukan? Wira yakin itu bukan mimpi. Tapi dia juga bingung bagaimana bisa dia menyentuh Sabrina padahal yang terakhir dia ingat, dia sedang berjalan santai di lobi untuk pulang.
Merasa ada yang tidak beres, Wira berusaha menghubungi Aris. Dia telfon pria itu sampai belasan kali tapi tetap saja tidak diangkat.
Kalau boleh jujur, Wira kenal dekat dengan semua keluarga Sabrina. Hanya saja, dia bingung kalau harus tanya langsung ke mereka. Tapi apa boleh buat, Wira tidak punya pilihan lain. Kalau dia mau mencari kebenarannya, dia juga harus berkorban waktu lebih banyak.
Mungkin saja Wira tidak akan peduli meski apapun yang terjadi. Tapi karena dia merasa ada yang salah, ada yang rumpang, ada yang tidak diketahuinya, Wira rasa sudah saatnya dia keluar dari zona nyamannya selama ini dan mencari tahu apa yang terjadi.
Dulu, Sabrina yang selalu ada untuknya. Sebenarnya, dari dulu juga Wira kehilangan orang-orang yang hormat padanya karena tingkat lakunya sendiri. Harusnya, kalau Wira bisa melihat masa lalu atau masa depan orang lain, harusnya dia juga bisa melihat masa depan atau paling tidak masa lalu yang dia lupakan. Harusnya bisa, kan? Atau mungkin Tuhan memberikannya kemampuan pada dirinya saat sudah dewasa seperti ini agar dia bisa bergerak mencegah sesuatu yang buruk akan terjadi? Tapi kenapa tidak dengan hidupnya sendiri? Wira butuh jawaban. Dan mulai sekarang, dia akan mencari jawabannya sendiri.
Apa sebenarnya yang menggangu Sabrina hingga perempuan itu harus mengakhiri hubungannya?
Apa yang sebenarnya terjadi saat orang-orang menuduh dan mencemooh kalau Wira adalah seorang yang memiliki berkepribadian ganda yang salah satunya jahat?
Apa yang sebenarnya terjadi hingga tiba-tiba dia bisa melihat masa depan dan masa lalu seseorang?
Apa yang salah dengan dirinya dan semua orang?
Mulai sekarang, Wira akan mencari jawabannya dalam diam. Dia tidak ingin menyangkut pautkan orang lain dalam hal ini karena satu hal, mungkin saja memang dirinya yang bersalah dan Wira agak takut mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.
***
Menjadi arsitek senior di Stain memang bukan main honornya ketika memenangkan tender. Kalau dihitung-hitung, gaji Wira yang ada di rekening pribadinya sendiri mampu untuk menghidupi anak istrinya sampai puluhan tahun ke depan beserta untuk biaya sekolah dan lain sebagainya. Hanya saja, mungkin nasibnya yang kurang beruntung karena saat ingin melamar, sudah keduluan Sabrina meminta putus. Menyesal, ingin marah tidak tuh si Wira?
Namun ya nasi sudah menjadi bubur. Wira tidak dapat mengulang waktu kembali meski seingin apapun dia melakukannya. Jika dirinya terlalu pengecut, mungkin mulutnya sudah berani melamar anak orang.
Masalahnya, Wira sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengatakan bahwa dirinya ingin melamar Sabrina. Tapi nahasnya, selalu ada rintangan yang menghadang. Entah tiba-tiba tenggorokannya sakit lah, serak lah, Sabrina yang tidak mendengar atau memang pura-pura tidak bisa mendengar, Wira rasa dunia seperti tidak merestui hubungan mereka sampai ke dermaga yang bernama pernikahan. Sesulit itu untuk menggenggam apa yang sudah bersamanya bertahun-tahun lalu.
Lalu sekarang, saat dirinya berjalan menyusuri lobi, kupingnya tidak sengaja menangkap sesuatu.
"Bu Sabrina resign, beliau sakit parah."
Kaki wira seperti dipaku pada tempatnya. Dia tidak tahu kalau sakit yang dialami Sabrina akan seserius ini. Dan untuk kesekian kalinya, pertanyaan Wira masih sama, apa memang Sabrina meminta hubungannya berakhir karena perempuan itu sedang sakit keras atau karena dia memang tidak ingin disalahkan sehingga membuat berita bohong. Lalu peristiwa di malam itu, di saat Sabrina histeris dan Wira mempertanyakan dirinya sendiri yang sampai tidak tahu dengan kejadian mengerikan yang menimpa perempuan itu sebenarnya tidak benar? Lalu jalan yang mana yang seharusnya Wira pilih? Dia tidak paham dan tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Kenapa semuanya malah menjadi tanda tanya besar? Bukankah orang lain yang bersalah? Lalu kenapa Wira yang harus repot-repot mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi?
Tuhan, tolong berikanlah petunjuk untuk hamba-Mu yang kesulitan ini.
Berusaha melupakan apa yang terjadi, Wira menggeleng pelan dan bergegas menuju ruangannya sendiri. Belum juga masuk, Wira terkejut melihat sosok perempuan sudah duduk di depan mejanya. Ini masih pagi dan Wira sengaja pergi pagi agar otaknya segera dibuat untuk berpikir, dan benar, otaknya sudah berpikir keras pagi-pagi sekali.
"Melati?" Wira memanggil ragu-ragu. Dan perempuan itu pun menoleh dan tersenyum seperti biasanya.
Perempuan yang disebut namanya itu menoleh dan tersenyum manis ke arah Wira seperti biasa. "Hai, Mas? Semalam tidur nyenyak?"
Wira tersenyum simpul dan bergegas berjalan untuk duduk di mejanya sendiri. Dia mengangkat pandangannya dan menatap Melati dalam diam. "Ya, semalam saya tidur nyenyak."
Melati mengangguk kemudian menatap Wira serius sekali lagi. "Saya bermimpi tentang Bu Sabrina, Mas?"
"Ya?"
"Dia akan segera menikah dengan Pak Aris."
Bagai disambar petir di siang bolong, bahu tegap Wira merosot jatuh. Baru saja dia ingin mencari tahu kebenaran yang sebenarnya seperti apa. Tapi mendengar Sabrina mengatakan hal yang terlampau menyakitkan sepeda ini, Wira seolah sudah tahu jawabannya kalau selama ini dirinya memang bodoh, mau-mau saja dikhianati.
Bahkan sebanyak apapun kebaikan yang Sabrina lakukan untuknya, Wira tetap saja terluka. Dia terluka mendengar kabar ini. Padahal, Melati hanya mengatakan kalau dia melihat Sabrina menikah dengan Aris dalam mimpinya, yang belum tentu akan menjadi kenyataan. Namun tetap saja, Wira terluka. Demi apapun, dia masih mengharapkan Sabrina meski sakit hatinya sudah sangat parah.
"Mas?" Melati mencoba menyadarkan Wira yang terdiam dengan tangan terkepal kuat. Matanya memerah hebat seolah menahan kesakitan yang amat sangat. "Kamu baik-baik saja?"
"Hm?" pria itu berkelit dengan meliri lawan bicaranya sekilas. "Memangnya saya kenapa?" tanyanya balik.
"Bu Sabrina dan Pak Aris akan menikah sebentar lagi."
Wira menunduk sejenak sebelum membalas perkataan Melati. "Biarkan saja, bukan urusan saya." ujarnya tak acuh. Beberapa saar kemudian, Wira langsung pergi mendahului Melati dan Melati tetap berupaya mengajak Wira berbicara.
"Mas tidak mau kah berbicara dengan Bu Sabrina, mungkin ada yang Mas lewatkan selama ini. Mas harus tahu, kaum perempuan itu baik sekali dalam hal menjaga rahasia. Jadi, daripada Mas menyesal mengetahui yang sebenarnya belakangan, lebih baik Mas tahu sekarang juga, bukan? Bekum terlambat, Mas."
Langkah kaki Wira terhenti saat itu juga. Terkadang, dia tidak paham dengan dirinya sendiri yang sebenarnya menginginkan hal apa. Memang ya, kalau harga diri seorang pria itu tinggi sekali. Seolah-olah, rela mengorankan appaun asal harga dirinya tetap di atas, tidak dinjak-injak oleh siapapun.
"Bisa berhenti membahas tentangnya? Saya tidak ada urusan lagi dengan kehidupan mereka."
Melati yang menatap lantai hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia tidak bermaksud mengganggu Wira sampai seperti ini. Dia hanya ingin mengatakan mimpi yang biasanya--ralat salah, bukan biasanya--tapi memang selalu menjadi kenyataan. Barang kali ada hal yang bisa menghalangi mimpi itu menjafi nyata, Wira ingin mengupayakannya, karena itu Melati buka suara. Kalau tidak peduli dengan Wira, dia pasti memilih diam saja dan membiarkan kebenciaan Wira pada Sabrina semakin berlarut-larut.
"Saya hanya tidak ingin Mas menyesal. Bu Sabrina terlihat seperti perempuan yang baik-baik."
OH s**t! Wira menahan umpatannya dalam hati, enggan mengutarakannya. Nanti namanya yang sudah buruk, semakin tercemar. Lagi pula, mengumpat tidak akan membuat semuanya baik-baik saja. Yang ada, hanya keburukan yang terjadi karena mengingkapkan kata-kata kotor. "Kalau kamu masih ingin berjalan beriringan dengan saya menuju lift, tolong berhenti membahas tentang mereka.
Daripada merepon, Melati memilih diam saja sambil mengikuti Wira. Suasana hati pria ini benar-banar buruk sekali. Bahkan sampai di di lantai 15, tempat di mana Melati berhenti, Wira diam saja layaknya mereka dua orang asing yang belum saling mengenal sebelumnya.
Saat sampai di ruangannya sendiri, otak Wira kembali memikirkan banyak hal. Dia tentu ingat dengan referse yang dia alami tentang Sabrina yang dengan setia menungguinya saat ditimpa musibah waktu itu. Apa mungkin cinta itu memang sudah pudar bersama dengan berjalannya waktu? Wira tidak tahu.
Ketika bibirnya menguatakan ketidakpedulian, kontras dengan hatinya yang seperti diiris-iris dengan pisau besi yang tajam, berkarat pula, hingga membuat hatinya semakin sakit begitu ditebas menggunakan pisau besi tersebut.
Saking tak mampunya menahan sakit yang tiba-tiba mendera tubuhnya, Wira terjatuh dari kursi kerjanya dan menghantam kerasnya lantai. Dan di saat kritis seperti itu, Wira melihat kaki pucat menggantung tepat di depan wajahnya dengan gaun putih yang lusuh akan tanah. Begitu matanya yang membola melihat ke atas, Wira tidak mendapati apa-apa. Dengan mengembuskan napas lega, Wira kembali membuka matanya dan dia berteriak saat itu juga begitu melihat sosok hantu perempuan dengan wajah yang begitu mengerikan, yangsempat dia lihat beberapa kali.
Mungkin, Wira tadi berteriak saking kencangnya hingga membuat sebagian orang masuk ke dalam ruangannya dan membantunya bangkit. Lebih tepatnya, para pria yang membantunya, yang perempuan hanya bisa melihat dari kejauhan sambil berbisik-bisik merinding.
"Pak, Bapak, baik-baik saja?" salah satu arsitek senior bertanya.
Wira menatap langit-langit takut. Kemudian menerima uluran pria itu untuk membantunya duduk. Beberapa saat kemudian, ada yang lain membawa air putih untuk Wira yang langsung diterima dengan tergesa dan Wira langsung meneguknya dalam sekali tandas. Dan setelah itu pun, wajah Wira yang pucat pasi tetap mendongak ke atas memandang langit-langit. Tadi itu sangat mengerikan sekali. Wira belum pernah melihat makhluk astral dengan jarak sedekat itu.
Setengah tersadar, Wira meminta air minum lagi. Jantungnya sedang tidak baik-baik saja, dia butuh cairan untuk menenangkan ketakutannya. "Sebaiknya Bapak istirahat dulu, Bapak terlihat tidak sehat," saran juniornya tersebut.
Sebagai orang yang selalu totalitas dalam bekerja, Wira langsung mengesampingkan ketakutannya sendiri dan mulai terlihat baik-baik saja kembali. Karena masalahnya, dia bisa berpikiran terlalu berat jika tidak menggunakan tubuhnya uintuk bekerja. Dan itu efeknya sangat buruk sekali pada mental maupun fisiknya.