"Kak. Jaga Dewa untukku."
Dara terbangun saat merasakan ada sebuah tepukan di pipinya. Wanita itu mengerjap dan melihat sosok Riri sedang berdiri di depannya.
"Kamu demam, Ra. Ayo aku antar pulang. Sekolah udah sepi."
"Memangnya ini jam berapa?" tanya Dara malas.
"Jam 4."
"Astagfirullah. Aku gak ikut pertemuan jadinya," sesal Dara.
"Tadi udah dibilangin kamu lagi sakit. Jadinya gak apa-apa."
"Syukurlah."
"Kamu abis ngapain sampai sakit gini? Di rumah disuruh nguras bak mandi?" tanya Riri. Dia membantu Dara duduk karena sahabatnya itu terlihat lemas sekali.
"Kecapean kali ini. Soalnya Cia sama Mas Dewa sempat sakit. Jadinya aku ngurusin mereka berdua," elak Dara. Tak mungkin juga mengatakan yang sebenarnya kepada Riri.
"Kamu izin aja kalau emang gak sanggup kerja. Daripada drop begini."
Dara mencoba berdiri. Lalu, merasakan nyeri pada bagian tubuhnya yang lain.
"Aduh."
"Kamu gak apa-apa?"
"Gak. Cuma kepala sakit banget," ucapnya berbohong.
"Ini minum obat dulu. Tadi yang jaga UKS nitip ke aku."
Riri menyerahkan sebutir Paracetamol dan segelas air. Kemudian Dara mengambil dan meminumnya dengan pelan.
"Aku antar pulang, ya."
"Aku mau ke rumah Ibu ambil motor."
"Rumah Ibu kamu jauh. Ntar kenapa-kenapa di jalan. Motor bisa diambil kapan aja kalau kamu udah sembuh." Riri mengambil tas Dara dan membawakannya.
"Nanti kasian Mas Dewa bolak-balik antar."
"Astagfirullah, kamu ini. Ya biar aja. Dewa kan suami kamu. Kalau istri sakit ya dia harus ngurusin juga."
Riri tak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya yang satu ini.
"Kamu ada helm dua?"
"Minjem sama security depan. Biasanya mereka ada cadangan. Kamu ini jangan mikir gitu terus. Ayo, pulang sekarang." Riri menarik tangan Dara dan wanita itu kembali mengaduh.
"Pelan-pelan aja sih jalannya," sungut Dara.
"Kamu kenapa kok aneh. Apa jangan-jangan--"
Mata Riri menatap Dara dengan penuh curiga sambil melengkungkan senyum menggoda.
"Apaan, sih kamu."
Dara menepuk punggung sahabatnya kemudian mereka bercanda hingga tiba di parkiran.
Motor Riri melaju menuju ke sebuah jalan yang disebutkan oleh Dara. Setelah menyerahkan helm, mereka saling melambaikan tangan saat berpisah.
"Assalamualaikum." Dara mengucap salam.
Bibik membukakan pintu dan terkejut saat mendapati wanita itu yang limbung dan hendak terjatuh.
"Nyonya kenapa?"
"Demam, Bik."
"Ya Allah. Sini saya bawakan tasnya."
"Gak usah, Bik. Saya mau istirahat. Cia mana?"
"Lagi nonton film. Tadi Bibik yang ke sekolah jemput Non Cia pake ojol."
Dara berjalan menuju ruang keluarga dan mendapati putrinya sedang asyik menonton. Karena anak tunggal, Ciara memang terbiasa main sendiri.
"Mama."
Ciara memeluk mamanya erat. Sementara itu, Dara ikut menonton sebentar dan menanyakan kabar putrinya hari ini. Apa saja kegiatan sekolah dan mengecek PR.
"Mama istirahat dulu, ya."
Dara masuk ke kamar dan dan berganti pakaian. Efek obat yang diminum mulai terasa. Kepalanya sudah tak terlalu sakit. Wanita itu duduk bersandar di sofa dan membuka ponsel. Lalu mengirim pesan kepada Ibunya bahwa tidak jadi datang mengambil motor.
[Ya gak apa-apa. Yang penting kamu sehat dulu. Jangan capek-capek]
Begitulah pesan balasan yang Dara terima dari Ibunya. Tak lama terdengar mobil memasuki halaman rumah.
Dara mengintip dari balik jendela. Tampaklah sosok Dewa keluar dan berjalan masuk ke rumah. Wanita itu mengulum senyum dan kembali teringat akan kebersamaan mereka kemarin malam.
"Katanya kamu demam?" Dewa langsung bertanya ketika masuk ke kamar.
"Tadi di sekolah. Sekarang udah baikan," jawabnya.
Dewa duduk di sebelah istrinya. Tangan besar itu mengusap dahi Dara dan berbisik, "Ini gara-gara perbuatan Mas, ya. Makanya kamu jadi sakit."
Dara tertunduk malu.
"Bikin kamu begadang semalaman. Terus paginya keramas."
"Ih, mas ini ngomong apa."
"Kamu gemesin kalau malu-malu gini." Dewa mencubit pipi istrinya.
"Aku lagi sakit," tolak Dara.
"Biarin aja."
"Mas makan dulu, sana," usir Dara.
"Nanti aja. Sini Mas peluk kamu biar cepat sembuh."
Pasangan yang sedang berbahagia itu asyik bercanda hingga hari gelap dan waktunya makan malam tiba. Untungnya Ciara asyik menonton sehingga tak mengganggu mereka.
***
Beberapa hari kemudian.
"Mau ke mana?" tanya Dewa saat melihat istri dan putrinya sedang bersiap-siap berangkat.
"Ke dokter gigi, Papa. Kan Cia mau tambal. Papa lupa, ya?" tanya anak itu.
"Oh. Dokter yang waktu itu?" tanya Dewa sembari melirik ke arah Dara yang sibuk memasangkan Ciara jaket.
"Iya. Om Dokter ganteng."
"Aku mau bawa ke Dokter Maharani tapi Cia gak mau. Katanya dia minta sama Radit," jawab Dara dengan perasaan tak enak hati.
"Oh pantas perginya pagi-pagi."
"Kalau hari Sabtu gini, Radit ada praktik di klinik amal samping Masjid Raya. Jadi aku mau bawa ke sana," jelas Dara.
"Kok kamu tau?" tanya Dewa dengan wajah penuh selidik.
"Itu tanya di grup sekolah nomor hapenya," jawab Dara jujur.
"Kamu chat duluan?" Dewa balik bertanya dengan wajah tak senang.
"Mau gak mau, Mas. Biar tau jadwal dia."
"Bukan alesan aja, kan?" cecar Dewa.
Dara tersentak. Ternyata suaminya cemburuan. Sekalipun dulu mereka pernah dekat, dia tidak mungkin menghubungi Radit duluan kalau tidak perlu sekali.
"Astagfirullah, Mas ini." Dara memilih diam tak mau berdebat.
"Papa kok marah? Apa Cia gak boleh ketemu Om Dokter?"
"Kalau Cia boleh. Kalau Mama gak," sindir Dewa.
Dara menarik napas panjang. Seperti banyak kelebihan yang dimiliki Dewa, lelaki itu juga mempunyai kekurangan. Namun, sebagai sebagai pasangan, harusnya mereka melengkapi satu dengan yang lain.
"Ayo Cia kita berangkat sekarang. Om dokternya cuma sampai jam 12 aja," ajak Dara.
Berdebat hanya akan menghabiskan banyak waktu. Sedangkan mereka belum mendaftar sama sekali. Sekalipun Radit sudah berjanji akan menunggu sampai mereka datang.
Dara dan Ciara mencium tangan Dewa kemudian berpamitan pergi.
"Yaudah. Hati-hati." Dewa berpesan, lalu kembali ke kamar dan berkutat dengan setumpuk laporan.
***
Sepanjang perjalanan, Ciara bersenandung riang. Itu membuat Dara tergelak. Sejak malam itu, Dara mulai belajar menerima dan ikhlas melakukan kewajibannya sebagai ibu dan istri.
Tiba di tempat tujuan, Dara memilih area parkir. Letak klinik memang di dalam kawasan masjid. Biasanya setiap hari jum'at ada pengobatan gratis bagi warga yang kurang mampu. Hanya dia tak tahu jika Radit salah satu dokter di sana.
Setelah kelulusan, mereka berpisah. Radit mengambil jurusan kedokteran di luar kota. Sementara dia melanjutkan sekolah keguruan. Lelaki itu juga tidak masuk grup sekolah sehingga mereka lama lost contact.
"Antrean 10. Silakan menunggu di kursi. Nanti namanya dipanggil."
Mereka duduk dengan sabar sambil menunggu. Seperti biasanya, Ciara akan bercerita banyak hal. Di usianya yang sekarang, anak itu memang kritis sekali. Banyak bertanya dan mengemukakan pendapat.
Tiba giliran mereka masuk. Ciara senang sekali bertemu dengan om dokter gantengnya.
"Hai, Cantik. Apa kabar?"
Radit menyapa Ciara, tetapi matanya melirik ke arah Dara.
"Sehat, Om."
"Giginya gimana, udah gak sakit lagi?"
Ciara mengangguk. Radit memintanya duduk dan mulai melakukan pemeriksaan. Setelah dirasakannya cukup, lelaki itu meminta izin kepada Dara.
"Kita tambal sekarang aja ya, Ra."
"Oke. Mana yang menurut kamu baik aja, Dit. Aku mana ngerti," jawabnya.
"Kamu dari dulu memang gitu. Suka gak pengertian," sindir Radit.
Dahi Dara berkerut dan kebingungan apa maksud dari ucapan lelaki itu.
"Maksudnya?"
"Forget it. Aku langsung aja. Agak lama dikit prosesnya."
Radit menyuruh perawat mengambilkan sesuatu dan memulai tindakan. Setelah selesai semua, lelaki itu memberikan resep untuk ditebus di depan.
"Ini obat yang harus Cia minum. Jangan makan dulu selama satu jam ini. Kalau terjadi sesuatu yang gak enak, langsung hubungi aku. Kaliam gak usah sungkan."
"Makasih, ya." Dara hendak membayar, tetapi ditolak oleh Radit.
"Gak usah, Ra. Kayak sama siapa aja."
"Kamu udah tajir sekarang. Uang segini gak ada artinya."
"Bukan gitu. Gak apa-apalah sama teman juga," katanya.
Dara memasukkan kembali uangnya ke dompet. Tiba-tiba saja, Radit bertanya sesuatu yang membuat wanita itu kaget.
"Kamu habis sekolah langsung nikah, ya? Putrinya udah gede gini.
Dara mengulum senyum dan menggeleng.
"Aku baru nikah dua minggu, Dit. Ini anak Mas Dewa," jelas Dara, sambil memasukkan dompetnya ke tas.
Mendengar jawaban itu, Radit mengangguk karena mengerti. Lelaki itu bahkan tak mau bertanya lebih lanjut.
"Bye, Om Dokter."
Ciara melambaikan tangan sebelum keluar ruangan. Radit membalasnya dengan hal yang sama.
Tiba di area parkir, Dara membuka jok motor dan mengambil jaket. Dengan telaten dia memasangkannya kepada Ciara. Sebelum meninggalkan tempat itu, dia kembali berpesan.
"Ingat pesan om dokter ya, Cia."
"Harus rajin sikat gigi."
"Bagus," puji Dara.
"Kalau nanti gigi Cia masih sakit, kita ke tempat Om Dokter lagi kan, Ma?"
"Iya, Sayang," jawab Dara.
"Asyik."
Ciara bersorak girang. Sedangkan Dara tergelak mendengarnya. Perlahan tetapi pasti, wanita itu mulai menikmati perannya di dalam keluarga ini.