Misi

1025 Words
Sudah satu minggu mereka menikah, dan selama itu juga Dara berada di kamar Ciara. Alasan Dara tetap sama, kasihan putrinya jika tidur sendirian sekalipun sudah sembuh. Itu membuat Dewa diam-diam menyimpan rasa kesal. Putrinya juga sama, lebih senang ditemani oleh Dara dari pada dirinya. Sudah satu minggu ini juga Dara mempelajari kebiasaan keluarga ini. Dari Dewa yang suka menyimpan handuk basah di kasur, meletakkan tas kerja atau ponsel di sembarang tempat, juga menarik baju sembarangan dari lemari. Ah, rasanya semua laki-laki memang begitu. Satu lagi, Ciara terlalu dituruti semua keinginannya sehingga anak itu sangat manja. Apa pun yang ingin dia minta untuk jajan, maka Dewa akan langsung membelikan, tak peduli itu baik untuk kesehatan atau tidak. Alhasil, hari ini anak itu mengeluh sakit gigi. "Tadi beli apa waktu jalan sama papa?" Ciara memandang Dara dengan sedikit takut, padahal dia hanya bertanya, bukan memarahi. "Ngggg ...." "Jawab mama. Biar tahu penyebab sakitnya. Apa mau langsung ke dokter aja buat periksa?" Wanita itu bertanya dengan hati-hati. Selain manja, perasaan Ciara juga sangat sensitif sehingga gampang merajuk atau menangis. "Itu tadi ... gulali. Sama es krim." Oh, oke. Dara menarik napas panjang. Apa dulu mendiang adiknya juga bersikap sama? Jika iya, ini sulit untuk diubah. "Sini mama lihat." Anak itu membuka mulut dengan lebar kemudian pasrah saat Dara mulai memeriksa. "Ada apa?" Dewa tiba-tiba masuk ke kamar putrinya. Ini hari minggu, jadi sebelum besok masuk kerja karena cuti sudah selesai, tadi dia mengajak Ciara jalan-jalan. "Cia sakit gigi. Tadi jajan sembarangan, ya?" tanya Dara. "Jajan kayak biasa. Beli es krim," jawab Dewa. "Beli gulali juga, kan? Udah tau giginya bolong kenapa malah dikasih," kata Dara sambil menatap Dewa. Lelaki itu menjadi salah tingkah. Ternyata sifat asli Dara mulai kelihatan. Dia pikir istrinya ini lembut karena wajahnya sangat ayu. Ternyata diam-diam galak. "Cuma satu. Terus Cia makan setengah, sisanya mas yang abisin," kata Dewa membela diri. Dia tidak berbohong, memang itu kenyataannya. Mata cantik Dara melirik ke arah jam di dinding yang jarumnya menunjukkan angka 3 sore. "Kita ke dokter aja, Mas. Ini dia ngeluh sakit terus. Aku kompres aja sebentar sama kumur dengan air garam," kata Dara memberikan solusi. "Terserah kamu. Dokter praktek juga habis maghrib baru buka. Nanti kita shalat jama'ah dulu baru jalan," jawab Dewa. Dara mengangguk lalu berjalan ke dapur dan mengambil es batu. Dia juga memasukkan garam ke dalam segelas air. Ciara menuruti apa saja yang diminta oleh mamanya. Dewa juga ikut membantu mengambil gelas yang disodorkan, padahal sengaja ingin memegang tangan Dara. "Awas gelasnya jatuh." Dia setengah berteriak saat Dewa merampas gelas itu. "Kamu ini, sentuhan sama suami aja takut. Kayak kita bukan mahram," gerutu Dewa. Rasanya dia harus mencari cara agar Dara kembali ke kamarnya. Mungkin dengan berpura-pura sakit sehingga bsia mendapatkan perhatian istrinya. Masa' Ciara saja yang dimanja, dia juga mau. "Mas megangnya kayak gitu. Ntar airnya tumpah," jawab Dara. "Kalau tumpah tinggal dibersihkan. Gak usah repot. Suami lebih penting. Sudah tidur sendirian, pegang tangan juga dilarang," gerutu Dewa lagi. Dara tergumam mendengarnya. Bukannya ini memang kesepakatan, atau ... jangan-jangan Dewa malah ingin mengingkari janji? "Tolong mas bawakan semua ke dapur. Aku masih mau ngelonin Cia. Ngantuk kayaknya ini," Dara menyerahkan nampan tempat membawa gelas dan mangkuk es batu. "Cia aja dikelonin. Papanya kapan?" Suaranya pelan sekali, namun sayu-sayup masih terdengar oleh Dara. Wanita itu menggelengkan kepala melihat tingkah suaminya. Jika situasinya begini, rasanya Dara ingin cepat-cepat masuk kerja daripada mengurus dua orang manja di rumah ini. "Cia bobok, ya. Mama mau beresin yang lain. Besok kan mama udah mulai ngajar lagi," bujuknya. "Gimana Cia mau sekolah kalau sakit gigi?" "Nanti habis maghrib kita ke dokter periksa. Kan dikasih obat tuh, mana tau sembuh." "Cia takut." "Jangan takut, kan ada mama nemenin. Papa juga." "Mama jangan pergi, ya. Jangan tinggalin Cia kayak Mama Laura." Hati Dara perih saat mendengarnya. Betapa mereka sangat menyayangi mendiang adiknya. Cia yang selalu menyebut nama Laura juga Dewa yang masih suka keceplosan menyebutkan kebiasaan adiknya. Dara merasa, dia hanya menjadi bayang-bayang di rumah ini. Tapi bukannya itu yang diinginkan? Dia juga telah meneguhkan diri untuk tidak bermain hati selama menjalani pernikahan ini. "Iya. Mama gak akan pergi." "Janji?" "Janji!" Dua jari kelingking bertautan tanda sepakat. Disertai dengan senyuman manis yang melengkung dari bibir Ciara. "Kamu pejamkan mata. Nanti mama bangunkan kalau udah mau pergi." Gadis kecil itu menangguk, lalu memejamkan mata. Nyeri giginya sudah mulai berkurang, tapi dia tetap akan ikut ke dokter gigi karena mamanya yang meminta. Dara menutup pintu dan melangkah keluar. Dia lapar, sejak tadi sibuk mengurus ini itu hingga lupa makan. Di bibik libur setiap hari minggu atau tanggal merah. Jadi seharian dia memasak di dapur dan membersihkan rumah. "Aduh, aduh!" Dara berhenti di depan kamar Dewa saat mendengar rintihan. Dia berpura-pura cuek namun suara itu terdengar lebih kencang. Kaki kecilnya melangkah mendekat ke arah daun pintu yang setengah terbuka dan menguping. "Aduh ... sakit banget." Dewa kenapa? Dia bertanya dalam hati. Rasanya tadi sewaktu di kamar Ciara, suaminya itu baik-baik saja. Kenapa sekarang malah mengaduh? Karena penasaran, dia membuka pintu itu lebih lebar lalu terkejut saat melihat Dewa terbaring di kasur sambil memegang perut. "Kenapa, Mas?" Dewa membuka sedikit mata lalu berpura-pura mengaduh lagi. "Perut melilit banget. Gak tau kenapa." "Masuk angin? Atau mules?" Lelaki itu menggeleng. "Terus?" Dara duduk di pingigir ranjang dan menatap suaminya dengan kebingungan. Seharian ini, kenapa semua orang rumah serentak sakit? Mana bibik libur juga. "Coba kamu lihat." Dewa menunjuk perutnya. Tanpa curiga Dara mendekat dan membuka kaus Dewa dan mengusap pelan. Sama seperti saat dia mengusap pipi Ciara yang sedikit bengkak. "Masih sakit?" "Huum." "Mas ini kayak cewek datang bulan aja, mules gak jelas," gerutunya karena sejak tadi sakitnya belum hilang. Dewa mengulum senyum, lalu ketika Dara melihat wajahnya dia berpura-pura kesakitan lagi. "Aku ambilkan minyak gosok. Kali aja sembuh." Dara hendak beranjak saat tiba-tiba saja tangannya dipegang lembut. "Gak usah. Diginiin aja udah enakan, kok." "Yaudah kalau gitu, mas tiduran aja. Nanti pas mau berangkat aku bangunin. Cia juga lagi tidur." "Tapi kamu temenin, ya?" pinta Dewa manja. "Kok gitu?" "Nanti perut mas sakit lagi." Mata Dara melotot mendengar itu. Belum sempat dia menjawab, dengan cepat Dewa meraih kepalanya, kemudian menyentuh bibirnya dengan lembut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD