“Ah, nyamannya ...”
Akhirnya, aku bisa merebahkan badan setelah dari pagi berkutat di UGD dan ruang operasi. Ada saja yang harus kukerjakan sampai-sampai tidak sempat untuk sekadar istirahat. Aku bahkan tidak bisa mendeskripsikan lagi bagaimana keadaanku saat ini. Yang jelas, aku sangat butuh meluruskan punggung.
“Baru selesai, Shen?” tanya Wika, salah satu temanku yang juga koas di rumah sakit ini.
“Iya, baru banget. Aku full hari ini. Baru sempat lurusin punggung. Bukan main, rasanya. Kasur sekeras ini bisa jadi senyaman ini. Tapi masih bagus, ruangan kita ditambah kasurnya. Seenggaknya kita bisa langsung rebahan di bawah tanpa harus lepas sepatu lebih dulu.”
Wika tertawa. “Ya begitulah, Shen. Sebenernya ini bisa buat pelajaran hidup. Sorry kalau kesannya aku terlalu serius, tapi bisa disimpulkan kalau seberapa bahagianya kita tergantung seberapa banyak kita bersyukur. Kasur sekeras itu bisa terasa nyaman, tapi kasur empuk di rumah kadang terasa keras dan enggak nyaman. Well, manusia memang harus dihadapkan pada hal-hal yang kurang enak dulu baru bisa lebih bersyukur.”
Aku langsung tertegun begitu mendengar ucapan Wika. Anak itu kini sudah pamit keluar karena dia baru akan mulai sift.
“Manusia memang harus dihadapkan pada hal-hal yang kurang enak dulu baru bisa lebih bersyukur.” Aku menggumam pelan. “Bener juga. Jadi, selama ini aku adalah manusia yang kurang bersyukur?”
Di rumah, aku banyak protes kalau kasurku mulai terasa tidak nyaman. Padahal, kadang akunya saja yang sedang tidak enak badan. Sedangkan di rumah sakit, kasur yang sebenarnya agak keras pun jadi terasa sangat empuk dan nyaman. Itu karena lebih baik daripada merebah di lantai yang hanya dilapisi tikar.
Wika benar. Benar sekali. Sejatinya, manusia memang banyak yang kurang bersyukur. Sebut saja aku. Seberapa sering aku mengeluh selama ini, padahal aku sudah diberi nikmat begitu banyak?
Sungguh tamparan yang keras!
“Aduh! Bener-bener enak banget punggungku.”
Aku melirik aroji di tangan. Sudah sore, tetapi belum terlalu sore. Ini saja aku sudah melebihi sift karena seharusnya aku selesai dari tadi. Ini bukan pertama kalinya jatah sift-ku molor, jadi tidak perlu kaget lagi.
Saat aku masih merebah, tiba-tiba ada panggilan masuk. Panggilan itu datang dari Mama.
“Mama ngapain, sih, telepon segala? Kan aku udah bilang kalau pulangku molor!” Meski ogah-ogahan, aku tetap mengangkat panggilan dari beliau. “Hallo, Ma?”
“Iya, hallo. Kamu masih di rumah sakit atau enggak, Shen?”
“Masih. Kan aku udah bilang bakal molor.”
“Maksud Mama, Mama mau minta bantuan kamu sebelum pulang ke rumah.”
“Ada apa?”
“Kamu ke kantor bentar, bisa? Kamu temuin Om-mu, ambilin berkas penting. Dia udah paham karena Mama udah bilang.”
“Ya ampun, Ma—“
“Mama minta tolong banget. Ini penting. Kan searah juga kalau mau pulang. Tinggal belok dikit. Ambilin, ya?”
“Ya udah, iya.”
Belum-belum, waktu istirahatku sudah akan terpotong. Tapi ya sudahlah, demi Mama. Sepertinya berkas itu memang penting karena cara beliau minta tolong terdengar sangat serius.
“Kalau bisa sekarang, Shen. Sebelum Om-mu pulang. Nanti Mama juga mau pergi ke luar kota.”
“Hah? Pergi ke mana?”
“Jogja.”
“Loh? Dadakan?” tentu saja aku kaget karena tidak biasanya Mama pergi ke luar kota tanpa bilang lebih dulu.
“Enggak dadakan juga, sih, sebenarnya. Cuma Mama lupa bilang kamu. Mama mau ke rumah Nana.”
“Oh ... oke, oke.”
“Ya udah, buruan.”
“Hm—“
“Beneran, ini. Mama tunggu.”
“Iya, Mama. Ini aku ke sana.”
Panggilan dari Mama segera kumatikan. Aku bangun, lalu berkemas. Setelah selesai, aku keluar ruangan.
“Pulang sekarang, Shen?” tanya Rizda. Dia tampak baru saja keluar dari salah satu ruang rawat inap.
“Iya. Ini aku mau ke kantor Om dulu.”
“Hati-hati. Jangan lupa mata kamu dikompres.”
“Gelap banget, emang?” aku meringis.
“Banget sih enggak, tapi kelihatan kurang tidurnya.”
“Rizdaaa.” Aku pura-pura menangis. Rizda pun segera memelukku.
“Sabar, sayangku. Masih ada satu tahun lagi. Eh, lebih. Tetap semangat!”
“Baru juga beberapa bulan, rasanya udah kaya gini. Aku ngerasa salah masuk jurusan.”
Rizda melepas pelukannya dan mencubit pipiku keras. “Salah masuk jurusan kok baru sadar sekarang. Kemarin ke mana aja, woy!”
“Sumpah, aku berasa zombie. Aku merasa enggak hidup, tapi enggak mati juga. Hidupku kaya ngambang.”
“Udah, udah. Sana ke kantor dulu. Nanti Om-mu keburu pulang.”
Aku mengangguk. “Babay!”
“Ya!”
Saat aku tiba di parkiran, Mama kembali telepon, tetapi aku tolak. Alih-alih mengangkat, aku lebih memilih untuk mengirim voice note. “Aku udah otw, Ma.”
Begitu masuk mobil, aku menepuk wajahku berkali-kali. Aku juga menyemprotkan air ke wajah. Ini sering kulakukan saat aku merasa agak ngantuk dan harus berkendara.
Belum sempat aku menyalakan mobil, ponselku kembali berdering. Lagi-lagi dari Mama.
“Apa, sih, Ma?” akhirnya, kuangkat juga panggilan dari beliau. Karena kalau tidak, beliau pasti akan terus menelepon sampai diangkat.
“Titip martabak manis dekat rumah sakitmu itu, Shen. Mama lagi pengen. Ini Papa juga pengen.”
“Lah? Bukannya mau ke Jogja? Kenapa masih mau martabak juga?”
“Ya kan masih nanti malam berangkatnya. Kamu pulang, Papa sama Mama belum berangkat.”
Oh, ya ampun! Untung aku anak berbakti.
“Ya udah. Berapa bungkus?”
“Satu aja, yang besar.”
“Oke.”
Begitu keluar rumah sakit, aku membeli martabak manis pesanan Mama. Martabak di sini memang enak. Aku tahu justru dari Wika. Aku baru beli beberapa kali dan semua orang rumah menyukainya.
Ngomong-ngomong, rumah sakit tempatku koas dan rumah sakit tempat Papa bekerja itu berbeda. Selain memang sejak awal berbeda, andai misal kebetulan sama pun aku akan memilih yang lain. Aku paling tidak suka kalau usahaku ada bayang-bayang orang lain, sekalipun itu orang tuaku sendiri.
“Terima kasih, Bang.”
“Sama-sama, Kak.”
Setelah membeli martabak, aku bergegas menuju kantor Om Rivan— adik kandung Mama. Sebetulnya, kantor itu tidak bisa disebut milik Om Rivan karena pada dasarnya itu milik eyang. Kantor itu justru akan jatuh di tangan Mas Arfa nantinya. Meski begitu, bukan berarti Om Rivan tidak dapat jatah sama sekali.
Aku tidak terlalu paham nanti bagaimana, tetapi yang jelas, semua sudah dirundingkan baik-baik. Om Rivan pun tidak keberatan karena dia sepertinya ada rencana lain. Maksudku, dia ada rencana buka usaha baru di bidang yang lebih dia sukai. Ya ... intinya begitulah!
“Akhirnya, sampai juga.”
Hari sudah mulai gelap ketika aku tiba di kantor. Saat ini harusnya sudah lewat jam pulang kerja, tetapi aku lihat masih banyak karyawan yang belum pulang. Bisa dilihat dari kendaraan yang masih banyak di parkiran. Parkirah masih tampak penuh.
Aku merapikan diri dulu sebelum keluar. Tak lupa, aku juga mengambil kacamata ‘ajaib’. Satu-satunya benda ampuh untuk menutupi betapa mengenaskannya wajahku. Aku sengaja parkir di basement karena aku sedang tidak ingin jadi pusat perhatian. Pengalamanku dulu, kalau parkir di halaman, rasa-rasanya banyak karyawan yang memperhatikan dari dalam. Jujur, itu sedikit mengganggu.
Baru saja aku keluar dari mobil, lagi-lagi teleponku berdering. Melihat kontak Mama tertera di layar, aku mulai kesal. Mama ini tidak sabaran sekali!
“Apa, sih, Ma? Telepon mulu, ih! Martabak udah, ini aku udah sampai di kantor.”
“Cepet, ya, Shen! Barusan Om-mu ngabarin udah mau pulang. Ini tinggal nunggu kamu datang.”
“Iya. Ini aku udah di parkiran. Justru Mama yang bikin lama.”
“Ya udah. Buruan naik.”
“Ya. Aku matiin dulu.”
Bagitu memasukkan ponsel ke saku jaket, aku jalan cepat menuju lift. Namun, karena terlalu buru-buru, aku tidak sengaja menabrak seorang laki-laki. Mataku mendelik ketika melihat kertas-kertas berterbangan dan jatuh ke lantai.
“Ya ampun, maaf! Maafin saya! Saya enggak sengaja.” Aku buru-buru jongkok dan ikut memunguti kertas-kertas yang berserakan. “Yah, ada yang basah! Gimana ini—“
Kalimatku terhenti begitu aku mendongak dan melihat wajah laki-laki yang kutabrak. Aku masih menerka-nerka siapa orang ini saat tiba-tiba ada suara lain yang menginterupsi.
“Loh, Mas Rifqi— eh, Shenna?”
Aku menoleh, dan betapa senangnya aku begitu melihat calon kakak iparku. Iya, yang datang adalah pacar Mas Arfa. “Mbak Nana!”
“Kok kamu di sini?” Mbak Nana bertanya heran. Pastilah begitu, karena aku memang jarang sekali menginjakkan kaki di kantor ini.
“Mau ke ruangan Om, Mbak. Aku mau ambil berkas nggak tahu apa. Soalnya disuruh Mama.”
“Oh, gitu ...”
Saat Mbak Nana menoleh ke arah laki-laku itu, aku langsung kembali jongkok dan memunguti kertas-kertas yang tersisa. Setelah semua selesai, aku segera menyerahkannya. “Maaf, saya enggak sengaja.”
“Enggak papa,” laki-laki itu menyahut sekenanya.
Siapa tadi namanya? Rifqi?
Eh, sebentar. Kok tidak asing?
“Ini kenapa, Mas?” tanya Mbak Nana kemudian. Ternyata calon kakak iparku mengenal laki-laki ini.
“Gara-gara aku, Mbak. Jalan enggak lihat-lihat. Jadi nubruk, deh ...” Aku lebih dulu menjawab, lalu menatap laki-laki tadi dengan tatapan bersalah. “Sekali lagi saya minta maaf.”
“Iya, enggak papa. Lain kali lebih hati-hati saja.”
Laki-laki itu menata kertasnya cepat-cepat, lalu tersenyum ke arah Mbak Nana. Kalau denganku, melirik saja, tidak. “Duluan, Na!”
“Iya, Mas.”
Laki-laki itu berjalan cepat menuju mobil hitamnya dan pergi beberapa saat kemudian. Sepertinya, dia sedang terburu-buru.
“Aduh, jantungku hampir copot!” Aku menunduk dan memegangi d**a.
“Kenapa emang?”
“Ya enggak enak aja, Mbak. Udah nabrak Masnya tadi. Mana kertasnya ada yang basah karena kena air di lantai. Enggak tahu, deh, itu air dari mana.”
“Yang penting dia nggak marah, kamu juga udah minta maaf.”
Aku mengangguk. “Iya, sih, emang enggak marah. Tapi waktu awal kertasnya jatuh, matanya sempat natap aku kesal.”
Memang begitu. Tadi saat aku mendongak menatapnya, matanya tampak sangat kesal. Herannya, hanya berlangsung sesaat. Tatapannya melunak dalam hitungan detik.
“Ya udah, enggak papa. Dia juga baik, kok. Jarang marah.”
“Emang Mbak Nana kenal? Maksudku, kenal baik?”
“Kenal, orang dia kepala divisiku.”
“Oh, gitu— eh, mbak! Ngomong-ngomong aku lagi buru-buru. Aku harus ketemu Om Rivan sebelum beliau pulang.” Aku melirik arloji sejenak, lalu nyengir.
“Iya, Shen, sana kalau mau naik.”
“Oke, Mbak. Duluan, ya!”
“Iya ...”
Aku berlari cepat meninggalkan Mbak Nana. Aku naik lift khusus yang kata Mama hanya digunakan oleh petinggi kantor. Jadi, bisa dipastikan jarang sekali antri. Tidak seperti lift karyawan.
Selama di dalam lift, entah kenapa aku terus teringat laki-laki tadi. Wajahnya benar-benar tidak asing. “Rifqi ... Rifqi ... Rifqi ... aku pernah dengar di mana— ah! Aku ingat! Dia yang kabur waktu dress-ku robek itu, kan? Jadi dia kerja di sini?”
***