Bab 4

1270 Words
“Sirin!” panggil suara dari belakang Sirin. Sirin menoleh dan mendapati Tiara tengah berlari kecil ke arahnya sambil membawa minuman cup berisi jus alpukat. “Lo habis dari kantin?” tanyanya ketika Tiara sudah berada di sampingnya. “Iya,” jawab Tiara. “Nggak ngajak-ngajak,” kata Sirin. “Lo kan tadi keluar duluan. Gue pikir malah lo yang ninggalin gue,” balas Tiara seraya menyedot minumannya. “Tadi gue diajakin ngobrol sama Pandu di perpustakaan,” kata Sirin berdecak sebal. “Lo ngobrol sama Pandu?” Sirin menganggukkan kepala dengan helaan napas dalam. “Ngobrol apa berantem?” “Dua-duanya,” balas Sirin kesal sendiri. “Itu orang emang nyebelin banget, ya.” “Kenapa emangnya?” “Dia tuh disuruh sama Zidan buat jelasin ke gue soal rencana ngerjain Alita. Eh, jelasinnya nggak jelas. Sekalinya ditanya malah suruh tanya langsung ke Zidan. Terus, gunanya dia jelasin ke gue apa coba?” Tiara terkekeh mendengar gerutuan Sirin mengenai Pandu. Tiara paham betul hubungan Sirin dan Pandu yang memang tidak akrab. Mereka berdua malah lebih sering berdebat tak jelas. Tiara sendiri heran kenapa keduanya bisa tidak akur. Padahal, mereka berada di satu lingkaran pertemanan yang sama. “Ya udah sih, tanya ke Zidan aja,” balas Tiara enteng. “Oh ya, besok malam apa lo ikut juga ke tempat Pandu?” tanya Sirin. Tiara menggelengkan kepala. “Nggak. Ngapain ke tempat Pandu?” “Pandu bilang sih, buat lihat denah lokasi. Alita kan bakal dikerjain di rumah Pandu.” “Gue kan nggak ikut acara ngerjain Alita. Nggak ada gunanya juga gue besok ikut kalian ke tempat Pandu.” “Nggak apa-apa lah, ikut aja.” Tiara menggelengkan kepala. “Nggak. Gue sibuk. Nggak bisa ikut.” Sirin menghela napas dalam. “Lo masih sibuk sama urusan persiapan pernikahan sepupu lo, ya?” Tiara menganggukkan kepala. “Iya. Selain itu, besok juga gue mau kencan,” jawabnya riang seraya tersenyum lebar. “Jadi lo milih kencan daripada harus ikut pergi ke rumah Pandu?” “Iya lah. Gue pilih kencan sama cowok gue ke mana-mana daripada ikut kalian,” jawab Tiara enteng seraya terkekeh. Sirin berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Dasar,” balasnya. *** Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Sirin buru-buru pergi ke kantin untuk mengisi perut. Gara-gara mengobrol dengan Pandu, Sirin jadi melewatkan jam istirahat pertama. Sedangkan jam istirahat kedua pun terlewat karena Sirin sibuk mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan sepulang sekolah. Jadi, kesempatan satu-satunya untuk makan adalah jam sepulang sekolah. Sirin duduk manis di kursi sambil menyantap mie ayam pesanannya. “Kak Sirin!” panggil suara dari arah kanan Sirin. Di kejauhan, Sirin melihat sosok Vega, Fazan dan juga Pandu berjalan mendekat ke arahnya. Sirin hanya melambaikan tangan seadanya sebagai respons. “Sendirian aja makannya,” kata Vega yang saat ini sudah duduk manis di bangku kosong samping Sirin. “Tiara udah pulang duluan. Alita pulang bareng abang lo, pacaran.” “Kasihan yang jomblo,” ledek Pandu sambil geleng-geleng kepala. Cowok itu kini sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan Vega. Sirin menggaruk telinganya yang tidak gatal. “Kayak ada yang ngomong,” balasnya tak acuh yang membuat Pandu memutar bola mata bosan. Fazan dan Vega tertawa melihat pertengkaran Sirin dan Pandu yang memanglah hal wajar. Mereka sudah terbiasa melihat pemandangan ini. Tiba-tiba saja Pandu bangkit dari duduknya. “Gue mau pesan makanan. Ada yang mau nitip?” tanyanya. Vega mengangkat tangannya. “Gue nitip jus melon.” “Oke. Lo?” tanya Pandu kepada Fazan yang duduk berhadapan dengan Sirin. “Gue soda gembira sama siomay.” “Oke.” “Lo nggak nanya gue?” tanya Sirin kepada Pandu. “Lo udah makan mie ayam. Mau nambah lagi? Apa? Gerobaknya? Atau abang yang jual mie ayamnya?” “Duduk sono lo nanti. Agak jauhan,” kata Sirin sebal seraya menunjuk kursi kosong yang berada di ujung meja. Pandu membalas ucapan Sirin dengan juluran lidah, seolah dia tak peduli dengan apa pun ucapan Sirin. “Nyebelin emang ya,” cibir Sirin ketika Pandu sudah mulai berjalan meninggalkan meja mereka. “Gue mau es jeruk!” seru Sirin. Pandu menggaruk telinganya seraya berbalik menatap teman-temannya. “Kayak ada yang ngomong,” katanya menirukan ledekan Sirin tadi. Sontak saja Fazan dan Vega tertawa mendengarnya. Sirin sendiri hanya bisa menatap Pandu dengan tidak percaya. Bisa-bisanya cowok itu meledek Sirin dengan ledekannya tadi. Memang tidak kreatif! “Lo nggak pulang?” tanya Sirin menoleh ke arah Vega, mengabaikan Pandu yang saat ini sudah pergi ke gerobak yang menjual siomay. “Gue nunggu temen gue yang lagi foto copy tugas.” Sirin menganggukkan kepala mengerti. Ia kembali memakan mie ayam untuk mengisi perutnya yang sedang kelaparan. “By the way, Pandu udah bilang kan kalau besok malam kita main ke rumahnya?” “Iya,” kata Sirin menjawab pertanyaan Fazan. “Tapi, gue nggak tahu rumah dia di mana.” “Besok bareng gue aja,” kata Fazan lagi. “Gue jemput ke rumah.” Sirin menganggukkan kepala menyetujui. “Oke,” katanya menyetujui. Lalu, Sirin menoleh ke arah Vega. “Besok lo ke rumah dia,” Sirin menunjuk Pandu yang sedang memesan jus dengan dagunya, “bareng Zidan?” “Iya lah.” “Besok mau bahas apa lagi, sih? Tiap ingat kalau gue bakal jadi hantu rasanya sedih banget,” kata Sirin yang membuat Fazan dan Vega tertawa. “Besok akan gue bawakan kostum yang harus lo pakai,” ucap Vega kepada Sirin. “Ya Tuhan. Tolong,” kata Sirin dengan helaan napas pasrah. Tak lama kemudian Pandu kembali ke meja dengan membawa nampan yang berisi dua piring siomay, satu gelas soda gembira dan satu cup jus melon. Fazan dan Vega langsung mengambil pesanan mereka masing-masing. Sirin hanya melirik Pandu sebal karena ternyata Pandu memang tidak bisa diharapkan. Masak Sirin tidak dipesankan es jeruk. Mengabaikan Pandu, Sirin kembali memakan mie ayam miliknya yang tinggal separuh sambil mengobrol dengan Vega. Tiba-tiba saja, seseorang meletakkan satu gelas es jeruk ke samping gelas es jeruk Sirin yang sudah habis. Sirin mengangkat kepala dan mendapati Pandu kini sudah duduk manis di tempatnya tadi. Ternyata Pandu memesankan Sirin es jeruk. “Baik kan gue,” kata Pandu menyombongkan diri di depan Sirin. Secara otomatis Sirin tersenyum sambil bertepuk tangan. “Wah…,” katanya tidak tahu harus memberi pujian atau ledekan kepada Pandu. “Lo kira gue sedang sulap, lo kasih tepuk tangan gitu?” balas Pandu. “Serba salah emang ya,” sahut Sirin geleng-geleng kepala seraya menyedot es jeruk yang dipesankan oleh Pandu. Fazan dan Vega kembali tertawa melihat Sirin dan Pandu yang selalu beradu mulut. “Omong-omong, lo pulang bareng siapa?” tanya Vega kepada Sirin. “Sendiri,” jawabnya. “Lo bareng Fazan?” “Iya, dia bareng gue. Mau bonceng tiga?” ajak Fazan. “Gue anterin pulang juga.” “Gila apa boceng tiga. Gue masih mampu bayar ojol, ya.” “Atau minta anterin Pandu pulang,” kata Fazan menoleh ke arah Pandu yang sedang asyik menikmati siomay pesanannya. “Bawa motor kan lo?” “Iya gue bawa motor,” kata Pandu santai. Lalu, Pandu menoleh ke arah Sirin. “Mau gue anterin pulang? Lo cukup mengucapkan kata—” “Nggak,” potong Sirin langsung menolaknya tanpa perlu memertimbangkannya terlebih dahulu. Pandu mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Ya udah,” balasnya. “Lo berdua emang nggak ada harapan,” kata Fazan geleng-geleng kepala. Vega mengangguk menyetujui. Daripada diantar Pandu pulang, Sirin lebih milih buat naik angkot. Memang ada yang bisa menjamin kalau Sirin tidak akan diturunkan di tengah jalan? Pandu kan anaknya suka iseng. Selain itu, dia juga menyebalkan. Sirin tidak mau mengambil risiko.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD