"Ida, beritahu aku, apa yang kamu ketahui!? Kita teman, bukan?"
Ida mengangguk kaku, "Iya, Nora."
"Eeemh, malam ini kamu menginap di sini lagi, kan? Aku bisa tidur pulas kalau ada kamu." Nora berkata dengan wajah penuh harap. "Sambil menceritakan apa saja yang kamu ketahui. Walaupun kita hampir sebaya, tapi pengalamanmu lebih banyak dariku. Aku terlalu lama terpendam di dalam rumah."
"Kamu lucu," ucap Ida sambil tersenyum. "Seandainya dari dulu aku tahu kalau kamu bisa menjadi teman berbagi, pasti aku tidak kesepian dan sendirian," sesal Ida kembali dengan wajah layu.
"Jangan menyesal seperti itu! Toh, sekarang kita berteman, kan? Malah begitu dekat." Aku sebenarnya begitu ingin memeluk Ida, tapi sikap kakunya, membuat aku ragu. "Oh iya, sambil menikmati teh hangat, kamu mau kan bercerita mengenai simbol itu?"
Ida mengangguk dalam, "Baiklah. Tapi sebelumnya, ambilkan aku panci ukuran besar dan kecil, lalu sendok dan garpu. Ingat! Harus sepasang!" pintanya.
"Untuk apa?" tanyaku heran. "Aku akan menjelaskannya nanti. Kamu akan mengerti, Nora."
"Baiklah." Heran, tapi aku memutuskan untuk mengikuti perkataan Ida. Lagipula, semua itu tidak menyusahkanku.
Aku pun langsung beranjak ke dapur dan mengambil beberapa benda yang ia sebutkan barusan. Meskipun tidak tahu apa maksud dan tujuannya, tetapi aku yakin bahwa semua ini memiliki makna besar dan demi kebaikanku.
Apalagi selama beberapa malam terakhir ini, dia tidak menunjukkan sesuatu yang buruk dan ingin menjerumuskanku. Aku percaya, dia adalah teman yang baik.
Setibanya di dalam kamar, gelas teh panas dalam ukuran jumbo sudah kandas. Aku tidak menyangka bahwa Ida sangat haus dan bisa menghabiskan semuanya dalam waktu yang singkat.
"Tehnya ... ?" gumamku dalam tanya. "Kamu. Bagaimana kamu melakukannya?"
"Itu untukku, bukan?"
"I-iya sih," jawabku sambil melipat dahi. "Hanya saja, bagaimana mungkin bisa secepat itu? Kamu seperti robot."
'Ya ampun, jika itu aku, lidah ini pasti sudah melepuh. Bagaimana cara Ida melakukan semua ini?' Tanyaku tanpa suara.
"Masih mau ngobrol atau tidak? Kalau tidak, aku ... ." Ida memecah lamunanku dengan ancamannya.
"Eeeh ... iya, maaf." Aku duduk di sisinya sambil memegang peralatan masak yang telah ia pesan. "Ha ha ha ha ha, lucu sekali." Untuk pertama kalinya, aku tertawa lebar.
"Dengar! Jika aku mengetuk tanganku seperti ini, kamu harus memukul panci itu dengan sepasang sendok yang ada di tangan kananmu!" titahnya dan aku segera menatap tangan kananku. Kemudian, aku memindahkan garpu ke tangan kiri.
"Nanti tetangga bangun gimana?" tanyaku mulai khawatir dan membayangkan hal yang tidak-tidak.
"Jangan banyak berpikir!" Ida memblokir perasaan dan isi otakku.
"Iya-iya, baiklah."
"Duduk!" pintanya sekali lagi. Malam ini, Ida tampak banyak bicara, tetapi arah tatapannya, tetap saja kosong. "Kamu harus memahaminya dengan cepat!?"
"Iya, baiklah." Aku duduk menyamping seraya melipat kaki. Sementara kedua panci berada di hadapanku dan siap untuk dimainkan.
"Kita mulai dengan simbol 666." Ida tampak serius dengan tatapan jauh ke depan. "Sudah dipastikan bahwa banyak yang tahu tentang angka 666. Sedikit penjelasan tentang angka ini. Angka 666 dalam bahasa Latin bisa diartikan sebagai DIC LVX = “dicit lux” – suara cahaya. “Setan” dalam bahasa Latin sering diberi nama sebagai Lucifer (Lux Ferre) atau si pembawa cahaya."
Ketika mendengar perkataannya saat ini, entah mengapa, aku merasa Ida tidak seperti dirinya. Seolah ada yang aneh dan ia begitu berbeda. Dia seperti orang yang sudah sangat sepuh dan banyak pengalamannya serta berpendidikan.
Padahal, semua itu sangat jauh dari fakta tentang dirinya yang masih berusia muda, tidak berpendidikan, apalagi sangat banyak pengalaman.
Ditambah lagi dengan gaya bahasa yang ia gunakan, bukanlah kata-kata sederhana. Bahkan, untuk menyebutnya saja, lidahku kesulitan.
"Dalam istilah astrologi disebut juga sebagai Bintang Fajar, Venus atau planet ke-enam terbesar dalam tata surya kita. 666 dalam angka Rumawi = DCLXVI atau dalam arti kata lain dalam angka 666, telah dapat merepresentasikan seluruh angka yang terdapat dalam angka Rumawi (D = 500, C = 100, L = 50, X = 10, V = 5, I = 1)."
"Ida, tolong! Aku tidak mengetahui," kataku yang berniat untuk menghentikan ocehannya. Tetapi, ia terus saja berbicara, seolah lidahnya sudah disetel dan ia hanya wadahnya saja.
"Semua yang buruk dan jahat konon mempunyai kaitannya dengan angka 666 seperti roulet, apabila semua angka di meja roulet dijumlahkan akan menjadi 666. Berzina itu dosa berat maka dari itu angka 666 dalam bahasa Yunani mempresentasikan XES (s**s terbalik) atau (Chi Xi Sigma)."
"Di dalam bahasa Yunani maupun Ibrani, abjad itu juga identik dengan angka. Begitu juga dengan nama dari Kaiser Nero dalam bahasa Ibrani ini bisa ditulis dengan angka 666 (Neron Kesar)."
"Racun yang mematikan adalah racun 666 = racun Hexachloride yg diambil dari formula kimia C6H6Cl6. Hal inilah yang menyebabkan angka 666 selalu diidentikkan dengan Satanisme atau hal-hal yang berbau pemujaan setan."
Ida mengomel tanpa henti. Bahkan, ia tidak memberikanku kesempatan untuk berkata-kata. Cemas, aku menatap wajahnya dalam-dalam, tetapi ia tidak perduli dan meneruskan ucapannya.
"Selain itu, ada lambang tongkat Leprechaun."
"Ida?"
"Dengarkan! Waktuku tak banyak, Nora."
"Jangan membuatku khawatir!" aku hampir menangis saat melihat Ida yang juga tampak tertekan.
"Jika uang merupakan sebuah problema, simbol ini diyakini bisa menawarkan solusi secara mistik. Pertama kali digunakan para pendeta Druid di Skotlandia dan Irlandia."
"Biasanya, tanduk Unicorn dipakai dalam upacara ritual untuk meminta bantuan keuangan kepada setan. Nama lain untuk simbol ini adalah “tanduk Italia”, “tongkat sihir peri” atau “tongkat Leprechaun”."
"Dalam mitologi Indian, simbol tanduk sering disebut-sebut. Kelihatannya seperti lambang kemaluan lelaki. Bila diamati secara seksama, pada beberapa pakaian, simbol seperti ini tampak melingkari leher si pemakai."
"Sementara di daratan Eropa, simbol unicorn dianggap berhubungan dengan persoalan seksualitas dan merupakan sebuah simbol kekuatan sekks. Legenda Unicorn terdapat dalam kisah-kisah kaum Nasrani, Islam, Cina, dan Indian."
"Lambang klenik (gaib), merupakan sarana kekuatan yang digunakan pengikut aliran sesat untuk memohon bantuan kekuatan jahat dalam dunia gaib dan pemujaan setan."
"Baiklah, aku paham sampai titik ini." Aku berniat untuk menghentikan ocehan Ida. Bukan tanpa alasan, wajahnya terlihat semakin pucat dan aku mulai ketakutan.
Ketika ia ingin menjelaskan lambang terakhir, tiba-tiba saja bulu-bulu halus di sekujur tubuhku bangkit dan terus berdiri.
"Namun, penggunaannya baru bisa efektif jika dalam bentuk tiga dimensi. Simbol digunakan orang untuk menarik perhatian kekuatan gelap."
"Jadi ... ."
"Kamu harus tahu, sebagian besar dari kita belum sepenuhnya menyadari kekuatan misterius dari simbol-simbol yang digunakan. Terkadang kita menggunakannya sebagai kalung yang melingkari leher, jadi gelang di pergelangan tangan, atau menyimpannya di dalam kamar."
"Ida, aku punya sesuatu. Aku ambilkan ya?"
"Tidak, jangan dulu!" Ida dengan cepat menahan niatku. "Aku harus menyelesaikan semua ini."
"Baiklah, maaf."
"Intinya, kamu harus berhati-hati! Sebab, simbol-simbol itu sesungguhnya bukan gambar tak bermakna. Tapi ada kekuatan jahat di baliknya." Ida terlihat serius saat menjelaskan bagian ini.
Ida memberikan isyarat bahwa aku harus memukul panci secara konsisten. Lalu ia menatap langit-langit kamar seraya menolehkan wajah ke arahku.
"Waspadalah! Di mana pun terdapat pengaruh klenik, simbol-simbol ini pasti digunakan, khususnya yang berhubungan dengan kekuatan jahat. Kuasa kegelapan sudah pasti mengenal lambang tersebut dengan mudah." Seketika irama suara Ida berubah.
"Ida!" Aku ingin menangis ketika memanggil namanya. Sembari memukuli dua panci secara bersamaan, aku terus memperhatikan teman yang terlihat begitu pucat beberapa hari terakhir ini.
"Mereka, pengguna simbol yang sama dengan pemujanya. Barsha, ia datang bersama angin dan hujan." Leher Ida seakan patah dan ia terus menengadahkan kepalanya ke langit-langit kamar.
"Nora! Ingat dan perhatikan simbolnya! Maka kamu akan selamat." Ida mengatakannya dengan suara yang pelan, seakan-akan ia merasa ada orang atau sesuatu yang mendengarkan perkataan dan semua informasi penting darinya.
Aku yakin sekali, kalimat-kalimat penghujung kisahnya, berhasil ditutupi dengan suara panci yang aku tabuh dengan ritme cepat dan kuat.
Ida menyebut nama Barsha dengan jelas dan itu semakin membuatku heran. Memangnya, siapa yang memberitahunya mengenai sosok mistis yang antik dan menyeramkan itu.
Rasanya, aku sama sekali tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun. Jangankan Ida, bahkan Adam pun tidak tahu. Tetapi, dia terlihat paham betul dengan apa yang ia katakan.
"Dia sudah menjual dirinya kepada iblis. Membungkus sukmanya di dalam dendam kesumat yang hanya akan berakhir ketika kiamat." Bulir-bulir air mata Ida menetes dan terus membasahi lehernya yang jenjang.
"Dia adalah korban, tetapi menjadi penjahat abadi hanya karena rasa sakit hati yang besar. Barsha, tidak bisa melihat. Ia adalah darah terakhir yang hadir."
"Hanya ada satu cara untuk mematahkan kutukan, membunuh atau dibunuh. Satu-satunya yang bisa melakukan semua itu, hanyalah darah terakhir."
Tubuh Ida menggelepar di atas tempat tidur. Sementara kedua matanya terbuka lebar dan terus menengadah ke atas.
"Ida, cukup! Sudah!" pintaku di dalam ketakutan. "Aku mohon, jangan membuatku menangis dan merasa bersalah!"
"Annora, jangan percaya kepada siapa pun! Percaya kepadaku!"
"Iya-iya.Aku percaya dengan ucapanmu itu. Aku Mohon, hentikan semuanya!" bentakku karena melihatnya sudah sangat tersiksa.
Kemudian, aku menghentikan gerakan tangan untuk menabuh gendang panci yang sudah sangat nyaring terdengar. Untung saja, jarak rumahku dengan tetangga cukup jauh.
Lalu, tiba-tiba saja leher Ida kembali melemas seperti patah ke kanan. Matanya terkunci dengan bibir yang tiba-tiba diam.
Tidak berani menyentuhnya, aku memutuskan untuk mengambil air mineral dan meletakkan lagi panci ke dapur.
Sepanjang jalan dari arah kamar ke dapur, perasaanku menjadi tidak menentu. Langkahmu pun kian cepat, menyusul degup jantung yang berlarian.
"Astaga, Ida. Semoga dia tidak apa-apa," pintaku seraya menuang minuman ke dalam gelas, dengan tangan yang bergetar hebat.
Bersambung.