”Tolong, dokter Smith! Aku harus masuk ke dalam ruang operasi bersama suamiku. Bagaimana bisa kau menyuruh aku diam di tempat ini sementara suamiku harus bertarung dengan nyawa di dalam sana. Tolong, Dokter. Biarkan aku masuk.” Julie Ashley benar-benar frustasi di depan kamar operasi yang sudah lebih dulu membawa masuk brangkar besi beroda yang digunakan Divo Chaniago sebagai tempat ia membaringkan tubuh tak berdayanya.
Pecahnya pipa gas yang menyambungkan langsung gudang penyimpanan bahan-bahan di restoran pasta peninggalan ibu kandung Julie Ashley yang berujung reruntuhan tembok pada bangunan tersebut, nyatanya menambah satu lagi duka nestapa bagi sepasang pengantin baru itu.
Kenyataan yang mengambarkan jika Divo memang dengan kesungguhan hati menyelamatkan sang istri, memang menjadi sebuah kejadian teromantis yang mungkin patut dicontoh oleh pasangan lainnya.
Namun, bila ternyata nyawa yang menjadi bagian menyedihkan lainnya? Kini yang ada sudah jelas sebuah kehancuran bagi salah satu dari pasangan itu sendiri.
Duka mendalam terang saja tak lagi bisa ditolak, mana kala Julie yang pada saat itu baru saja kehilangan ibu kandungannya beberapa bulan lalu kini kembali tertimpa badai.
“Kumohon, Julie. Kau tau seperti apa prosedur yang berlaku di sebuah rumah sakit, bukan? Mendingan Ayahmu adalah dokter terbaik di sini dan kau juga sejak kecil sudah barang tentu melihat bagaimana cara Cladio bekerja. Jadi, jika kau ingin nyawa suamimu tertolong? Berhentilah bersikap kekanakan. Dia di dalam sana membutuhkan aku, kurasa yang perlu kau lakukan adalah mendoakan keselamatannya. Kau mengerti?”
Dokter Agusto Smith, akhirnya melangkah cepat ke dalam ruang operasi itu, ketika Julie Ashley sudah sedikit menguraikan pelukan eratnya tadi. Lelaki itu masuk dan menutup pintu besar berdaun pintu dua itu dengan rapat. Lalu, tak sampai semenit kemudian, lampu kamar yang menandakan jika operasi sedang berjalan pun menunjukkan tanda merah.
Julie semakin terisak dengan kenyataan yang ada di depan matanya hingga untuk sekedar berdiri saja, ia harus berpegang pada tiang penyangga beton yang berada tak jauh dari sana. Rambutnya yang terurai kusut dengan bentuk riasan wajah tak lagi beraturan, seolah menjadi saksi kesedihannya saat itu.
Ia merasa kalut, benar-benar rapuh dan tak tahu harus bagaimana menghadapi hari yang saat itu menunjukan angka ke-2 di bulan kelahirannya. Ketika semua bayangan dari satu persatu mendiang orang terkasihnya muncul bersama sejumlah pikiran hitam lain.
“Daddyyyy ... Mooommm ... Hanya Divo yang aku punya! Tolong bantu aku! Jangan bawa dia, kumohon ya Tuhan, jangan ambil dia dariku saat ini ... Hiks ... hiks ... hiks ....”
Brughhh.
Julie jatuh merosot ke lantai koridor tersebut. Dengan air mata pilu, yang masih saja setia mengalir dari pelupuk matanya. Sementara itu dari ujung kanan koridor, derap langkah berlari menghampiri tempat di mana ia duduk pun terdengar kian jelas di indra pendengaran Julie.
Namun alih-alih mencoba untuk menolehkan kepalanya untuk sekadar bernapas saja, ia hampir tak sanggup melakukannya. Ia terus berteriak histeris dalam posisi duduk. Hingga si pemilik langkah kaki pun tak lama datang dan melakukan sesuatu yang ternyata lebih fantastik lagi dari teriakan histeris seorang Julie Ashley.
Plakkk.
“Kau perempuan pembawa sialllll! Sudah kukatakan sejak dulu, jika sebaiknya kau tak usah menyetujui permintaan konyol Mendiang Ny. Clarinet untuk menikah dengan Divo bukan? TAPI KENAPA KAU TAK MENDENGARKANNYA,
JULIEEE ... Kau itu perempuan sial yang tak mengerti apa pun tentang Divo. Sejak kau datang tiga tahun lalu, bukankah kau yang selalu menjelekannya? Bukankah kalian adalah musuh? Lalu mengapa kau menikah dengannya? Harusnya aku yang menikah dengannya karena kami sejak kecil adalah sahabat! Mengapa kau tega membuatnya seperti ini, Julie? Tak cukupkah kau membuat pasta dengan mencampurkan jenis sulvur beracun hingga membuat ibumu meregang nyawa? Apa harus kau mengambil nyawa Divo juga? Mengapa bukan kau yang sekarat. Mengapa harus Divooo! Kau jahat, Julie! Kaauuu ... Jah—Arrghhh ... Jamie! Kau su--”
“Lepaskan tangan kotormu itu darinya, Gischa! Kau baru saja mendarat ke Seattle dari negaramu. Kau tidak tahumenahu tentang kejadian yang sebenarnya. Pipa saluran gas di ruang penyimpanan bahan-bahan meledak dan ini murni sebuah kecelakaan. Kau tau Darwin Parkinson, si pelayan baru yang kau rekomendasikan itu? CCTV arah timur gudang penyimpanan menunjukan fakta, jika dia terlihat seperti seorang pencuri yang mengendap-endap di tempat ledakan kemarin pagi. Saat ini pun para polisi sedang mencari keberadaannya. Kebetulan kau sudah pulang dari Indonesia, maka kupikir, kau pasti mengetahui dimana ia tinggal karena kau yang mati-matian merekomendasikan ia pada Ny. Clarinet dua bulan lalu, bukan? Maka sebaiknya, kau bersiap sebagai saksi agar kasus ini menjadi jelas perkaranya.”
Jamie Delamano, sang koki senior di restoran pasta milik Julie Ashley itu. Begitu kuat meyakini, jika musibah yang menimpa seorang koki senior lainnya, Divo Chaniago yang juga adalah sahabatnya itu adalah sebuah sabotase terselubung oleh seseorang yang merupakan musuh dari Delicios La Fonte Resto.
Namun setelah ia melihat bagaimana kemarahan yang tergambar dalam ekspresi tubuh Gishca Maharani, si asisten koki itu? Jamie berusaha menarik benang merah dari bentuk meledakledak yang jarang sekali wanita itu tunjukkan.
Gischa selama ini terlihat sangat lembut terutama di depan Mendingan Ny. Clarinet, ibu kandung Julie Ashley pun, tak jua pernah ia melakukan sebuah kekasaran dengan main hakim sendiri, ketika berada dalam pantry tempat mereka bekerja. Lantas semakin mengusik rasa ketidakwajaran dalam pemikiran sang koki utama. Maka dengan tatapan sinis, sembari merengkuh tubuh Julie Ashlay dalam pelukannya. Sebuah perkataan pedas bagai bom waktu pun kini terurai dari pita suara Jamie.
“Mengapa kau diam saja, Gishca? Bukankah kau sangat menggebu ingin kembali menampar wajah Julie? Apa perkataanku salah? Memang kau kan yang membawa pria b******k bernama Darwin Parkinson itu? Kau mengenalinya dengan sangat, hingga kau bisa mengendalikan orang itu, meski kau memakai alasan pulang ke Indonesia sebagai tameng agar seolah-olah kau tidak terlibat bukan? Harusnya kau sadar siapa wanita yang kau kasari ini, Gishca. Dia anak kandung Mendiang Ny. Clarinet dan seka--”
“Cukkuuppp ... Hiks ... hiks... hiks.... Jangan berpikiran buruk dan berhenti bertengkar, Chef. Aku yang menyuruh pelayan itu masuk ke gudang kemarin pagi untuk mengambil persedian jamur yang hampir habis di pantry. Hiks ... Hiks .... Gishca pantas menamparku karena memang aku yang bersalah, tapi tolong jangan bawa-bawa Mommy-ku dalam hal apa pun lagi. Aku dan Divo menikah karena dia mencintaiku dan aku pun sama, Gishca. Jika kau tak dapat memilikinya, itu semua karena kau tercipta bukan dari tulang rusuk Divo Chaniago. Kami sudah menikah dan saat ini? Kami berdua akan menjadi Mommy & Daddy karena aku sedang mengandung! MAKA JAUHI SUAMIKU, SAAT KALIAN SEDANG BEKERJA DI PANTRY DAN JANGAN BERPIKIR SEOLAH KAU LEBIH MENGENALI DIVO MELEBIHI AKU, ISTRINYA!”