Wajah Ayesha pucat pasi. Melihat pria yang menyapanya, Ayesha lantas berlari mendekati pria itu dan bersembunyi di belakangnya. “Wa’alaikumussalam,” jawab Ayesha sambil menurunkan pandangan. Matanya sudah memerah, kedua tangannya bergemetar.
Pria itu kaget dan langsung tersenyum sambil menggaruk lengan. “Wa’alaikumsalam. Eh, Ustadz Khalid.” Dia panik sambil memperhatikan sekitar sana. “Apa kabar, Ustadz? Sudah lama tidak kelihatan di Masjid besar kampung kami,” imbuhnya berpura-pura ramah.
Khalid menatap tajam seorang pria yang merupakan Kepala Desa dari kampung sebelah. Tentu ia mengenali pria yang sering meminta dirinya untuk mengisi ceramah ba’da Isya di Masjid mereka.
Tidak mau membuat keributan sepagi ini, ia lantas mengurai senyuman tipis di wajahnya sambil menjawab, “Alhamdulillah, saya baik. Bapak bagaimana? Apa masih ada acara yatim piatu di kampung kita?” tanyanya sopan.
“Ah, masih, Ustadz. Kalau acara yatim piatu tidak pernah terlewati setiap minggu, Ustadz. Begitu,” jawabnya tersenyum malu-malu dengan tubuh sedikit membungkuk kala mendapat sambutan ramah dari pria yang sangat dihormati dan disegani semua orang. Dia bingung harus bersikap bagaimana ketika tahu kalau pemilik toko langsung bersembunyi di belakang Khalid. Perasaan malu luar biasa hingga dia sulit untuk berkata pamit.
“Alhamdulillah. Ini, Pak Kades mau pesan bunga?” tanya Khalid menatap pria itu, lalu menoleh ke kanan seraya berkata, “Iya, Dek?” Ia membiarkan Ayesha bersembunyi di belakangnya.
“Iya, Bang.” Ayesha menjawab pelan sebab suaranya mulai serak karena takut.
Khalid tersenyum dan menatap pria itu lagi.
“Ustadz, tadi Ustadzah sudah memberitahu saya toko bunga di seberang jalan. Saya pamit ke sana dulu, Ustadz. Kebetulan saya butuh bunganya pagi ini.”
“Oh, iya, silahkan. Hati-hati di jalan, Pak.”
“Iya, Ustadz. Sama-sama. Mari, Ustadz, Ustadzah. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,” jawab Khalid masih tersenyum dan mengawasi pandangan pria itu supaya tidak melirik ke arah Ayesha yang ia pikir mungkin sangat ketakutan.
“Wa’alaikumussalam,” gumam Ayesha seraya menghindar kala tahu bahwa mobil tersebut mulai melaju.
Ketika mobil tersebut sudah jauh dari tokonya, Khalid bersuara, “Dia sudah pergi.” Dia terkejut melihat Ayesha berjalan cepat masuk ke dalam toko. “Ayesha?” panggilnya spontan mengekori.
Tanpa menutup pagar besi toko, ia masuk ke dalam sambil menyeka air mata yang telah tumpah. Ayesha terisak sambil memegang d**a. Rasa takut yang sungguh luar biasa. Bagaimana mungkin dia menerima sikap pelecehan seperti tadi. Apalagi Khalid tahu bahwa pria tadi adalah Kepala Desa.
Ayesha tidak ingin wajah dan tubuhnya menjadi khayalan pria lain. Dia tidak mau mendapat dosa jariyah dari bayangan pria lain yang bukan halalnya.
Jika tidak ada Khalid, entah apa yang akan terjadi tadi. Ia terisak tanpa bersuara sembari menyeka air mata dan mengeluarkan cairan yang menyumbat hidung.
“Jangan khawatir, aku tetap di luar sambil menunggu Pak Ujang datang,” ucapnya dari luar toko.
Khalid duduk di bangku panjang bersama bunga-bunga berada di kanan dan kirinya. Ia menyeka keringat di kening dan lehernya. Kondisi Ayesha sampai seperti itu. Pasti ada bahasa atau sikap yang tidak sopan, yang ia terima dari pria tadi.
Betapa ia bersyukur karena Allah telah memberikan petunjuk dengan menggerakkan hatinya untuk tidak menunggu tadi. Sedangkan Pak Ujang menunggu supir lain menjemput mereka dengan mobil berbeda.
Mobil mereka mogok di perempatan jalan besar. Pak Ujang sempat menyuruhnya untuk menunggu beberapa menit. Namun, Khalid mengikuti kata hati, memilih berjalan kaki menuju toko Ayesha.
Dari kejauhan tadi, Khalid melihat seorang pria berbincang dengan Ayesha. Karena tidak asing dengan wajahnya, Khalid berjalan cepat. Apalagi ia sempat berpikir kalau Ayesha seperti sedang menghindar. Ternyata benar saja, bersyukur dia tidak terlambat dan menghentikan sikap pria yang ia tahu tidak bisa menjaga pandangan.
Tidak bisa ia bayangkan, jika Ayesha membuka toko sepagi ini setiap hari. Lalu kejadian sama terulang kembali. Khalid langsung beristighfar dalam hati karena tidak mau jika bisikan syaitan terus mengelabui hati dan pikirannya. Dia tidak akan suudzhon terhadap Allah yang Maha Tahu.
“Assalamu’alaikum, Ustadz.” Ayesha keluar dari toko dengan wajah sudah bersih dan cerah.
“Wa’alaikumussalam, Ustadzah Ayesha,” jawab Khalid meliriknya sekilas, lalu melempar pandangan ke arah lain. ‘Masha Allah, sungguh indah ciptaan-Mu, wahai sang Maha Pencipta,’ batinnya memuji, kemudian beristighfar.
Ayesha duduk di bangku lain, berjarak dengan bangku panjang yang ditempati oleh Khalid. Hatinya cukup tenang dengan kedatangan Khalid di waktu yang tepat.
“Terima kasih, Ustadz.”
Khalid menoleh ke kiri tanpa melihat Ayesha. Dia mengangguk, tersenyum tipis. “Sama-sama, Ustadzah. Saya minta maaf jika ucapan saya tadi terkesan tidak sopan.”
“Tidak apa-apa, Ustadz. Saya justru berterima kasih. Tapi, panggil nama saja, Ustadz.”
“Ah, ya. Kalau begitu kamu juga.”
“Tidak, Ustadz. Saya harus menghormati yang lebih dewasa dari saya.”
Melirik ke kiri, Khalid termangu mendengar ucapan Ayesha barusan.
“Eumh, Ustadz ke sini jalan kaki?” tanya Ayesha mencoba untuk meleburkan keheningan di antara mereka.
“Ah, ya ….” Dia gugup dan langsung membenarkan jawaban lalu berkata, “Oh tidak. Maksud saya, Pak Ujang sedang menunggu Pak Budi di perempatan jalan besar. Karena tidak mau menunggu, saya memilih berjalan kaki aja sambil olahraga pagi,” sambungnya jujur.
Ayesha menoleh ke kanan, menatap bunga di sebelah sana. “Ustadz tidak bawa mobil?” tanyanya penasaran.
“Bawa, tapi qadarullah mobil kami mogok. Pak Ujang tidak tahu apa penyebabnya. Mesin bagus dan tidak ada ban yang bocor. Jadi, saya sudah menghubungi Pak Budi supaya menyusul kami.”
“Dan semua terjadi karena kehendak-Mu, ya Allah,” batin Ayesha tersenyum tipis. “Oh, begitu.” Dia langsung berdiri dan berjalan masuk ke dalam toko.
Khalid melihat punggung Ayesha berlalu masuk ke dalam, ia pun tersenyum tipis. Suara Ayesha begitu lembut. Tidak jauh berbeda ketika ia sedang marah terhadap sikapnya waktu itu. Pikiran Khalid mulai melalang buana. Dia kembali beristighfar demi mencegah sesuatu yang tidak diinginkan masuk ke dalam akal dan pikirannya.
“Bunga yang dibawa sangat banyak, Ustadz. Dan saya juga membawa tiga buket untuk Umi, Ustadzah Zainab sama untuk Aisyah. Apa cukup di mobil kalian, Ustadz?”
“Insya Allah, cukup kalau hanya bunga saja yang dibawa.”
Kening Ayesha mengerut. “Maksud, Ustadz?”
Khalid berdiri sambil menatap Ayesha. “Kalau pohon bunganya juga dibawa, kemungkinan kita harus memakai mobil dengan atap terbuka lebar,” imbuhnya sambil menahan senyum.
Ayesha langsung mengulum senyum. “Ustadz bisa aja. Tidak mungkin saya bawa pohonnya.” Dia berjalan menuju bunga Lily yang akan mereka bawa. “Ini bunga yang kita bawa, Ustadz. Sisanya ada di dalam. Tapi harus diisi air begini. Jadi, sebisa mungkin bawa mobilnya mesti pelan-pelan, Ustadz.”
“Oh begitu. Nanti kita bilang sama Pak Ujang,” sahut Khalid sambil memperhatikan bunga Lily di sana.
“Kita?” Ayesha sedikit risih sekaligus aneh mendengar Khalid mengatakan kalimat barusan seolah mereka sudah mengenal dekat. Namun, apa yang terjadi pagi ini seketika melunturkan pikiran buruknya terhadap sosok Khalid. Meski rasa sakit hati itu masih berlanjut, tetapi Ayesha berusaha untuk melupakannya.
Tidak banyak perbincangan di antara mereka. Sambil menunggu supir datang, Ayesha memilih berada di dalam toko, sementara Khalid tetap duduk di depan toko.
Dalam keadaan tenang, Khalid mengisi waktunya sambil berdzikir dan murojaah dengan suara pelan yang dipastikan tidak akan terdengar oleh Ayesha. Begitu juga yang dilakukan oleh Ayesha, ia mengurus tanaman yang ada di dalam toko sambil bershalawat terus menerus.
***
Perjalanan tidak begitu jauh. Hanya 45 menit saja dari toko bunganya menuju rumah Khalid. Selama di perjalanan, Ayesha tidak mau membuka suara. Khalid juga memahami keadaan dan tidak mau berinteraksi banyak dengan Pak Ujang yang menyetir demi menghormati Ayesha.
Setelah sampai di kediaman Khalid, tentu saja Ayesha harus bersiap diri untuk bertemu dengan Buya Hamzah selaku pemilik Madrasah, tempat ia pernah mengajar. Betapa malu Ayesha kala tahu bahwa kedatangannya sudah ditunggu oleh mereka.
Di dalam rumah, Asiyah menyambut kedatangan Ayesha. Dia pikir wanita cantik nan salehah itu tidak mau berada satu mobil dengan putranya, ternyata bujukannya sukses.
“Assalamu’alaikum, Umi.” Ayesha tersenyum lebar mendekati wanita yang ia sayangi. “Ini untuk Umi,” sambungnya sambil memberikan buket bunga untuk sang Umi.
“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah, jazakillah khairan katsiran, Ayesha.” Asiyah memeluk Ayesha sekaligus mengucapkan terima kasih atas hadiah bunga yang diberikan.
Ayesha tersenyum dan menikmati hangatnya pelukan seorang Ibu. “Wa jazakillahu khairan, ya Umi. Semoga Umi suka bunganya,” sambungnya sambil tersenyum dan mendoakan dengan kebaikan yang serupa.
Asiyah mengendurkan pelukan mereka. Membelai wajah putih, bersih, nan cantik, Ayesha yang ia idamkan menjadi calon menantu. “Zadakallahu nuuron wa ihsaanan wa sitran wa barakatan wa ridhan.” Ia mendoakan banyak kebaikan untuk Ayesha agar Allah menambah cahaya, sinar, keberkahan, serta keridhoan dalam hidupnya.
“Ammiinn, ya Rabb.” Ayesha tersenyum dan berusaha menahan air mata. Sudah berapa lama dia tidak mendengar doa seorang Ibu terhadapnya. Wanita ini memberikan doa tersebut dengan tulus ikhlas.
“Assalamu’alaikum, Ustadzah Ayesha.” Seorang wanita menghampiri mereka sambil tersenyum menyapa Ayesha.
Mereka lantas melihat ke arah Zainab sambil membalas ucapan salamnya.
“Nak, itu Ukhti Zainab. Kakaknya Khalid.”
Ayesha segera mengambil buket bunga yang ia taruh dalam keranjang. “Ini untuk Ustadzah,” ucapnya.
Zainab menerima pelukan dari Ayesha. “Jazakillah khairan katsiran, Ustadzah.”
“Wa iyyaki. Panggil Ayesha saja, Ustadzah.” Ayesha tersenyum ramah.
“Kalau begitu, kamu juga panggil saya Ukhti saja,” sahutnya cepat.
Mereka tertawa geli dengan permintaan masing-masing.
“Ayo, sini, Nak. Biarkan mereka menurunkan bunganya.” Asiyah sangat bahagia sekali.
Pagi ini adalah pertemuan pertama keluarganya dengan Ayesha. Semua terjadi karena doanya dikehendaki oleh Allah. Namun, dia tidak mau memaksa Ayesha untuk sesuatu yang ia inginkan. Dia dan suaminya ingin semua berjalan sesuai dengan kehendak-Nya.
Khalid memperhatikan interaksi Umi dan sang Kakak terhadap Ayesha. Mereka cepat sekali akrab satu sama lain. Kendati demikian, ia tetap merasa aneh dengan sikap sang Umi terhadap Ayesha. Pertanyaan yang belum terjawab hingga detik ini.
Sembari membantu kedua supir menurunkan bunga-bunga dari mobil, sesekali ia memperhatikan pintu rumah. Entah kenapa, dia merasa canggung dengan kehadiran Ayesha di rumah mereka. Ada perasaan tidak biasa dan keinginan yang tidak ia mengerti.
“Kamu sudah sarapan, Ayesha?”
“Sudah, Ukh.”
“Ayo, Nak. Kita ke dapur sebentar. Umi masak sesuatu, mungkin kamu belum pernah mencicipi masakannya di mana pun.”
“Tapi, Umi—”
“Jangan menolak, Ayesha. Kamu hari ini ada jadwal lain?”
“Tidak ada sih, Ukh. Tapi, Ayesha segan, Ukh, Umi.”
“Nak, Buya dan Akhi Qais sedang di luar. Ada kajian bersama di Masjid besar. Kebetulan Khalid tidak ikut karena sebentar lagi mengisi ceramah di kampung sebelah. Jadi, tidak ada siapa-siapa di rumah ini.”
Ayesha tersenyum malu-malu.
“Cuma ada Khalid saja kok. Dia juga ada di depan. Yuk, kita cobain masakan Umi.”
Maksud hati berniat pulang cepat karena segan, tetapi Umi dan Ukhti Zainab justru mengajak dirinya menikmati makanan. Pertama kali bertemu dengannya, seakan memberi kesempatan bagi Ayesha merasakan kasih sayang seorang kakak. Ia diperhatikan, diberi nasihat, dan diajak berbagi ilmu mengenai kitab-kitab yang belum pernah ia baca.
Setelah selesai menikmati makanan, Ayesha izin kepada mereka untuk mulai menghiasi bunga sesuai pinta mereka. Namun, sayangnya mereka justru menyerahkan semua kepadanya.
Ayesha hendak dibantu oleh mereka, tetapi dia menolak halus dengan alasan tidak bisa berkonsentrasi bila dibantu oleh tangan kedua. Tentu saja dia tidak mau merepotkan keluarga yang sudah membayar mahal jasanya.
Hampir 1 jam dia menghias beberapa ruangan di rumah yang sangat luas, mengingatkan dirinya akan rumah sang Guru yang berada di Mesir. Terbesit di benak Ayesha kalau keluarga Khalid sangat rendah hati meski kehidupan mereka tergolong di atas rata-rata kebanyakan orang.
“Sebentar lagi selesai. Tinggal nyiapin bunga untuk di kamar Umi dan Ukhti. Biar mereka tinggal ambil sendiri. Oh, iya, di kamar Aisyah belum,” ucapnya sembari memilih bunga yang ia simpan khusus, berbeda dengan bunga yang dipajang di ruangan terbuka.
“Assalamu’alaikum, Ustadzah Ayesha.”
Kening Ayesha mengerut, mendengar suara mungil mengucap salam kepadanya. Ia menoleh ke belakang. Senyumannya mengembang kala melihat sosok gadis mungil berhijab panjang tampak malu-malu mendekatinya.
“Wa’alaikumussalam. Eh, ada siapa di sana? Kita belum kenalan ya?” Ayesha langsung berdiri sambil mengambil buket bunga khusus untuk gadis kecil cantik yang kemungkinan baru bangun tidur.
Anak perempuan yang akrab disapa Aisyah lantas menoleh ke belakang, melihat sang Uma tersenyum ke arahnya.
“Kok lihatin Uma? Ya sudah sana. Katanya mau kenalan langsung sama Ustadzah Ayesha. Dia adiknya Uma juga. Temannya Halli Khalid,” terang Zainab memberitahu sambil berjalan menuju ruangan lain.
Ayesha tersenyum sambil mendekati Aisyah. “Nama saya, Ayesha. Nama kamu siapa?” tanyanya menerima salam cium darinya.
“Nama Aisyah, Aisyah binti Qais, Ustadzah.” Dia mulai melebarkan senyuman kala mendapat buket bunga mawar putih.
“Wah, nama yang indah. Ini bunga untuk Aisyah dari …,” ucapnya menghentikan kalimat seraya berpikir. Namun, belum sempat ia melanjutkan kalimat, Zainab langsung menyahut dari arah sana.
“Halaty Ayesha saja. Biar lebih akrab,” sahut Zainab membuat paham putrinya sambil ia berlalu menuju dapur.
Ayesha melirik sang Ukhti di sana justru tersenyum. Dia jadi malu sekarang.
Bahagia karena diberi bunga indah nan wangi, Aisyah melirik wanita yang masih berjongkok di hadapannya. “Syukron jazakillah khairan, Halaty.”
Gemas dengan pipinya yang kemerahan, Ayesha langsung mengecup tangan kanannya, “Wa iyyaki, ya Aisyah. Nama kita mirip ya. Tapi wajahnya lebih cantik kamu,” puji Ayesha seraya mengambil hati gadis mungil ini.
“Halaty juga cantik. Tapi …,” pujinya sambil melihat bunga-bunga masih berserakan di lantai. Ia bertanya kembali, “Halaty belum selesai merangkai bunga?”
“Belum. Lihat, masih ada banyak. Dan Halaty sedang memilih bunga untuk kamar Aisyah.”
“Umh, apa Aisyah boleh bantu Halaty?”
Ayesha memperhatikan raut wajah gadis ini tampak berharap penuh. Ia pun tersenyum. “Memangnya Aisyah mau bantu? Nanti lelah loh.”
“Tidak, Halaty! Aisyah bisa kok. Soalnya Aisyah sudah besar, sudah bisa bereskan tempat tidur sendiri.”
“Oh ya? Aisyah serius?”
Mata Aisyah berbinar kala sahutan dari sang Halaty seakan tengah tidak percaya dengan kemampuannya. “Iya, Halaty! Kalau tidak percaya, Halaty tanya saja sama Uma.” Dia berbangga diri.
Ayesha tertawa geli melihat antusias Aisyah. Ia mengecup pipi Ayesha berulang kali. “Kamu wangi, kamu cantik. Sekarang, ayo bantu Halaty. Aisyah bisa pilih Lily yang Aisyah mau untuk pengharum kamar.”
“Aisyah boleh pilih sendiri, Halaty?”
“Iya, Humairah. Kamu boleh pilih sendiri.”
“Terima kasih, Halaty! Aisyah mau pilih bunga yang paling besar!”
“Silahkan dipilih, ya Humairah. Nanti kalau sudah selesai pilih. Tinggal hitung berapa bunganya. Lalu bayar dengan kecupan sebagai tanda terima kasih. Bagaimana, setuju?”
Aisyah melebarkan senyuman. “Setuju, Halaty! Yeay! Aisyah mau pilih bunga yang lebih besar dan wangi, yang mana ya, Halaty?”
“Yang mana ya? Coba Halaty bantu cari, lalu tugas Aisyah tinggal memilihnya saja.”
Betapa bahagia wajah Aisyah mendapat pekerjaan yang berhubungan dengan bunga. Membantu merangkai dan dimintai tolong memegang pita saja, wajahnya sudah sebahagia itu. Entah kenapa, rasanya dia sangat nyaman di rumah ini walau baru menginjak pertama kali. Mungkin karena tidak ada laki-laki di sini selain Khalid yang sudah ia kenal, termasuk Buya Hamzah yang sedang tidak ada di tempat.
Selama merangkai bunga, Aisyah bercerita banyak hal mengenai kisah-kisah Nabi yang ia dengar dari orang tuanya, dari Jiddo dan Jiddah-nya tidak terkecuali dari Halli Khalid, pamannya. Ayesha bahagia bila berada di dekat Aisyah karena dia penyayang anak-anak.
Keseruan bercerita membuatnya tidak sadar kalau mereka menghabiskan banyak waktu di sana. Ayesha berpindah tempat meletakkan bunga di kamar Aisyah. Tadinya, ia menolak masuk. Namun, Aisyah memaksa sebab mau memamerkan boneka yang ia beli dari Mekkah sekaligus tempat tidur rapi miliknya.
“Ini kamar Aisyah, Halaty. Aisyah suka warna hijau dan putih. Karena kata Uma, warna hijau adalah warna kesukaan Nabi Muhammad,” ucapnya menjelaskan dengan ekspresi bahagia.
“Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” sahut Ayesha kala mendengar nama Nabi disebut olehnya.
Ayesha memperhatikan posisi yang cocok untuk meletakkan bunga segar sembari mengelilingi kamar Ayesha yang cukup luas.
“Halaty, lihat ini.”
Ia langsung melirik Aisyah. “Iya, Humairah?”
Aisyah tersenyum malu-malu ketika mendengar sang Halaty memanggilnya dengan istilah wajah putih kemerahan.
“Ihh, kok senyum-senyum gitu? Malu ya?” Ayesha langsung menghampiri Aisyah, kemudian berjongkok di hadapannya, membelai wajah gadis cantik itu. “Bolehkan, kalau Halaty manggil Aisyah dengan Humairah?”
Aisyah mengangguk tanpa melepas senyuman di wajahnya. “Boleh, Halaty. Halli Khalid juga selalu manggil Aisyah begitu.”
Seketika Ayesha terdiam. Kenapa harus Khalid lagi, pikirnya.
“Oh, begitu ya.”
“Iya, Halaty. Halli suka manggil Aisyah seperti Rasulullah memanggil Sayyidah Aisyah. Karena kata Halli, umh … wajah Aisyah cantik,” ucapnya sambil malu-malu.
Ayesha memeluk Aisyah sambil mengusap pelan punggungnya. “Iya, Humairah. Kamu cantik, salehah, baik hati.”
“Halaty, Aisyah mau bercerita sesuatu!”
“Mau cerita apa? Atau sebentar, Halaty mau letak vas bunga itu di meja sana dulu. Setelah itu, kita bisa bicara panjang lebar di luar. Bagaimana?”
Aisyah mengekori sang Halaty. “Oke, Halaty! Aisyah mau cerita kalau Aisyah pernah melihat foto Halaty di ponsel Halli Khalid.”
Langkah kaki Ayesha langsung berhenti. Dia menatap Aisyah. “Oh, ya? Aisyah pernah melihatnya, tapi kapan?” Ia langsung berjongkok, menatap lekat Aisyah.
“Tadi pagi, Halaty. Siap tahajud sama Uma sama Abi, Aisyah ‘kan lagi murojaah sama Halli, terus Aisyah lihat ponsel Halli ada gambarnya Halaty.”
Ayesha memperhatikan kesungguhan gadis kecil ini menjelaskan apa yang ia lihat.
“Tadinya, Aisyah gak kenal siapa perempuan di ponsel Halli. Tapi pas Aisyah lihat Halaty, ternyata yang di foto itu Halaty,” jelasnya sambil tersenyum lebar.
Ia menarik napas panjang sambil membelai wajah Aisyah. “Terima kasih, sudah mau bercerita sama Halaty. Yuk, kita letak vas ini di sana,” ucapnya seraya mengalihkan topik pembicaraan. Yang ditakutkan, Aisyah akan menceritakan itu kepada orang tuanya. Tidak, jangan sampai itu terjadi.
“Ayo, Halaty! Terus, buket bunga dari Halaty, dibiarkan begitu saja?”
“Tentu tidak, Humairah. Nanti kita minta vas bunga lagi sama Uma, biar kita isi air lagi, supaya bisa dipajang di dekat ranjang kamu.”
“Yeay! Aisyah punya banyak bunga deh!”
Di balik pintu kamar yang sengaja tidak ditutup rapat, ia mendengar semuanya. Betapa malu dirinya jika bertemu dengan Ayesha nanti. Bagaimana mungkin ia bisa teledor membuka kontak Ayesha ketika sedang berhadapan dengan keponakannya.
Ia merapatkan kembali pintu kamar. ‘Astaghfirullahal’adzim,’ batinnya kemudian berlalu dari sana dengan tubuh sudah penuh keringat karena menahan malu.
Khalid menghentikan langkah kaki, melihat seseorang berdiri di sana menatapnya sambil mengulum senyum.
“Kau sedang mengawasi siapa?”