Bab 16

1300 Words
Kevin mengerutkan kening ketika melihat bayangan orang yang ada dibalik pintunya. Pria itu mendekati Dave untuk memberitahu bahwa ada orang yang sedang menguping pembicaraan mereka. Dave langsung menoleh seketika, mengkode Kevin untuk berhenti bicara. Dia bergerak pelan menuju ke pintu hendak memergoki si penguping. Namun ketika handel pintu di tarik, orang yang ada dibalik pintu telah menghilang. “Kemana dia pergi?” tanya Kevin sambil ikut mencari orang itu. “Aku yakin dia ada di sini.” Dave menengok ke kanan dan ke kiri sepanjang koridor, tak ada orang sama sekali. Apakah mereka salah lihat? Sepertinya tidak. “Di masa depan, kita harus hati-hati,Dave,” peringat Kevin. Mereka berdua kembali ke ruangan. Amelia yang di tarik oleh seseorang kesal karena mulutnya di bungkam. Gadis itu pun menggigit kuat tangan yang dengan lancang menutup mulutnya itu. “Au.... sakit sekali!” ringis suara yang di kenal Amelia. Sontak ia menoleh seketika. “Itu kau! Kau sengaja menyeretku menjauh, Al,” kata gadis itu cukup kesal. “Kalau aku tak menyeret-mu, nanti kau ketahuan. Mereka pasti akan menguburmu hidup-hidup, Mel.” “Dasar! Padahal tinggal sedikit lagi aku mengetahui pembicaraan mereka.” Amelia sangat penasaran dibuatnya mengenai pembicaraan Dave dan Kevin yang sangat penting. Sayang sekali, informasi itu harus pupus lantaran ulah satu orang, yaitu Alrich. Padahal aku berusaha mati-matian untuk kabur dari Alrich. Eh... malah bertemu dengannya lagi “Aku mencarimu kemana-mana, ternyata kau masih berada di sekitar ruangan Kevin.” Alrich meraih jemari Amelia. “Kita pulang sekarang sebelum malam semakin larut.” “Tunggu... aku harus melakukan sesuatu,” elak Amelia dengan halus. Kedatangannya ke rumah sakit tak hanya periksa, tapi mencari informasi mengenai tubuhnya. “Tak ada tapi-tapian. Kau baru saja kecelakaan. Udara malam lama-lama tak baik untukmu, Mel.” Skackmat Amelia tak bisa berkutik lagi karena omongan Alrich yang sudah membahas perihal kecelakaan. Tidak mungkin ia menjadi keras kepala untuk kukuh tetap berada di rumah sakit demi informasi. “Baiklah....” jawab gadis itu dengan malas. Mau tak mau, Amelia mengikuti Alrich yang terus menggenggam tangannya menuju ke parkiran kendaraan. “Kenapa wajahmu lesu sekali?” tanya Alrich heran. Itu karena kau, rencanaku jadi gagal. Coba kalau kau tak ada, pasti semuanya sempurna. “Apakah kau marah karena perihal tadi?” Alrich membuka pintu mobil. Amelia masuk dengan wajah cemberut. Jelas marah, karena kau terlalu ikut campur. Setelah Alrich masuk mobil, ia menoleh ke arah Amelia. “Jangan marah, itu semua demi kebaikanmu. Jika Dave tahu, kau tak akan selamat, Mel.” Gadis itu tetap diam, memilih bermain ponsel. Alrich menghela nafas cukup kasar, lalu melajukan mobilnya dengan pelan. “Dave bukan orang yang toleran, kau tahu sendiri bukan?” Sepertinya, Alrich memang tahu mengenai Dave lebih baik dari siapapun. “Karena aku lupa ingatan, jadi aku tak tahu mengenai itu.” Benar saja, Alrich lupa perihal lupa ingatan yang di derita Amelia. Tak seharusnya ia bersikap kasar tadi. “Maafkan aku. Aku takut Dave akan membencimu lebih besar lagi.” Amelia diam, memikirkan pembicaraan Alrich. Dave dulu sangat benci dengan Amelia karena suka menempel, dan suka berbuat onar dengan Rosa. Tapi kalau dilihat, Rosalah yang selalu cari masalah. Dan juga, Dave sepertinya tak menyukai gadis itu, masak iya dia jadi pelakor. “Aku merasa dipermainkan,” gumam Amelia di dengar oleh Alrich. “Apa maksudmu?” “Bayangkan saja, Rosa selalu saja membuat masalah untukku. Kau bilang aku yang selalu saja membuat masalah untuknya.” Alrich menghentikan mobilnya mendadak, “Karena kau selalu saja lengket dengan Dave!” Suaranya sedikit meninggi, membuat Amelia menatapnya horor. “Maafkan aku,”sesalnya. Ada apa dengan bocah itu! Apa dia cemburu? Melihat Amelia yang tak kunjung bersuara, Alrich tidak tenang sama sekali. “Maafkan aku, Mel... Aku tak bermaksud teriak padamu.” “Apakah kau menyukaiku?” tanya Amelia dengan wajah polosnya. Entah setan dari mana yang membuat gadis itu bertanya perihal perasaan. Alrich langsung gugup setengah mati, jantungnya juga berdetak cukup keras. Keringat dingin mulai bercucuran, padahal ia berada di dalam mobil yang ber AC. Apakah aku harus menyatakan perasaanku sekarang? Alrich dilema, antara memilih jujur dan menyembunyikan perasaannya kepada Amelia saat ini. Pria itu tak ingin menggunakan kesempitan untuk kesempatan. “M-mana mungkin aku s-suka denganmu? K-kau bukan tipeku?” Ia melirik Amelia yang mengerutkan dahi. Ini aneh... jelas dia suka padaku. Aku ini pengamat cinta di lapangan karena n****+ yang selalu aku tulis. “Anggap saja aku tak tanya,” kata Amelia cuek bebek. Alrich menggigit bibirnya karena menyesal dengan jawaban yang terlontar dari mulutnya. Dia sangat bodoh karena tak bisa jujur mengenai perasaan untuk gadis itu. “Jika aku menyukaimu, apakah kau akan menyukaiku?” cicit Alrich dengan lirih. Amelia menoleh, Alrich sangat tampan. Jika Dave, Ken, dan Alrich berjalan bersama tentu para gadis akan meneteskan air liur masing-masing. Pria seperti Alrich, menyukai Amelia mungkin hanya di buat main-main. Akan tetapi kalau di telaah lebih dalam lagi, Amelia juga cukup cantik dari pada dengan si Rosa menyebalkan itu. “Itu jika kau menyukaiku. Lagi pula aku bukan tipemu.” Alrich menyesal mengatakan hal dusta kepada Amelia. “L-lebih baik kita pulang.” Untuk segera keluar dari situasi canggung, dia memutuskan segera melajukan mobilnya kembali mengantar Amelia pulang ke apartemennya. Sampai di lokasi, Amelia langsung turun begitu saja tanpa berkata apapun. Mobil Alrich masih terpaku di tempat, menatap kepergian gadis itu tanpa beralih pandang. Rasanya sesak di d**a karena berkata dusta. “Apakah masih ada kesempatan lagi untuk mengatakan cinta padamu, Mel?” Jika waktu di putar kembali, Alrich akan memilih jujur detik itu juga. Sayangnya, waktu tak bisa kembali ke masa lalu kalau bukan karena keajaiban. “Aku akan menyatakan cintaku padamu di saat waktu yang tepat.” Mobil itu kemudian melaju kembali.Amelia yang tadinya masuk, kemudian keluar apartemen lagi. “Apakah dia sudah pergi?” tanya gadis itu kepada petugas keamanan. “Sudah, Nona,” jawab pria itu. Amelia mengangguk, bergegas menuju ke jalan utama. Gadis itu akan kembali lagi ke rumah sakit untuk mencari informasi mengenai Lian. “Sudah malam... tak ada taxi yang lewat.” Melihat lalu lalang kendaraan membuat Amelia pusing setengah mati. Bunyi klakson dan juga deru mesin terngiang terus di kepalanya. Amelia langsung jongkok, memegang kepalanya sendiri. Dia terlihat terengah-engah seperti kekurangan oksigen. Kepalanya menoleh ke sana-kemari untuk mencari bantuan. Namun pandangan matanya berkunang-kunang. “Kenapa pusing sekali?” Gadis itu memegang kepalanya yang mulai pening. “Aku harus bertahan.” Ketika hendak bangkit, pusing terus melanda kepalanya. Amelia sudah tak tahan lagi sebab matanya mengabur. Ia tetap berdiri sambil menutup kedua penglihatannya dnegan rapat, berjalan sempoyongan memegang tiang listrik. “Apakah aku kecapekan? Kenapa bisa pusing seperti ini?” Keringat dingin pun mulai keluar membasahi tubuhnya karena menahan sakit. Tadinya waktu periksa kepalanya baik-baik saja. Tapi sekarang menjadi pening tak jelas. “Tidak mungkin ada gumpalan di otakku.” Amelia terus menggelengkan kepalanya berulang kali, hendak membuka kedua mata kembali. Sayang sekali penglihatannya begitu kabur saat ada orang mendekat. “Apakah Anda baik-baik saja?” tanya orang asing itu. “Aku sedikit pusing... bisakah Anda membantuku untuk kembali ke Apartemen Luxury?” pinta Amelia dengan penuh harap. Suara itu adalah suara laki-laki dan tak ada orang lain selain pria itu. “Baiklah... saya akan membantu.” Pria itu menuntun Amelia menuju ke tempat yang di bicarakan, tapi sampai di dekat apartemen, dia belok ke arah kiri menjauh. Amelia yang merasakan semakin menjauh pun menghentikan langkahnya. “Apartemen tak jauh dari sini, kenapa kita malah menjauh?” Gadis itu hendak membuka mata, tapi pria itu segera angkat suara. “Percaya dengan saya. Sebentar lagi sampai.” Amelia hanya mengangguk saja karena pusing yang terus melanda. Sumpah ia ingin pingsan rasanya. Tapi ditahan karena bersama orang asing. Pikirannya tak bisa jernih sama sekali sebab rasa yang di derita cukup menyakitkan hingga tak sadar kalau dia bertemu dengan orang jahat. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD