Prolog
Saat Baskara dan Kanaya berada di Taman Kanak-Kanak. Kedua ibu mereka saling cekcok satu sama lain. Baskara digandeng oleh mamanya, sementara Kanaya digandeng oleh ibunya.
"Anak elu tuh yang bikin anak gue kaya gini. Tuh…jidatnya jadi luka," ujar Riris dengan sewot.
"Eh.., nenek sihir…!" tunjuk Soleha dengan sengap. "Anak gue cantik, lemah lembut, kagak mungkin buat anak elu luka. Secara dia cowok." Wanita itu sedikit mengejek dengan melipat kedua tangannya sebatas d**a.
"Apa elu bilang?" Riris mulai meradang. "Baskara itu anak yang kuat!" Tanduk Riris mulai mencuat, bakalan ada pertempuran di tengah lapangan.
"Kalau kuat, dia gak mungkin luka!" sindir Soleha sambil menyungging.
"Elu ngehina anak gue!" Riris sudah bisa membendung amarahnya. Segera saja dia menjambak rambut Soleha.
"Lepasin gak?" pinta Soleha masih baik-baik.
"Kagak… sampai rontok juga gak bakalan gue lepas."
Wihh, terjadi adu jambak gaya emak-emak di lapangan. Para warga yang melihat mulai memisahkan mereka berdua. Ramailah satu kampung hingga berakhir di kantor desa.
Lanjut lagi ketika SD. Ini yang membuat Baskara dan Kanaya malu bukan main. Lah bagaimana tak malu? Kedua emak-enak itu datang ke acara wisuda dengan memakai emas kaya acara kondangan. Hasilnya mereka bertengkar lagi.
"Eh…, elu mau pamer siapa? Miskin saja sok kaya. Kaya rumah gue, gedongan." Riris menyentuh kalung berlian yang berada di lehernya.
"Biar rumah gue gak gedongan, tapi tanah gue banyak di mana-mana. Lah elu, banyak hutang."
Tidak berhenti sampai sana. Mereka terus berdebat dan disaksikan banyak orang. Baskara dan Kanaya yang melihat mereka hanya melengos pergi. Keduanya malu lantaran dandanan tidak sesuai dengan tempat.
Nah, sekarang cerita yang di SMP. Ini bikin ngakak. Emang kalau sama-sama posisi mantu sulit. Saat hajatan di rumah tetangga, Soleha dandan pakai baju ala kadarnya. Biasanya dia selalu menyaingi Riris.
Ketika bertemu di hajatan, Riris bikin ulah, menyindir kalau Soleha tidak punya duit karena pakai baju lama.
Geger sekampung, hajatan bukan jadi hajatan malah jadi adu kursi. Yang punya hajatan endingnya minta ganti rugi. Lah semua barang pada rusak.
Terakhir masa SMA, awal masuk jadi anak baru menginjak remaja, Baskara dan Kanaya diterima di sekolah yang sama.
Saat mereka berdua mengantar sang anak, ketemu lah dijalan.
Ada perubahan di Kanaya, rambut yang semula ikal jadi lurus.
"Anak elu di dandani kaya artis tetap aja kagak cantik. Mending sumbangin aja ke panti asuhan. Hitung-hitung amal." Riris mengejek Kanaya terang-terangan.
"Ma…bisa gak usah berantem. Baskara malu, Ma," bisik Baskara dengan wajah kesal.
Kanaya melirik sekilas, lalu membuang muka ke arah lain. Tiap hari yang nongol Baskara mulu, bosen dia lihatnya.
"Buk, aku masuk. Terusin aja cekcoknya." Kanaya tak mau ikut campur dengan perdebatan mereka. Soalnya bisa pusing dan stres. Karena gadis itu pergi, Baskara juga pergi.
Eh belum sepuluh langkah berjalan, beberapa murid bersorak-sorak. Kedua belah itu langsung menoleh dan berteriak.
"MAMA/IBU…."
Demi apa coba, dua emak-emak itu saling pukul menggunakan tas masing-masing. Bahkan mereka tidak berhenti mendengar sorakan dari para murid.
Riris dan Soleha menghentikan aktivitasnya saat anak mereka memasang wajah kesal dan marah. Lihat wajah yang tanpa dosa itu, bahkan rasa malu seperti sudah tak ada
Kedua bocah itu pun saling padang satu sama lain.
"Gara-gara nyokap elu hidup gue di masa SMA harus ternodai," kata Kanaya kesal.
"Heh, Aya. Nyokap elu aja yang bikin ulah." Baskara tak mau kalah dalam konteks apapun harus menang.
Seperti ada angin berhembus saat mereka berdua bertatapan seakan ada aliran listrik yang menyengat.
Iya begitulah mereka. Sang anak cekcok melalui berbagai lomba sehingga sportif, sementara ibu mereka cekcok mulut dan gelut. Tidak pernah akur satu sama lain.
Gue pengen banget tonjok tuh wajah yang sialnya cakep, batin Kanaya dengan wajah nyolot.
Tuh anak meski melotot kenapa malah tambah cantik? Apa mata gue dah mulai rabun yak..., pikir Baskara mulai goyah.