Wanita yang Diarak Keliling Kampung itu, Istriku
Part 4 : Rumah Pak RT
Karena berita meninggalnya Pak Bani, mau tak mau, pengusutan atas asal mula penggerebekan Wenny kutunda dulu, hingga suasana agak tenang, walau perasaan semakin tak tenang saja jika teringat kata-kata Bu Wati--mantan mertuaku, yang mengatakan kalau semua yang terjadi malam itu hanyalah fitnah.
Kuhela napas panjang dan membuangnya dengan kasar. Andai Wenny memang benar berselingkuh, maka tindakanku sekarang adalah suatu kebodohan karena masih berharap kalau kejadian malam itu tidaklah benar.
Akan tetapi, jika kejadian malam itu adalah fitnah semata, maka aku takkan bisa tenang sebelum meraih maaf Wenny dan artinya ... dia sedang mengandung anakku. Ya Tuhan, apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa semua ini masih saja memenuhi isi kepalaku.
Setelah lama duduk termenung seorang diri di ruang tamu, kuputuskan untuk tidur saja. Semangat hidupku memang sudah mengendor pasca perpisahanku dengan Wenny, apalagi aku belum bisa sama sekali move on darinya.
***
Seminggu berlalu, hidupku masih saja hampa seperti kemarin-kemarin. Di kepalaku hanya ada Wenny saja. Tiba-tiba, ponselku bergetar dan ada sebuah chat yang masuk. Ini dari Satrio.
[Man, segera ke sini, ke rumah Pak RT. Di sini juga ada Pak Hansip Jaya, ini momen yang pas untuk kamu menanyakan asal-muasal penggerebekan Wenny malam itu.]
Setelah membaca chat dari Satrio, segera kuraih kunci motor di atas meja dan bergegas keluar dari rumah. Pokoknya hari ini semuanya harus terungkap, agar aku bisa tenang. Andai Wenny nyata berselingkuh, maka aku takkan mengenangnya lagi. Akan kukubur semua kenangan tentangnya dan melupakannya.
Tak perlu menempuh waktu lama, aku telah tiba di depan rumah Pak RT. Kulihat motor Satrio juga ada di sini, entah apa urusannya di sini?
"Assalammualaikum." Aku mengucap salam ketika berdiri di depan rumah sepupu dari ibuku itu, yang kadang kupanggil paman, kadang juga Pak RT.
"Waalaikumsalam." Pak RT dan Pak Hansip Jaya menjawab serentak sambil menoleh ke arahku, raut wajah keduanya terlihat kaget.
Aku langsung melangkah masuk dan duduk di dekat mereka walau tak dipersilakan terlebih dahulu.
"Kebetulan ada Pak Hansip Jaya dan Pak RT, ada sesuatu yang mengganjal hati, yang ingin saya luruskan." Aku langsung memulai pembicaraan.
"Hmm ... ada apa, Man?" Pak RT yang merangkap sebagai pamanku itu menoleh ke arahku.
"Sepertinya ada pembicaraan serius ini, saya permisi deh Pak RT. Saya cuma mau antar uang kontrakan saja. Man, aku tunggu kamu di luar, ya, pulang dari sini aku mau ngajakin kamu nyantai minum kopi." Satrio bangkit dari sofa ruang tamu dan menyalami Pak RT juga Pak Hansip.
Aku mengangguk dan membiarkan temanku itu menunggu di luar. Ia pasti sengaja melakukan ini, agar kami bertiga bisa mengobrol leluasa.
"Baiklah, saya langsung saja ke topik utama yaitu permasalahan penggerebekan Wenny lima bulan yang lalu. Menurut info, yang saya dapat, katanya Pak Jaya dan almarhum Pak Bani yang disuruh mengintai Wenny. Lalu, bagaimana suasana pengintaian malam itu? Apa mereka bertamu dengan pintu tertutup? Apa pintunya diketuk atau langsung didobrak atau bagaimana? Saya mohon, ceritakan semuanya dengan jujur!" Aku menatap mereka bergantian.
Pak Hansip Jaya terlihat menyeka keringat, sedangkan Pak RT, ia juga terlihat gelisah sejak awal permulaan aku berbicara.
"Saya memang sudah resmi bercerai dengan Wenny, tapi entah kenapa juga ... saya merasa tak tenang akan perpisahan ini, seperti ada yang mengganjal di hati. Apakah tindakan saya sudah benar atau ... salah?" Aku masih menunggu jawaban dari keduanya.
"Tindakanmu sudah sangat benar, Man, wanita tukang selingkuh memang wajib diceraikan!" Pak RT menatapku sambil melipat kedua tangannya di d**a.
"Kalau Wenny memang terbukti berselingkuh, maka saya akan tenang melepasnya, Paman. Maka dengan itu, ceritakan awal mula penggerebekan itu!" Aku menghela napas berat.
"Begini ceritanya, Man--"
"Biar aku yang menceritakan semuanya, Jaya, kamu diam saja!" Pak RT tiba-tiba membentak hansip bertubuh kurus itu.
Pak Jaya langsung terdiam, dan aku mulai mencium keanehan di sini. Kenapa Pak RT terlihat marah begitu?
"Paman, biarkan Pak Jaya yang bercerita!" Aku menoleh ke arah sepupu dari ibuku itu.
"Biar aku saja yang bercerita!" Pak RT yang merangkap sebagai pamanku itu ngotot, ia sampai memukul meja dengan wajah yang memerah.
"Tapi ... Paman ... aku ingin mendengar cerita dari Pak Hansip Jaya .... " Aku menatap kesal pria berkumis tebal dengan raut wajah merah padam itu.
"Akulah yang paling tahu, Arman, jadi akulah yang akan menceritakan semuanya secara detail!" Paman Asri ngotot.
Aku mengusap wajah kesal karena Pak RT yang merangkap pamanku menampakkan wajah masam juga memaksa, tapi melihatnya yang seperti itu, aku jadi malas menghentikannya.
"Malam itu, almarhum Pak Bani dan Pak Jaya yang sedang mengetuk pintu di mana mantan istrimu dan pria itu sedang berada, tapi tidak dibuka. Lalu aku datang dan menyuruh mendobrak saja sebab dari arah dalam sana terdengar suara desahan juga erangan kenikmatan, dan ketika kami dobrak, mereka sedang bergumul di atas sofa. Begitulah ceritanya, jadi akulah saksinya kalau Wenny benar berzinah!" Pak RT bercerita dengan berapi-api.
Aku mengerutkan dahi, perkataan Pak Yahya yang pertama kutanyai berbeda dengan cerita dari Pak RT alias Paman Asri. Baiklah, aku kusimpan dulu dua cerita ini dan akan menanyai Pak Hansip Jaya di lain hari.
"Oh begitu, jadi Paman Asri saksi mata kejadian itu?" Aku menatapnya tajam.
"Iya, aku saksinya." Dia menjawab mantap.
"Baiklah, jika ceritanya demikian. Saya permisi." Aku segera bangkit dari sofa ruang tamu rumah pamanku itu.
Satrio yang masih menungguku di teras, segera bangkit dari kursinya.
"Gimana?" tanyanya.
"Ayo, kita pergi!" Kutepuk pundaknya lalu mengajak temanku itu mengambil motor kami.
Aku naik ke motor, Satrio pun naik ke motornya. Kami lantas melaju keluar dari perkarangan rumah Pak RT.
"Kita berhenti di sini, kita tunggu Pak Jaya lewat." Aku berhenti di persimpangan.
"Emangnya kenapa tadi?" Satrio ikutan memarkirkan motornya di sebelahku.
"Nanti deh kuceritakan kalo udah di rumah saja." Aku mematikan mesin motor.
Sepuluh menit kemudian, pria bertubuh kurus dengan pakaian hansip berwarna hijau itu datang dengan motor maticnya hendak berbelok di persimpangan. Aku langsung mencegat dan memberhentikan motor si hansip.
"Eh, Mas Arman, ada apa ini?" tanyanya bingung.
"Hmm ... bisa kita bicara sebentar?" tanyaku.
"Ada apa, ya, Mas Arman?" Pak Jaya terlihat pucat.
"Saya masih penasaran akan cerita dari Pak Jaya, bagaimana kejadian sebenarnya?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Hmm ... anu ... itu .... " Pak Jaya menggaruk dahinya.
Bersambung ....