part 1: Bukan aku
Karena aku tak mampu, bukan tak mau. Menunggumu bukan lagi kuasaku. Maka melepaskanmu adalah pilhan terakhirku. Maaf, karena aku sudah menggapainya namun tak bisa melepas genggamanmu. ~izza~
***
Dzawin berlari, menghambur meninggalkan kamar. Dengan tergopoh-gopoh, ia menuju kamar mandi. Suara uminya masih menggelegar memecah keheningan dan tidur lelapnya.
“Ini perjaka, bujangan pemalas. Adzan subuh sudah dari tadi, dibanguni pelan-pelan, diketuk pintu, masih bandel aja. Alarm bunyi dari jam empat, Win. Kupingmu masih berfungsi, kan? Umi sama abah sudah pulang dari masjid, masih aja molor kaya kebo!” omelan umi, membuat suasana riuh pagi itu. Dzawin yang tergopoh keluar kamar mandi masih sempat mendapat satu sabetan sajadah dari uminya.
Dzawin berlari meninggalkan uminya yang masih menyisakan sedikit emosi. Ditutup pintu kamarnya, dan mulailah Dzawin sholat subuh di atas sajadah yang belum digulungnya usai tahajudnya yang panjang malam ini.
Sedangkan di luar. Uminya mengelus d**a. Umi tahu, bahwa Dzawin menangis semalaman dalam doa-doanya. Dzawin larut dalam sujud, doa dan kesedihan yang dalam. Umi dan abii saling berpandangan. Saling bercerita dalam diamnya. Mereka tahu, sedalam apa duka yang sedang menindih d**a Dzawin. Duka yang disimpan Dzawin dalam senyum. Duka yang diselimuti Dzawin dengan canda dan tawa lebar setiap hari. Maka sikap umi dan abi hanya mengikuti, memasang topeng acuh di balik gelisah karena duka yang merundung sang putra tak kunjung usai.
Sesudah sholat, Dzawin kembali melantunkan doa, menenggelamkan dirinya dalam duka. Namun kali ini tanpa air mata.
Dzawin sudah tiga minggu ini melakukan hal-hal itu. Menagis dalam sendiri, lalu bersikap seperti musang belingsatan saat di luar. Ia tidak ingin membuat keluarganya ikut merasakan dukanya. Meski seisi rumah tahu, Dzawin sedang berusah menutupi dukanya.
Seusai doanya, Dzawin kembali menghadap PC-nya. Diketik beberapa kalimat, lalu di hapus. Diketik lagi lalu dihapus lagi. Begitulah. Dzawin sedang dikejar deadline pekerjaan. Namun idenya buntu. Satu jam, dan Dzawin hanya mengertik dan menghapus kata yang sama.
“Izzatul Muna, Izzzatul Muna, Izzatul Muna”
Begitu berulang, dan Dzawin tidak tahu lagi harus menulis apa.
“Dzawin!!! Sarapan” teriak Maira dari dapur.
Dzawin menghela napas panjang. Di hisapnya seluruh duka yang sedari semalam ia tabur menghambur didalam kamarnya. Diangkanya kedua tangan tinggi-tinggi. Diusap mukanya dan sekali lagi dihela napasnya panjang. Dzawin ingin kembali jadi ia yang biasanya. Belingsatan. Maira memandangnya dari luar kamar, sebagai saudara kembar, Maira tahu betul itu ritual mengusir duka, begitu Dzawin selalu bilang. Dzawin berbalik badan dan tersenyum. Didapatinya saudari kembarnya itu di tengah pintu.
“Apa sih?” kata Dzawin sambil menepuk pipi Maira. Seolah bilang “gue gak apa-apa” begitu juga maira. Ditepuknya perut Dzawin, seolah bilang “gue tahu yang lo rasaian”
Dzawin siap memasang senyum lebar selebar pintu gerbang rumahnya.
“Umii, morning.. abii, morning!” seru Dzawin sambil mencium pipi kedua orang tuanya.
“Umi belum kelar marah, ye! Lu, dibangunin susah banget. Kalo tidur jangan lama-lama. Nggak malu ape ame ayam di luar, noh! Kalau mau begadang kira-kira. Jangan setiap hari juga. Lembur ya lembur, tapi ingat kesehatan. Eling sama ibadah.!” Umi nyerocos, sedang Dzawin sudah menghabiskan seperempat piring nasi gorengnya.
“Set dah ni anak. Umi ngomong malah makan mulu. Dengerin napa, ha?”
“Yaelah, mi! dengerin tuhkan pake telinga, makan kan pake mulut. Gak saling ngeganggu kali, mi!” seru Dzawin sambil terus menelan makanannya.
“Udah, dong. Sarapan dulu yang tenag. Brisik banget.” Abi Dzawin menengahi. Umi memang hanya mendengar kata-kata abi. Maka duduklah umi dengan tenang sambil memandangi kedua anaknya yang tersisa di rumah.
*Tiga Minggu Yang Lalu*
“Abang!” seru suara di seberang telphone. Dzawin tahu, nada menggoda itu akan diikuti permintaan yang sulit dipenuhi.
“Abang!” seru manja suara diseberang kembali terdengar. Dzawin menghela napas sambil tersenyum, dia paling tak tahan mendengar suara semanja itu.
“Iya, Izza yang manis. Tapi abang harus nyelesain nih kerjaan baru bisa jemput Izza” Dzawin mencoba meyakinkan. Sebenarnya Dzawin pun tak tahan memendam rindu. Sudah dua minggu ini Dzawin tak bertemu pujaan hatinya itu.
“Abaaang!” seru manja itu kembali bergaung dengan mesra menggetarkan setiap syaraf bahagia Dzawin, sambil menjatuhkan kepalanya di meja, Dzawin ikut menggeliat mendengar rayuan manja itu.
“iya, iya. Nih di shut down dulu ya komputernya” dinding pertahanan Dzawin jebol. Ia tak kuasa lagi menangani Izza. Dibereskan semua yang ada di mejanya. Dimasukkan kursi kerjanya ke kolong meja, lalu disempatkan menebas sajadah yang yang sempat jatuh lalu menggantungkan kembali di sandaran kursinya. Diamati sekli lagi apa yang belum sempat ia bereskan. Ditengok sekali lagi sebelum beranjak pergi.
Di sepanjang perjalanan, handphone Dzawin terus berderat. Tanda notifikasi pesan terus masuk. Sekilas dia melihat nama-nama pengirim pesan. Izza mengirim beberapa pesan, Maira, dan beberapa rekan kerja. Diabaikan semua pesan, karena dia merasa harus menyetir dengan aman.
Sesampainya di tempat Izza menunggu, Dzawin tak bergegas keluar, ia sempatkan melihat beberapa pesan masuk. Dzawin tersenyum-senyum membaca pesan Izza yang dipenuhi kemanjaan dan ke ceriaan.. beberapa pesan lain juga turut dibaca. Sambil terus membaca, Dzawin melangkah keluar mobilnya. Entah dilangkah keberapa, Dzawin tertegun membeca pesan dari sahabat lamanya.
*Zaky*
Assalamualaykum, Akhi.
Begitu pesan Zaky di halaman awal saat Dzawin membuka.
Insyaalloh minggu depan ana mau melaksanakan walimatul ’ursy. Datang ya… nih undangannya. Bawa juga calon ente. Pengin kenal ana.
Begitu pesan kawannya itu disertai foto undangan pernikahan karibnya tersebut. Dzawin melanjutkan langkahnya sambil menunggu gambar terunduh. Mata Dzawin teralihkan saat Izza dengan senyum lebarnya melambaikan tangan menyapa Dzawin sambil setengah berteriak.
Tepat didepan Izza, sesaat sesudah menarik kursi sebelum duduk Dzawin membuka gambar yang telah terunduh. Dzawin terdiam. Ia mematung tak bergerak. Sedikit menghentak, begitu cara Dzawin duduk. Dia mencermati semua tulisan yang ia baca dalam undangan tersebut. Izza masih menceritakan banyak hal, namun Dzawin masih menekuri dan mencerna.
Izza yang masih terus bicara seketika diam saat Dzawin mengangkat tangannya. Izza tahu, itu artinya dia harus diam. Dzawin membuka kontak dan menghubungi Zaky
Assalamualaykum, akhi. Suara Dzawin parau menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokannya.
Waalaykum salam, waah langsung nelfon. Sampai kaget ana. Gimana? Datangkan? Acara anna gak akan sempurna tanpe ente, datang ya?. Dengan sumringahnya Zaky mengangkat telefon.
Hehe, bentar, siap calonnya? Rasa penasaran memenuhi semua bagian otak Dzawin saat ini.
Izza, Izzatul Muna. Adik kelas kita sepondok dulu. Anak pak yai.
Tadinya ana juga nggak tau, win. Tiga bulan lalu, Ana disuruh pulang dari kairo, trus di ajak ngelamar sekaligus akadnya. Jadi ya ana turutin aja.. lagian, siapa yang bisa menolak Izza, manis. Insyaalloh sholihah. Seloroh Zaky dengan penuh keriangan tanpa tahu apa yang sedang mendera hidup Dzawin saat ini.
Emmm, insyaalloh ana usahain. Tapi nggak janji bawa calon itu ya.. Dzawin terkekeh. Senyum Dzawin getir. Bagaimana bisa. Mata Dzawin memerah menahan marah. Tangannya mengepal. Hatinya beristghfar. Ia mencoba menahan sebisa mungkin supaya orang diseberang sana tak mendeteksi kemurkaannya.
Ya udah, selamat ya akh. Barokallu laka wa baroka ‘alayka wa jama’a bayna kuma bi khoir. Setelah menarik napas panjang, doa tulus itu ia sematkan.
Assalamualaykum. Sambung Dzawin tanpa menunggu jawaban
Raut muka Dzawin kini menjadi semasam cuka. Dipandangya lekat-lekat wanita berkerudung hitam di depannya ini.
’’Jadi, sejak kapan?’’ Dzawin berusaha menahan kata-katanya.
Izza belum menyadari perubahan suasana hati Dzawin.
’’ Sudah dari tadi, bang. Izza sudah nunggu lama’’ Dzawin masih menahan. Napasnya berat dan panas. ia merasakan kepalanya berdenyut menahan marah. Mimik wajahnya sudah sangat berubah. Izza mulai menyadari itu. Izzaa menarik tangannya ke bawah meja.
’’Sejak kapan??’’ tanya Dzawin untuk kali ke dua
Izza meremas –remas tangannya. Mulai merasa cemas. Izza mendadak kelu. Menebak-nebak apa yang telah diketahui Dzawin. Dzawin tak ingin berlama-lama. Ia tahu diri akan banyak hal buruk yang akan ia katakan jika ia terus berbicara pada Izza. Diambil telphon genggamnya, di buka pesan yang ia terima dari Zaky, pesan gambar itu ia teruskan pada nomor ponsel gadis di seberangnya itu.
Izza membuka ponselnya yang sedari tadi memang berada di atas meja di depannya. Izza terdiam, air matanya mulai mengalir membasahai pipi dan mulai merambat ke jilbab hitam yang menjulur di dadanya.
’’Sebenarnya Izza pingin ngomong sama abang’’ kalimat itu tetiba muncul di sela-sela air mata. Dzawin tak tahan. Ia berdiri dan meninggalkan Izza yang belum menyelesaikan penjelasannya.
Dzawin berjalan menuju mobilnya di halaman restoran itu. Sementara Izza tak sanggup berdiri. Ia menangis sejadi—jadinya. Meratapi kebodohannya.