Seorang gadis terlihat sibuk dengan beberapa buku di atas mejanya, ia juga benar-benar tak peduli pada keadaan sekitar yang lumayan berisik. Sekarang ia harus mengerjakan tugas sekolah, dan semua ini juga karena kesalahannya sendiri.
Seharusnya tugas itu selesai kemarin sore, tetapi secara tiba-tiba ia harus menyibukkan diri di tempat kerja. Ah ... semuanya berantakan karena tak sesuai jadwal, dan gadis itu merasa kesialan benar-benar berpihak penuh padanya saat ini.
Seharusnya ia menyelesaikan tugas sekolah setelah sampai ke rumah pada malam hari, tetapi karena rasa lelah yang bergelayut manja, ia memilih kasur sebagai tujuan utamanya kembali ke rumah.
“Meihua, apa kau sudah menyelesaikan tugas sekolah?” tanya seorang gadis berambut panjang di depan meja Meihua. Gadis itu menatap Meihua dan terlihat senang saat Meihua menatapnya, tetapi sesungguhnya ia bahagia karena Meihua tidak mengerjakan tugas tepat waktu.
Meihua yang mendapat pertanyaan itu tak punya niat untuk menjawab, ia melanjutkan pekerjaannya dan memilih berkonsentrasi. Soal yang ada lumayan sulit, ia bahkan harus mengingat beberapa pelajaran pada minggu lalu agar bisa mencapai penyelesaian.
“Seharusnya kau mengerjakan itu di rumahmu, bukan di sekolah.” Gadis di depan meja Meihua kembali melontarkan kalimat, ia terlihat sengaja memojokkan Meihua, dan membuat teman sekelas mereka tahu akan hal itu.
Meihua tetap diam, baginya hanya ada kerugian jika meladeni gadis tersebut. Yang terpenting pada sebuah tugas adalah penyelesaian, dan tak peduli di mana penyelesaian itu ia dapatkan.
Merasa kesal karena di abaikan, gadis itu segera merebut buku yang ada di atas meja Meihua. Sedangkan Meihua yang kini kehilangan buku tugasnya berdiri cepat, tangannya dengan segera meraih rambut panjang sang gadis, menariknya kuat dan menyeringai. Ia paling tak suka diganggu, dan gadis sialan itu membunyikan genderang peperangan dengannya.
“A-akkhhh ... sakit,” ujar gadis itu.
Bukannya melepaskan rambut gadis tersebut, Meihua malah menariknya semakin kuat.
“Ada pepatah lama yang harus kau ingat baik-baik,” ujar Meihua dengan suara pelan. Ia kemudian menatap teman sekelasnya yang lain, dan tak peduli saat terus menjadi pusat perhatian.
“Jangan menyalakan api, jika kau tak mampu memadamkannya.”
Mendengar perkataan Meihua, gadis itu menelan ludahnya kasar. Ia ingat saat pertama kali Meihua pindah ke sekolah, dan gadis itu secara gamblang mengatakan untuk tidak mengganggunya.
“Apa kau mengerti?” bisik Meihua.
Dengan sangat terpaksa gadis itu menganggukkan kepala. Ia merasa tak ada yang akan membelanya, dan itu sesuatu yang sangat buruk. Meihua memang bukan orang yang bisa ia usik dengan mudah, entah mengapa gadis itu cukup berani untuk melakukan kekerasan seperti saat ini jika merasa terganggu.
“Kembalikan buku tugasku pada tempatnya,” ujar Meihua. Ia mendekatkan kepalanya ke arah sang musuh, lalu melanjutkan ucapannya, “jika kau tidak meletakkannya dengan rapi, aku tidak keberatan menata rambutmu agar lebih baik lagi.”
Gadis malang itu segera melakukan apa yang Meihua minta, ia menatap wajah datar Meihua, dan kesialan kembali menghampiri, bahkan menampar telak wajahnya.
Tatapan mata Meihua terlihat begitu dingin, gadis itu sampai mengeluarkan keringat dingin karena rasa takut.
“Apa kau tahu apa yang harus dilakukan ketika berbuat salah kepada orang lain?” tanya Meihua dengan wajah yang semakin datar, tatapan yang kian menajam, dan intonasi suara yang begitu berat.
“A-apa yang harus aku lakukan?”
Meihua menyeringai. “Ternyata kau benar-benar bodoh.”
Mendengar ucapan Meihua, membuat teman sekelasnya yang lain menahan tawa. Hanya orang bodoh dan tidak pernah mendapatkan pendidikan yang tak tahu harus berbuat apa setelah melakukan kesalahan.
Melihat teman sekelasnya yang menahan tawa, membuat gadis itu menjadi malu. Sedangkan Meihua yang masih menunggu permohonan maaf terus berdiam diri dan tetap menatap dalam.
“Hei kalian, beritahu orang bodoh ini apa yang harus ia lakukan.” Meihua melirik teman sekelasnya, ia bisa melihat orang-orang yang sejak tadi menikmati keributan itu terkejut.
“Maafkan aku!” ujar gadis itu secepatnya. Tubuhnya bergetar, ia benar-benar ketakutan dengan Meihua, dan bersumpah demi Tuhan untuk tidak mencari masalah lagi dengan Meihua jika sedang sendirian, yang jelas ia harus mendapatkan perlindungan agar Meihua tidak melakukan hal yang seperti sekarang ini lagi.
“Lakukan dengan benar,” ujar Meihua.
“Meihua, maafkan aku, aku mohon.”
Meihua tidak merasa puas, dengan seenaknya ia menatap ke arah lantai. “Sebaiknya kau segera bersujud dan merendahkan diri serendah mungkin.”
Mendengar permintaan Meihua, membuat gadis itu terbelalak kaget.
“Apa ada yang salah?” tanya Meihua dengan wajah tanpa dosa. Ia tak peduli bagaimana tanggapan orang lain, yang jelas mendapatkan maaf darinya bukan perkara mudah. Salahkan saja gadis itu kenapa harus mencari perkara berat dengannya.
“Apa kau gila?” desis gadis itu.
“Apa kau tak terima?” Meihua bertanya dengan nada malas.
“K-kau-”
“Cepat lakukan!” Meihua dengan cepat memotong ucapan gadis tersebut.
Teman sekelas Meihua sudah menyiapkan ponsel masing-masing, mereka juga berdoa agar gadis itu segera melakukan permintaan Meihua, lalu dengan cepat mereka akan menyebarkan foto atau juga video itu ke penjuru sekolah.
“Apa kau memerlukan lebih banyak orang untuk menyaksikan permintaan maafmu yang melegenda ini?” tanya Meihua lagi.
Gadis itu mengepalkan tangan, ia bisa menangkap jelas maksud Meihua yang akan dengan senang hati memanggil murid dari kelas lain untuk menyaksikan dirinya yang lemah.
“Satu.” Meihua menyeringai, ia sangat senang melakukan hal ini.
Gadis itu menelan ludahnya kasar, ia menarik napas, mengembuskannya dengan kasar pula. Bagaimana ini ... apa yang harus ia lakukan untuk menghindari permintaan Meihua.
“Dua.”
Deg ...
Jantung gadis itu mulai berpacu dengan cepat, apa ia sanggup merendahkan diri hanya untuk mendapatkan kata maaf dari Meihua? Jika tidak ... ah ... entah apa yang akan terjadi padanya. Meihua bukan orang yang bisa ia injak-injak, malah yang akan terjadi kebalikan dari niatnya.
Sial ... tak ada waktu untuk berpikir, daripada mengulur waktu semakin banyak ia segera bersujud.
“Tiga.” Meihua menyeringai, ia merasa senang saat pada hitungan ketiga gadis itu segera bersujud.
“Maafkan aku, aku tidak akan melakukannya lagi. Aku mohon ... aku mohon ampuni kesalahanku.”
Meihua tersenyum puas, tetapi ia harus segera menatap ke arah pintu saat suara langkah kaki seseorang terdengar bergerak cepat ke arah dirinya. Gadis itu menatap seorang pemuda tampan, tetapi terlihat menyebalkan.
“Jia Li, apa yang terjadi padamu?” tanya pemuda itu. Ia terlihat tak peduli pada Meihua, dengan cepat pula ia membantu Jia Li untuk berdiri.
“Wang Chunying,” ujar Jia Li dengan suara serak, matanya berkaca-kaca menahan tangis.
Meihua yang melihat kejadian tersebut terlihat tak peduli, ia segera duduk dan melanjutkan tugas yang belum selesai sepenuhnya.
“Apa yang gadis miskin ini lakukan padamu?” tanya pemuda bernama Wang Chunying.
Jia Li menundukkan kepala, sedangkan Meihua memasang telinganya dengan baik. Ia ingin mendengar dengan jelas apa yang akan gadis bernama Jia Li itu katakan, ck ... hal ini memang merepotkan, tetapi ia punya firasat jika setelah Jia Li buka mulut dan mengatakan kebohongan maka saat itu pula pemuda bernama Wang Chunying akan mengusik hidupnya juga.
Kalau tak salah ... yah ... kedua manusia itu adalah sepasang kekasih, dan mereka dijuluki pasangan paling serasi di sekolah.
“Di-dia ... dia marah karena aku tanpa sengaja menyentuh bukunya. A-aku sudah meminta maaf, tetapi Meihua memintaku untuk bersujud.”
Wang Chunying yang mendengar pengakuan kekasihnya menatap Meihua, benar-benar keterlaluan, ia benci jika Jia Li mendapat perlakuan demikian.
Brak ...
“Kau!”
Meihua mengangkat kepala, ia menyeringai semakin lebar saat Wang Chunying menatapnya semakin tajam. Bisa ia dengar sedikit suara gertakan gigi pemuda itu, tetapi hal tersebut bukan hal besar dan tidak membuatnya takut.
“Wang Chunying, jangan menyakitinya, aku yang bersalah.” Jia Li mencoba menenangkan Wang Chunying, ia terlihat menarik tangan kekasihnya.
Meihua yang melihat drama percintaan itu meraih ponsel, ia segera merekam aksi keduanya.
“Dia sudah keterlaluan,” balas Wang Chunying.
“Jangan, aku mohon ... aku akan mengajaknya untuk berteman, aku mohon jangan melakukan hal-hal buruk padanya.”
“Jia Li, kau terlalu baik.” Wang Chunying menatap kekasihnya dengan tatapan lembut sekaligus sedih.
Meihua yang masih merekam aksi keduanya merasa kurang puas. “Hei ... sebaiknya lakukan hal yang lebih dramatis. Dan wajah peran utama wanita kurang memuaskan, kau masih tampak membohongi kekasihmu. Menangiskah, lalu peluk dan hentikan dia.”
“KAU!” Suara Wang Chunying memenuhi ruangan kelas.
“Sebagai orang yang mengabadikan drama kalian, aku harus memberi arahan yang baik dan benar. Cepat ulang lagi, lakukan adegan dengan lebih baik.”
Wang Chunying yang mendengar ucapan dari bibir Meihua segera menahan emosi, ia tak boleh bersikap keterlaluan, atau nama baiknya akan hancur.
Pemuda itu dengan cepat menarik tangan Jia Li, mengajak kekasihnya untuk keluar dari ruangan, dan mencari tempat yang baik untuk bicara.
Sedangkan Meihua yang melihat hal itu langsung duduk, ia menggeliat. “Ah ... aku lelah, aku lapar, tetapi aku puas.”
Teman sekelas Meihua yang mendengar ucapan Meihua menelan ludah dengan cepat, sebaiknya mereka tidak berisik dan tidak melakukan hal-hal gila yang memancing amarah Meihua. Cukup Jia Li yang menjadi korban, mereka tak ingin terlibat.
Meihua yang sadar jika teman sekelasnya ketakutan merasa senang, lebih baik memang seperti itu, daripada ia harus membuang tenaga lebih banyak untuk melakukan beberapa peringatan ringan.
Meihua segera membereskan mejanya, ia menyimpan buku pada bagian laci, dan meraih ponselnya lagi. Ada beberapa pesan masuk, dan ia yakin pesan-pesan itu hanya berisikan hal-hal tak penting.
Sepertinya ia harus menyiapkan senjata untuk menghadapi Wang Chunying, ia yakin sekali jika pemuda itu tidak akan membiarkan ia hidup tenang di sekolah.
Oh ... ini semua karena ulah Jia Li, gadis sialan itu benar-benar pandai bersilat lidah. Tidak masalah ... mungkin ia akan memberikan hadiah yang lebih besar kepada Jia Li, dan hadiah yang lebih besar lagi ditujukan untuk Wang Chunying jika mencampuri urusannya.
“Meihua, apa aku boleh duduk di dekatmu?” tanya seorang pemuda dengan kacamata tebal.
Meihua menatap ke samping, ia tak tahu nama pemuda itu, tetapi mereka berada pada kelas yang sama.
“A-ah ... aku Wu Chen, salam kenal.”
“Sebaiknya jangan dekati aku,” ujar Meihua dingin. “Pergilah, aku ingin tidur.”
“Ta-tapi ... a-aku tidak memiliki kursi lagi,” ujar Wu Chen sambil menundukkan kepala.
“Di mana kau duduk sebelumnya?” tanya Meihua.
“Di belakang sana ... ta-tapi ... pemilik asli meja belakang akan segera masuk hari ini.”
Meihua menatap kesal, ia segera menggeser duduknya dan berada tepat di samping jendela. Tidak tertarik baginya untuk bicara pada Wu Chen, dan ia juga malas untuk berdebat masalah kursi. Selama Wu Chen tidak mengganggunya, itu bukan masalah.
“Terima kasih,” ujar Wu Chen.
“Hm ....” Meihua menatap keluar jendela, menikmati pemandangan lapangan sekolah yang lumayan sepi. Sepertinya hari ini tidak akan ada guru yang masuk ke kelas mereka, ia mendapat informasi itu pagi tadi saat datang ke sekolah, tetapi tetap saja tugas harus dikumpulkan dengan teratur.
Meihua yang merasa bosan segera meletakkan bagian kepalanya di atas meja, ia menggunakan kedua tangannya untuk menjadi bantal, dan dengan cepat pula ia memejamkan mata. Tidur ... ah ... surga dunia yang tak bisa ia buang begitu saja.
Wu Chen yang duduk di samping Meihua tak bicara, ia merasa senang karena Meihua mengizinkan dirinya untuk duduk bersama pada satu meja. Yah ... ia suka dengan karakter Meihua, dan ia ingin menjadi teman gadis itu.
Saat Meihua pertama kali masuk kelas yang sama dengannya, ia merasa gadis itu bukan orang yang buruk. Meihua berani melawan dan tidak membiarkan orang-orang untuk menjatuhkannya, gadis itu begitu kuat dan berbeda dengan yang lainnya.
Wu Chen juga sengaja pindah untuk duduk bersama Meihua, ia ingin mendekati gadis itu dan tahu semua tentang Meihua.
Cantik ... hanya itu yang bisa Wu Chen lihat dari sosok Meihua. Memang banyak yang tak menyadarinya, karena Meihua benar-benar tidak berpenampilan seperti gadis anggun pada umumnya, Meihua lebih senang tampil apa adanya.
Ah ... semoga saja dirinya dan Meihua bisa menjadi teman dekat, dan ia bisa berbagi banyak cerita dengan Meihua. Gadis manis yang benar-benar kuat, gadis pertama yang membuatnya sangat penasaran.
“Berhenti menatapku, atau aku akan melemparkanmu dari jendela.”
Wu Chen membelalakkan mata, tak menyangka jika Meihua sadar dengan pengamatnya barusan.
“A-ah ... maafkan aku,” ujar Wu Chen.
Meihua yang mendengar ucapan Wu Chen tak ambil pusing lagi, gadis itu menarik napas panjang, kemudian ia mengembuskannya perlahan.
Bosan ... ia sangat bosan. Kenapa harus berada di tempat ini sekarang? Kenapa harus terpisah dari kedua orang tuanya, dan kenapa harus duduk dengan pria aneh berkacamata tebal juga?
Meihua kemudian membuka mata, ia juga segera duduk dengan tegap dan bersandar pada kursinya. Setelah pulang sekolah ia harus pergi bekerja, tetapi berkat kehadiran Wu Chen di dekatnya ia tak bisa tidur dan mengumpulkan tenaga untuk bekerja paruh waktu.
Ck ... kenapa sangat menyebalkan.
“Ada apa, Meihua?” tanya Wu Chen yang merasa Meihua sedang memiliki sesuatu.
“Bukan urusanmu,” balas Meihua ketus.
“A-ah ... maafkan aku.”
Meihua membuang muka, ia tak tertarik menjawab. Biarkan saja ... anggap Wu Chen tidak ada di sampingnya, dan biarkan pemuda itu menjadi angin lalu.