Mengamuk

1520 Words
Wanita yang Diarak Keliling Kampung itu, Istriku Part 9 : Mengamuk Aku masih berdiri di teras dan mendengarkan pembicaraan Ibu dan Paman Asri, dengan pikiran yang tertuju kepada Wenny. Akan tetapi, pembicaraan serius mereka malah tak berlanjut dan terputus begitu saja. Padahal yang kudengar barusan masih belum ada ujungnya. "Arman, kamu di sini?" Ibu yang hendak keluar dari ruman Paman tampak terkejut melihatku. "Iya, sudah sejak tadi. Kalau Arman boleh tahu, permasalahan apa yang tak boleh diceritakan Paman kebenarannya, Bu?" tanyaku dengan tak dapat lagi menyimpan rasa penasaran ini. "Eh, permasalahan apa maksudmu, Man?" Ibu malah membalikkan pertanyaan sambil menggaruk alisnya. Aku masih menatapnya tanpa berkedip. "Oh iya, itu ... permasalahan di kampung almarhum nenekmu dan kamu takkan mengerti, ini urusan orangtua. Ya sudah, ayo kita pulang! Kamu bonceng Ibu, ya, soalnya capek kalau pulang mesti jalan kaki." Ibu terlihat gelagapan lalu melewatiku dan melangkah turun dari teras rumah Paman. Aku membalik badan, masih tak puas dengan jawaban wanita berdaster biru itu. "Ayo, Man, antar Ibu pulang ke rumah kamu! Ibu belum sholat ashar ini." Ibu menoleh ke arahku lalu melangkah cepat menuju motorku yang terparkir di pinggir jalan. Dengan membuang napas kasar, aku melangkah menyusul Ibu. "Benaran ... kalo itu permasalahan keluarga di kampung almarhum nenek? Apa bukan ... kebenaran masalah tuduhan zinah pada Wenny?" tanyaku dengan menyipitkan mata, berharap dugaanku ini salah sebab rasanya malu sekali jika penggerebekan itu adalah ulah paman dan begonya aku malah tak mempercayai Wenny--mantan istriku yang malang. "Apaan sih kamu, Man? Asal tuduh saja! Ini tidak ada sangkut pautnya dengan Wenny, Ibu sudah tak ada urusan lagi dengan dia," jawab Ibu dengan raut masam. Aku masih menatapnya curiga. "Kamu mau antar Ibu pulang atau tidak, Man? Atau mau jadi batu di sini?" Ibu melirikku dengan jengkel. "Ya sudah, ayo!" Aku segera naik ke motor dan menyalakan mesinnya. Ibu naik ke boncengan belakang, lalu memegang pinggangku dan berkata, "Jalan, Man!" "Iya, iya." Aku menghembuskan napas kasar karena masih penasaran akan apa yang dibicarakannya dengan paman tadi. Beberapa menit kemudian, motorku telah tiba di depan rumah dan Ibu segera turun lalu melangkah menuju. "Bu, Arman mau ke rumah Satrio, kami ada janji nyantai sore ini!" ujarku. "Iya, hati-hati!" jawabnya sambil menoleh sekilas kepadaku. Segera kupacu motor menuju rumah kontrakan Satrio--temanku yang memiliki usaha ternak ikan lele dan nila, yang ia distribusikan ke rumah-rumah makan di kota sana. Kukeluarkan ponsel saat tiba di depan rumah kontrakan dengan cat warna biru itu. Panggilan teleponku diabaikan, begiti juga dengan chat. Sepertinya ia sedang pergi ke kota, ya sudahlah, aku akan nyantai sendiri saja. Kupacu motor dengan kecepatan sedang, saat di persimpangan, aku langsung teringat akan Wenny. Sedang apa dia sekarang? Minggu lalu saat aku datang dengan membawa s**u buat ibu hamil juga cemilan, dia mengusirku hingga melemparkan sandal. Ah, Wenny, emosinya benar-benar tidak terkontrol, padahal aku datang dengan niat baik walau status kami kini hanya mantan. Eh, ada apa itu? Aku menghentikan motor di seberang jalan rumah Wenny. Ada mobilnya Fatur di sana, eh ... ada motornya Satrio juga. Ada apa sebenarnya di sana? Dengan rasa penasaran yang sudah di ubun-ubun, segera kubelokkan motor ke perkarangan rumah Wenny. "Ayo, cepat!" "Agghh ... sakit!" "Ayo, Nak!" "Tidak, aku tak mau ke mana pun!" "Nak, ini sudah banyak keluar darah, sepertinya kamu akan segera melahirkan." "Nggak, Bu, belum, Pak RT juga belum datang buat mengarak aku pergi lahiran." "Nak, jangan seperti ini! Kasihan calon bayimu!" Begitulah kisruh yang terdengar di ruang tamu rumah mantan mertuaku. "Digendong paksa saja kali, ya, Pak, Bu." Itu suara Satrio. "Kalau Wenny berontak, bahaya kandungannya." Itu suara Fatur. "Aduuhh ... Wenny ... kenapa kamu kambuh di saat seperti ini." Terdengar tangisan mertuaku. "Buang pisau itu, Nak!" Aku langsung melangkah masuk, tak sabar lagi rasanya kalau hanya mendengarkan obrolan mereka dari teras. Apalagi saat mendengar kata 'pisau' rasa penasaran ini semakin membuncah saja. Ya Allah, banyak bercak darah di lantai. Wenny terlihat duduk di kursi ruang tamu dengan tangan kiri memegangi perut buncitnya, sedangkan tangan kanannya memegang pisau. "Wenny! Sat, kamu ada di sini? Wenny kenapa?" tanyaku panik. "Wenny mau melahirkan, tapi tak mau diajak ke rumah sakit. Dia malah mau membelah perutnya sendiri," jawab Satrio dengan wajah kaget saat melihat kedatanganku di tengah-tengah mereka. "Emangnya sudah sembilan bulan?" tanyaku sambil menghitung jumlah bulannya, kami sudah berpisah kurang lebih 7 bulan, sedangkan kata Fatur saat itu Wenny hamil 1 bulan, jadi kini usia kandungannya baru masuk 8 bulan. Bagaimana mungkin ia sudah mau melahirkan? "Maaf, Pak, kita harus mengatur strategi secepatnya! Bapak harus bisa mengalihkan perhatian Wenny, terus saya yang akan mengambil pisau dari tangannya," ujar Fatur kepada Pak Wanto--ayah Wenny. "Iya, Nak Fatur, saya takut terjadi apa-apa pada calon cucu kembar saya." Pak Wanto mendekati Wenny. "Bapak mau apa? Pergi, jangan dekati aku! Aku wanita kotor, yang tubuhnya sudah ditonton seluruh warga! Aku wanita hina ...." Wenny menangis histeris. "Nak, kamu wanita baik-baik, hanya nasibmu saja sedang tak baik. Percayalah, di setiap ujian pahit dari Allah, pasti akan ada hikmah di baliknya." Pak Wanto terlihat mendekati putri keduanya itu. "Bapak jangan mendekat, aku sedang menunggu Pak RT yang maha suci itu. Dia akan datang sebentar lagi!" teriak Wenny lagi sambil mengacungkan pisaunya ke arah Pak Wanto. "Pak RT takkan datang ke sini, Nak, ayo kita segera ke rumah sakit!" bujuk Pak Wanto lagi sambil duduk di dekat Wenny. "Ti--tidak! Aghh!" Wanny kembali berteriak saat Fatur berhasil melepaskan pisau dari tangan Wenny dan menendangnya ke bawa meja di pojokan. "Ayo, Pak!" Fatur menoleh ke Pak Wanto. Pak Wanto berusaha memapah Wenny yang masih berusaha melakukan perlawanan. Fatur terlihat kebingungan untuk menyentuh mantan istriku itu. "Biar saya yang menggendong Wenny ke mobil Fatur!" Aku segera mendekat dan meraih Wenny ke dalam gendonganku. Wenny memang sedang hamil gede, namun tubuhnya malah terlihat kurus dengan wajah yang pucat. Aku turut andil dalam kesusahannya sekarang. "Tak perlu, Man, kamu bukan siapa-siapa Wenny lagi!" Pak Wanto melototiku. "Keadaan Wenny sedang darutat, Pak, tolong jangan menolak bantuan saya!" ujarku. Pak Wanto masih melototiku. "Pak, sudahlah! Wenny harus segera dibawa ke rumah sakit." Bu Wati--mantan ibu mertuaku itu berbicara kepada suaminya. Fatur segera berlari keluar dan aku langsung membalikkan badan dengan cepat lalu melangkah keluar. Wenny mencoba berontak dari gendonganku, tapi sekuat tenaga aku tetap menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Bu Wati dan Pak Wanto masuk duluan ke dalam mobil Fatur, dan langsung membaringkan Wenny di pangkuan ibunya. Fatur masuk ke dalam mobilnya, aku segera menutup pintu kendaraan berwarna silver itu. "Segera bawa Wenny ke rumah sakit terdekat, Fatur! Aku akan mengikuti kalian pakai motorku!" ujarku kepada Fatur. Pria dengan sisiran belah samping itu mengangguk dan mulai menyalakan mesin mobil. Aku segera berlari menuju motorku, dan Satrio juga. Aku belum sempat bertanya tentang tujuan keberadaannya di sini. Awas saja, kalau dia mencoba menyimpan rahasia dariku. Aku mulai memacu motor mengikuti mobil Fatur di depan sana, sedangkan Satrio terlihat mengiringi di belakangku. Agh, dia tak berani untuk melaju di sebelahku. Biasanya saja akan mengendarai motor dengan bersampingan. Ini pasti ada apa-apanya? Jangan sampai dia naksir Wenny dan ingin merebut posisiku di hati Wenny, aku takkan membiarkannya! *** Setengah jam kemudian, kami sudah berada di depan ruang operasi. Saat tiba di IGD, pendarahan yang dialami Wenny semakin parah sehingga bayinya harus segera dilahirkan walau usia kandungannya baru masuk delapan bulan. Pak Wanto dan Bu Wati terlihat, begitu juga Fatur--teman Wenny dari SMA itu. Entah sedekat apa mereka dulu, hati ini jadi panas membayangkannya. Satrio, dia juga terlihat cemas dan tak berani duduk di dekatku. Heran juga, kenapa dia bisa sok sedih begitu? Padahal Wenny istriku, hmm ... aku akan rujuk dengannya setelah melihat hasil test DNA nanti. "Maaf, suaminya Ibu Wenny mana, ya? Kami harus meminta izin melakukan tindakan?" Seorang perawat keluar dari ruang operasi. "Saya suaminya!" ujarku sambil melangkah cepat ke arah sang perawat. "Saya calon suaminya!" Fatur juga mendekat. Perawat terlihat kebingungan. Aku menyikut kesal pria yang di sampingku, yang sok-sokan mengakui Wenny sebagai calon istrinya. Bukankah mereka hanya berteman? Lalu kenapa sembarangan mengaku begini? Untuk beberapa saat, kami saling tatap sengit. "Suster, Wenny putri saya sudah janda. Jadi, saya yang akan bertanggung jawab. Anda minta persetujuan untuk tindakan apa?" Pak Wanto mendekat. "Baiklah, Pak. Silakan tanda tangani surat ini! Maaf, dokter hanya bisa menyelamatkan salah satu saja. Bu Wenny atau bayi kembarnya?" Sang perawat terdengar berbicara pelan sambil sedikit menjauh dari kami. Ya Tuhan, Wenny, istriku yang malang! Hati ini terasa nyeri mendengar perkataan sang perawat. Aku ingin bayi kembar itu, tapi juga menginginkan keselamatan Wenny. Bagaimana ini? Kenapa tak coba diselamatkan ketiganya saja! "Selamatkan Wenny--putri saya!" Terdengar suara dari Pak Wanto, ia juga terlihat menandatangani sebuah selembar surat. "Suster, kenapa tak dicoba diselamatkan ketiga-tiganya saja ... Wenny dan dua anak kembar kami .... " ujarku sambil mendekat. "Maaf, Pak, Dokter tak mau mengambil resiko sebab kalau gagal, maka ibu dan dua calon anak kembarnya takkan bisa diselamatkan. Ya sudah, saya masuk dulu. Mohon doanya saja." Perawat itu segera berlari menuju pintu ruangan operasi. Perasaanku jadi campur aduk sekarang, sedih, kecewa, hancur juga merana. Apa jadinya Wenny saat tahu dua anak kembarnya tak bisa diselamatkan? Pastinya ia akan semakin depresi, dan aku takkan punya alasan buat rujuk dengannya. Bagaimana ini? Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD