H.F -(BAB 3)-

2381 Words
      Setelah sekian lama tidur, akhirnya Meihua terbangun. Gadis itu menggeliat manja, dan mengucek bagian matanya. Ia menatap kiri dan kanan, sepertinya sudah tidak ada orang lagi di ruang UKS, dan itu membuatnya senang.    Meihua benci berada di dekat banyak orang, jika ia diminta memilih, maka berada sendirian di tengah hutan jauh lebih baik. Jika bukan karena penyelidikannya, ia juga enggan masuk ke tempat seperti ini.    Meihua adalah anak Camilla Malaike dan Danieru Malaike, ia dipaksa oleh kedua orang tuanya untuk menerima perjodohan dengan seorang pemuda, dan sialnya tidak ada jalan untuk menolak.    Meihua tak mengerti mengapa kedua orang tuanya mengambil keputusan demikian, yang jelas kedua orang tersebut mengatakan jika jodoh yang mereka pilihkan adalah orang yang sangat baik.    Oh Tuhan ... bagaimana pola pikir orang tuanya? Kenapa harus mengatur perjodohan untuknya seperti ini?    Meihua yang menolak mentah-mentah mengatakan jika ia akan mencari sisi buruk dari pilihan kedua orang tuanya, tibalah dia di Hongkong, dan masuk pula ia ke sekolah elit yang menjadi petunjuk satu-satunya tentang pemuda itu.    Untuk masuk ke sekolah ini Meihua terpaksa harus mengeluarkan semua kemampuannya. Otaknya benar-benar dikuras untuk mengikuti program beasiswa, sedangkan uang tabungannya ia habiskan untuk mendapatkan identitas palsu.    Tidak ada bantuan apa pun yang Meihua dapat dari kedua orang tuanya selain apartemen kecil di daerah yang lumayan kumuh, ia juga tak berharap banyak kepada keduanya.    Memikirkannya saja sudah membuat Meihua kesal. Siapa pemuda yang berhasil merebut hati ayah dan ibunya, berasal dari keluarga mana pemuda itu, sehebat apa dan ... sudahlah, itu tak penting untuk dibahas saat ini. Yang jelas Meihua akan membuktikan jika pilihan kedua orang tuanya bukan yang terbaik.    Gadis itu kemudian memeriksa ponselnya, ia melihat jam pada ponsel tersebut. Sial ... sekarang sudah waktu ia meninggalkan sekolah dan pergi bekerja, jam pulang sekolah juga sudah terlewati beberapa menit lalu. Ia harus punya uang untuk membeli makanan, dan membuktikan kepada orang tuanya jika ia bukan gadis yang manja.    Sudah dua bulan Meihua berada di Hongkong, dan dua bulan itu pula ia bekerja pada salah satu minimarket di dekat tempatnya tinggal. Beruntung pemilik tempat itu seorang wanita tua yang baik, tetapi jika hati sang pemilik tempat tidak dalam suasana yang nyaman, maka sepanjang waktu akan selalu ada omelan-omelan pedas membosankan.    Meihua segera beranjak dari tempatnya beristirahat, ia melangkah cepat ke arah pintu, dan langsung membuka pintu itu. Tetapi ia tertimpa kesialan, ketika ia baru saja keluar seseorang dari arah timur dengan cepat berlari.    Brak ...    “A-akh ....” Meihua terjatuh di atas lantai dengan posisi berbaring, ia membuka mata dan terkaget. Saat ini ada seorang pemuda yang nyaris menindih tubuhnya, dan dengan cepat Meihua menatap ke samping kanan. Huh ... beruntung saja tangan orang itu menahan tubuhnya agar tak menindih Meihua.    Meihua kembali memfokuskan tatapannya, ia menelan ludahnya kasar. Sial ... kenapa begitu dekat? Dan ... dan kenapa pemuda itu tidak segera menyingkir dari atas tubuhnya.    “Kenapa kau masih berada di atas tubuhku?” tanya Meihua dengan nada datar. Ia mati-matian menahan diri agar tak berteriak, tenang ... ia harus tetap menjaga image dingin dan galak agar tak ada yang mengganggunya.    “Dan kenapa kau berada di bawah tubuhku? Cepat menyingkir, aku sedang buru-buru.” Pemuda itu tanpa rasa bersalah malah balik memerintah Meihua, ia tak ingin mengalah dan mendapat tekanan dari orang lain.    Mendengar ucapan pemuda itu, membuat Meihua merasa kesal. Ia segera mendorong tubuh pemuda tadi, tetapi pemuda itu dengan sengaja semakin mendekatkan wajahnya pada Meihua.    Gerakan tangan Meihua terhenti, ia menelan ludahnya kembali dan menahan napas.    “Cepat menyingkir,” ujar pemuda itu.    “Dasar bodoh! Bagaimana aku bisa bergerak jika kau berada di atas tubuhku?” tanya Meihua dengan tatapan mata tajam, wajahnya sudah terlihat begitu kesal.    Pemuda itu mengedipkan kedua matanya beberapa kali. “Itu penderitaanmu, yang jelas kau harus segera menyingkir dari bawah tubuhku.”    Mendengar hal tersebut membuat emosi Meihua melonjak tajam, ia mengangkat kepalanya cepat dan menghantam kepala pemuda itu. Sakit memang, tapi berhasil membuat sang pemuda menyingkir dari atas tubuhnya.    “Ahhh ... ternyata ada kucing liar yang berani menyakitiku.” Pemuda itu duduk, ia menyeka darah yang keluar dari hidungnya. Kepala Meihua tepat menghantam bagian hidung, dan membuat darah merembes dari sana.    “Apa katamu?” tanya Meihua dengan cepat, ia baru saja disebut-sebut sebagai kucing liar, dan itu sebuah penghinaan besar. Ia manusia, bukan hewan liar.    “Kucing liar,” ujar pemuda itu tanpa rasa takut. Ia menatap mata Meihua, dan terlihat tidak takut sama sekali kepada gadis itu.    Meihua segera menjambak rambut pemuda itu, ia menariknya sekuat mungkin.    “Aaaaa ... lepaskan! Apa yang kau lakukan? Lepaskan!” pemuda itu memegang tangan Meihua yang masih menyerang bagian kepalanya. Ia meringis, sedangkan gadis bar-bar itu terus melakukan kekejaman padanya.    Meihua tak peduli, ia benar-benar tak bisa menahan diri untuk saat ini. Pemuda sialan itu sejak tadi terus memancing emosinya, dan sekarang waktunya melakukan pembalasan.    “Lepaskan! Aaaakkh ... gadis gila, kau membuat tatanan rambutku rusak!”    Meihua dengan cepat melepaskan jambakan pada rambut pemuda itu, sedangkan pemuda itu membelalakkan matanya. Ia tak menyangka jika ada gadis segila itu, dan ia tak menyangka jika dirinya akan tertimpa kesialan hari ini.    Meihua yang melihat korbannya kesakitan lekas berdiri, ia juga tak peduli dan langsung beranjak pergi. Tak ada waktu untuk melayani pemuda yang ingin mencari masalah dengannya, jika ia terlambat, maka semuanya akan semakin sulit.    Tetapi ... langkah kaki Meihua segera terhenti, ia kembali menatap ke arah tempat kejadian tadi dan membelalakkan mata. Ponselnya tertinggal di sana, beruntung saja ia lumayan sadar jika ada yang tak beres.    Gadis itu segera berbalik arah, ia melangkah agak cepat dan memungut ponselnya. Matanya kembali menatap pemuda menyebalkan yang masih duduk. Tanpa pikir panjang, Meihua kembali beranjak pergi.    Pemuda yang menjadi korban keganasan Meihua menatap bingung, ia tak menyangka jika gadis aneh itu hanya kembali untuk memungut ponsel dan tidak mengatakan apa pun padanya.    “Gadis itu ... astaga, bagaimana ia tak mengatakan apa pun? Benar-benar keterlaluan!” ujar pemuda tersebut.    Merasa diabaikan oleh Meihua, pemuda itu segera berdiri. Sambil menyeka hidungnya yang masih mengeluarkan darah segar ia berlari mengejar Meihua. Tetapi sial ... gadis itu sudah begitu jauh, ditambah lagi terlihat melangkah cepat.    “Hei ... tunggu!” serunya agak keras. Ia semakin cepat melangkah, berharap bisa menyusul.    “Aaaahhhh ... menyebalkan, dia berjalan sangat cepat.” Pemuda itu berhenti melangkah, napasnya tersengal lelah, belum lagi rasa nyeri masih terasa pada hidungnya.    Tetapi, setelah beberapa detik berlalu ia malah tersenyum. Tiba-tiba saja ada ide brilian yang menyinari bagian gelap otaknya, dan entah kenapa ... sepertinya ia akan mendapatkan hiburan baru.    Pemuda itu segera melangkah, ia harus membersihkan darah pada hidungnya di kamar mandi, lalu setelah itu mengumpul informasi.    ...    Meihua sedang berada di tempatnya bekerja, ia terlihat berdiri di belakang meja kasir dan mengurusi beberapa pembeli yang membayar barang padanya. Tiga puluh menit lalu ia tiba, dan untung saja tidak terlambat. Jika saja itu terjadi, sudah dipastikan sang atasan akan menceramahinya dengan kata-kata pedas.    Gadis itu tersenyum ramah saat melayani pelanggan, tutur bahasanya juga sangat lembut. Hal itulah yang menjadi daya tarik Meihua bagi beberapa orang yang bekerja satu tempat dengannya, atau berada di sekitarnya.    Hari ini Meihua bekerja bersama Fen, sedangkan mereka yang lain sudah kembali ke rumah masing-masing. Untuk jadwal kerja Meihua dan Fen akan berakhir pada pukul dua belas malam, selalu begitu setiap hari.    “Meihua, apa kau sudah makan?” tanya Fen. Ia melangkah ke arah Meihua yang sedang mengembalikan sisa uang pembeli.    Meihua tidak langsung menjawab, ia memberikan uang kembali kepada sang pembeli. Tidak lupa ia kembali tersenyum, dan merasa lega saat pembeli itu segera berjalan ke pintu keluar bersama barang belanjaannya.    Meihua kemudian menatap temannya di tempat kerja. “Belum, aku akan makan setelah kembali ke apartemen.”    Mendengar jawaban Meihua membuat teman kerjanya sedikit menghela napas. “Aku akan membeli makanan keluar, jika kau lapar katakan saja. Aku yang akan membayarnya, kau mengerti?”    Mendengar penawaran teman kerjanya membuat Meihua menganggukkan kepala. “Jadi, apa kau sedang punya banyak uang sekarang?”    “Ya ... begitulah, temanku baru saja membayar hutangnya padaku.” Fen tertawa kecil, ia terlihat semakin manis. Rambutnya berwarna hitam pekat, wajahnya juga cantik dan manis.    Meihua hanya menganggukkan kepala, memang ... di antara sekian banyak orang yang mengenalnya, Fen adalah yang terbaik. Gadis itu dua tahun lebih tua darinya, dan Meihua sudah menganggapnya sebagai seorang kakak.    “Jadi, kau ingin makanan apa?” tanya Fen lagi. Gadis itu terlihat tak sabar dengan jawaban Meihua.    “Apa saja, asal kau ikhlas memberikannya untukku,” balas Meihua.    Fen yang mendengar jawaban Meihua bersedekap, ia tak suka jawaban itu.    “Fen, kenapa kau malah menatapku? Bukankah kau ingin membeli makanan?” tanya Meihua dengan wajah tanpa dosa.    “Sebutkan makanan pesananmu, aku tak akan pergi jika kau belum menyebutkannya.” Fen terlihat serius, ia tak ingin membeli makanan yang tidak Meihua inginkan.    Meihua yang mendengar ucapan Fen menghela napas. Ia kemudian memutar otaknya, memikirkan makanan seperti apa yang bisa dinikmati malam ini.    “Ayo, makanan apa yang kau inginkan malam ini?” tanya Fen tak sabar, ia menatap Meihua dengan mata berbinar. Sejak bertemu dengan Meihua, ia menjadi orang yang sering sekali bicara, mungkin itu karena nasibnya dan Meihua sama, dan mereka juga bekerja pada tempat yang sama.    Fen adalah seorang murid Sekolah Menengah Atas, ia akan menghadapi ujian tahun ini, tetapi ia tak yakin setelah lulus bisa melanjutkan pendidikan. Jujur saja, selama ini ia membiayai sekolahnya sendiri, dan itu karena orang tuanya tidak mampu.    Fen sudah bekerja cukup lama di tempat itu, otaknya lumayan pintar, dan karena hal itu pula ia mendapat sedikit bantuan dari sekolah tempatnya belajar. Beruntung saja Fen rajin menabung, dan bisa menyisihkan uangnya dengan sangat baik.    “Meihua ... cepat katakan!”    “Lo Mai Gai, aku sedang menginginkannya sekarang.” Lo Mai Gai yaitu makanan khas Hongkong, makanan ini berisi ketan kukus yang berisi daging dan kacang yang dibungkus dengan daun teratai.    Satu gigitan Lo Mai Gai akan sangat terasa campuran rasa sensasional yang menggoyangkan lidah. Makanan khas ini menggunakan bahan utama beras ketan putih dan beberapa campuran lain seperti jamur, kuning telur asin, daging ayam dan beberapa bahan lain.    Meihua sangat menyukai makanan itu, ia pertama kali merasakannya saat pertama kali pergi mencari makanan bersama Fen.    “Baiklah, aku pergi sebentar. Ah yah ... bagaimana dengan minumannya?” tanya Fen lagi.    “Aku lebih suka air mineral,” balas Meihua.    Fen segera bergegas pergi, beberapa pembeli juga baru saja masuk, ada pula yang sedang memilih barang-barang belanjaan mereka.    Meihua kini tinggal sendiri di tempat itu, ia mengawasi pergerakan para pembeli melalui CCTV. Memikirkan tentang bagaimana kerasnya hidup Fen membuat Meihua sedikit tergerak. Andai ia bisa, ia ingin membantu Fen, tetapi keadaannya juga sedang terjepit saat ini.    Hah ... ini merepotkan, tetapi tetap saja ia harus terus melanjutkan langkah. Meihua tersenyum kecil, mungkin ibu atau ayah akan senang jika bertemu dengan Fen, mengingat keduanya sangat ingin mencari sosok kakak untuk dirinya.    Meihua ingat, dulu sang ayah pernah bertanya apa ia ingin mempunyai adik. Meihua saat itu mengatakan tidak, dirinya lebih ingin sosok seorang kakak, dan lebih baik tak punya saudara jika itu seorang adik.    “Bisakah kau cepat? Hitung barang-barang itu,” ujar seseorang.    Meihua keluar dari lamunannya, ia segera menatap pembeli yang berdiri di depannya. Hah ... rasanya mereka pernah bertemu, tetapi di mana? Lupakan ... mungkin saja wajah orang itu memang pasaran.    Tanpa menunggu perintah dua kali, Meihua segera mengerjakan tugasnya. Ia menghitung barang-barang itu, kemudian memasukkannya ke dalam kantung putih dan meletakkannya di atas meja.    Pemuda itu segera menunjukkan layar ponselnya guna membayar barang-barang itu.    “Maaf, apa Anda tidak memiliki uang cash?” tanya Meihua. Pasalnya mereka memang tidak menerima p********n dengan cara lain, mengenai kebijakan ini ... jangan tanyakan padanya, ia bukan pemilik tempat itu, ia hanya seorang pekerja yang melaksanakan tugas dengan prosedur yang berlaku.    Mendengar ucapan Meihua, membuat pemuda itu kaget. Entah ada rasa heran, atau tak puas dalam dirinya.    “Maaf, Tuan. Apa Anda memiliki uang cash?” tanya Meihua lagi.    “Aku tidak memilikinya,” ujar pemuda itu.    Meihua menarik napas, berusaha untuk tersenyum. “Lalu, bagaimana cara Anda membayarnya?”    “Apa kalian bisa memberikan hutang padaku?” tanya pemuda itu dengan seenaknya.    Meihua membelalakkan mata, ia ingat sikap menyebalkan ini. Dengan cepat Meihua menatap jeli pada pemuda itu, dan ia terkaget.    “K-kau?” ujarnya pelan.    “Apa kau melihat hantu?” tanya pemuda itu.    “Sial ... kenapa aku harus bertemu denganmu lagi sekarang.”    “Karena aku tak akan melepaskan gadis gila yang membuatku babak belur,” balas pemuda itu.    Meihua menelan ludahnya kasar, ck ... masalah mulai datang lagi, dan sekarang dari orang yang baru ia temui beberapa jam lalu. Sepertinya pemuda asing itu juga sengaja mencari informasi tentangnya.    “Bayar barang-barang itu, lalu jangan muncul lagi di hadapanku.” Meihua mengepalkan tangannya erat, ia berusaha tidak menggunakan emosi, apalagi saat ini dirinya sedang bekerja.    “Aku tidak punya uang cash,” balas pemuda itu.    “Jika memang begitu, cepat kembalikan barang-barang itu padaku!”    “Bagaimana jika aku keberatan?”    Meihua memaksakan senyum. “Tolong jangan membuatku menghajarmu lagi.”    “Apa kau berani?” tanya pemuda itu.    Meihua akui ia tak berani, ini tempatnya bekerja, dan ia tak mungkin menggunakan kekerasan pada pembeli.    “Hah ... pergilah, aku akan membayarnya. Anggap saja itu ganti rugi karena membuatmu babak belur di sekolah hari ini,” ujar Meihua. Tidak ... ia harus bersabar. Tidak baik untuk bertengkar, ingat ... taruhannya adakah pekerjaan.    “Wah, kau baik sekali. Sering-seringlah menghajarku di sekolah, dan aku akan datang seperti ini untuk meminta ganti rugi.”    “Pergi,” cicit Meihua.    Pemuda itu segera keluar dari tempat tersebut, ia memasang wajah puas. Sedangkan Meihua yang tidak lagi melihat pemuda itu mengembuskan napas, merasa dirinya selamat kali ini.    Sial ... kali ini ia harus menghindari pemuda itu di sekolah, dan sebisa mungkin jangan sampai ada masalah baru.    “Meihua? Ada apa denganmu?” tanya Fen yang baru saja tiba, gadis itu menatap Meihua heran.    “F-fen,” ucap Meihua.    “Ada apa denganmu?” Fen bertanya lagi.    “Bukan apa-apa, mana makananku.”    Fen yang tak ingin banyak bertanya segera memberikan makanan yang Meihua pesan. “Ayo, kita makan terlebih dahulu dan kembali bekerja setelah selesai.”    “ya,” jawab Meihua.    Keduanya kemudian mencari tempat duduk, mereka segera menikmati makanannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD