Canggung

1062 Words
Prang! Vas bunga yang terletak di nakas terjatuh saat Dara tak sengaja menyenggolnya. Wanita itu menjadi salah tingkah ketika melihat Dewa keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk. "Kamu kenapa?" Dewa ikut berjongkok dan membantu istrinya membersihkan pecahan kaca. "Itu tadi gak sengaja." Wajah Dara merona. Apalagi tubuh mereka berdekatan sehingga aroma sabun yang dipakai Dewa menguar hingga ke inderanya. "Hati-hati. Jangan buru-buru." Dengan cekatan Dewa memasukkan bekas pecahan kaca ke dalam plastik. Lalu, dia membuangnya di tempat s****h yang terletak di sudut kamar. "Iya, Mas," jawab Dara. Kemudian dia mengambil tissue basah dan membersihkan lantai, khawatir masih ada sisa pecahan. Mendengar Dara menyebutnya 'mas', senyum melengkung di bibir Dewa. "Sana mandi. Gak gerah?" tanya lelaki itu sambil mencuri pandang. "Udah." Dara segera berdiri. Bersamaan dengan itu, Dewa juga melakukan hal yang sama. Sehingga kepala mereka berbenturan. Dara meringis. Sementara itu, Dewa dengan refleks langsung menarik kepala sang istri dan mengusapnya pelan untuk mengurangi rasa sakit. "Sakit?" Dara mengangguk, lalu tersadar dan melepaskan diri. Rona wajah keduanya memerah dan menjadi salah tingkah. Dewa berpura-pura terbatuk untuk menutupi rasa canggung. Apalagi ini malam pertama yang diidamkan para pasangan baru. Namun tidak untuk Dara. "Sorry, mas gak bermaksud--" "Gak apa-apa." Daraberpura-pura menarik koper dan memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. Acara pernikahan mereka selesai setelah waktu Isya tadi. Tadinya dia masih ingin berada di rumah orang tua sampai besok pagi. Namun, Dewa malah memintanya untuk pulang ke rumah lelaki itu. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, mereka langsung berangkat. Dara juga hanya membawa baju seadanya. Mungkin nanti, sedikit demi sedikit dia akan memindahkan beberapa barang. "Mas laper," kata Dewa sembari memakai kaus. Dara menoleh dan lagi-lagi membuang pandangan karena tak sengaja melihat tubuh suaminya. "Ada lauk sisa acara tadi. Dibekalin sama Ibu. Mas mau?" "Boleh. Hangatkan aja. Mas tunggu." Dara segera bergegas menuju dapur. Sebelum mereka menikah, lelaki itu pernah satu kali membawanya ke rumah ini untuk melihat-lihat. Sehingga dia sudah hafal beberapa letak ruangan dan barang-barang. Dara mengeluarkan sebuah box yang berisikan rendang juga sop ayam. Lemari es yang ukurannya cukup besar itu mendadak penuh karena bekal yang dibawakan ibunya tadi. Saat Dara berpamitan untuk pulang ke rumah suaminya, ada rona kecewa dari wajah ibunya. Untuk menghibur, dia berjanji jika weekend minggu depan mereka akan datang berkunjung. Dara masih mengaduk sesuatu di panci saat Dewa masuk ke dapur. Lelaki itu memperhatikan istrinya yang sedang memasak dan berjalan mendekat. Dara tidak sadar bahwa suaminya berdiri di belakang. Saat hendak berbalik badan, tubuh mereka berbenturan kembali. Namun, kali ini Dewa dengan cepat merengkuh pinggang wanita itu. Untuk beberapa saat mereka bertatapan dengan debar-debar di d**a. Dara mencoba melepaskan rengkuhan itu. Namun, Dewa menahannya. "Nanti gosong, Mas. Aku mau ambil piring di lemari." Akhirnya dengan berat hati Dewa melepaskan tubuh istrinya dan membiarkan kaki kecil itu melangkah menjauh. Setelah mengambil piring dan gelas, Dara menata semua di meja dan memindahkan lauk di dalam mangkuk. Dewa menarik kursi dan duduk menatap sajian. Sepanjang acara tadi, mereka sibuk menerima tamu sehingga lupa makan. Setelah selesai, barulah terasa kalau perut minta diisi. Dara mengambilkan nasi dan meletakkan piring di hadapan suaminya. Itu membuat Dewa terkejut. Selama berpacaran dengan Laura, dia belum pernah mendapatkan perlakuan seperti itu. Sikap Dara kali ini, mirip sekali dengan almarhumah istri pertamanya dulu, Sarah. "Mas kok bengong? Ayo, dimakan!" Dewa mengambil lauk dan mulai menyuap. Rumah ini sepi karena Ciara sudah tidur sejak dalam perjalanan pulang tadi. Sehingga begitu sampai, lelaki itu menggendong putrinya ke kamar dan mematikan lampu. "Gak salah aku milih kamu sebagai istri," lirih Dewa sembari tersenyum. "Apa, Mas?" tanya Dara bertanya karena ucapan suaminya hanya terdengar sekilas. "Eh, nggak. Ini makannya enak banget," katanya berbohong. "Pesan di katering langganan mama. Menu yang dipesan ini kesukaan Laura dulu," ucap Dara. Seketika wanita itu tersadar bahwa dia sudah mengungkit masa lalu. "Iya memang kesukaan Laura. Sop ayam." Dewa ikut mengenang kebiasaan mantan kekasihnya. Sempat terdengar bisik-bisik mengenai pernikahan ini. Laura baru saja dimakamkan. Harusnya keluarga masih dalam masa berkabung. Namun, mereka tetap melangsungkan ijab kabul. Tiba-tiba saja suasana menjadi hening. Jika mengingat almarhumah Laura, hati Dara terasa sakit. Dia seperti pengkhianat yang telah merebut kekasih adiknya. Tidak Dara, kamu tidak merebut. Hanya menggantikan posisinya karena dia sudah tidak ada. Begitulah bisikan yang bergaung di kepalanya. "Eh, nanti kamu tetap mau ngajar?" tanya Dewa memecah keheningan. "Iya, Mas. Selama Ciara sekolah aku tetap ngajar. Nanti pulangnya aku sempatkan jemput." "Apa kamu gak capek kalau bolak-balik?" "Gak apa-apa, udah biasa. Aku kan cuma pegang satu mata pelajaran. Jadi santai." Dara memang berprofesi sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah pertama milik swasta. Sehingga jadwalnya tidak terlalu padat. Dewa mengangguk mendengarkan penjelasan istrinya. Ada banyak hal yang mereka tidak ketahui tentang kehidupan pribadi masing-masing. Selama dia berpacaran dengan Laura, lelaki itu hanya tahu bahwa Dara beprofesi sebagai seorang guru. Mereka tidak pernah berbincang lama, paling hanya bertegur sapa saat bertemu. Alasan mengapa Dews meminta Dara menjadi istrinya hanya semata-mata demi Ciara. Dan mengapa ada denyar di hati, dia tak tahu jawabannya. Mungkin naluri sebagai lelaki sedang bekerja. Setelah selesai makan, Dewa masuk ke kamar. Sementara Dara masih berkutat dengan cucian piring. Kata suaminya setiap hari ada seorang ART yang akan membantu pekerjaan rumah, tetapi tidak menginap. Si Bibik hanya datang pagi-pagi dan pulang setelah Magrib. Dara membuka pintu kamar dan melihat suaminya sedang duduk di ranjang sambil menonton channel favorit. Wanita itu jadi serba salah. Matanya sudah mengantuk. Namun, kalau tidur disebelah lelaki itu rasanya tidak enak. Rasanya dia tidur di kamar Ciara saja. "Tidur sini kalau udah capek." Dewa menepuk bantal di sampingnya. "Tapi--" Melihat kegugupan istrinya, Dewa tahu apa yang ada dipikiran wanita itu. "Kan aku udah janji, gak bakal nyentuh kamu. Tidur aja. Aku masih mau nonton." Tanpa menjawab, Dara melangkah pelan lalu membaringkan tubuh. Dia menarik selimut hingga ke leher. Itu membuat Dewa menahan tawa. Kedua kelopak mata wanita itu mulai terpejam karena rasa lelah yang melanda. "Cantik." Dewa menatap wajah istrinya dan mengusap pipi itu dengan lembut saat dengkur halus Dara terdengar. Lelaki itu mendekatkan wajah mereka dan hendak mendaratkan ciuman, ketika ketukan pintu terdengar disertai tangisan kencang. "Cia mimpi hantu. Takut, mau tidur sama mama aja," ucap gadis kecil berusia 8 tahun itu dengan penuh permohonan. Dewa menarik napas panjang lalu menggendong putrinya naik ke ranjang. Lalu dia meletakkan tubuh mungil itu di tengah. Lelaki itu mengusap wajah berulang kali karena niat untuk menyentuh Dara jadi pupus dengan kehadiran putrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD