Part 2

1784 Words
"Itu sebenarnya, anu." Chalisa kebingungan ingin menjelaskan bahwa dia tidak sengaja. Dengan gugup jemari tangannya menunjuk ke arah tahi lalat yang ada di bawah tulang rusuk Aliando, bergantian dengan ujung hidungnya sendiri. Tapi melihat wajah bersemu merah di depannya dia tidak jadi melanjutkan ucapannya. "Kenapa? Apa kamu tergiur menatap tubuhku? Lalu mengambil keputusan untuk merayuku?" Tanyanya seraya memakai dasinya kembali. Masih menatap wajah salah tingkah Chalisa. "Hah? Aku?" Chalisa menunjuk dadanya sendiri dengan jari telunjuknya. Dia benar-benar tidak percaya dengan ucapan pria di depannya itu. Bisa-bisanya dia berpikir kalau dirinya sengaja melakukannya. Sengaja ingin menggodanya. "Kenapa? Kamu mengelak karena sudah tertangkap basah olehku? Asal kamu tahu saja, aku pria yang tidak mudah tertarik dengan wanita sembarangan!" Menatap penampilan gadis di depannya dari kaki sampai ke ujung kepala. "Astaga! Kamu bilang aku wanita sembarangan? Aku polisi! Dan aku hanya ingin melihat bentuk tahi lalat di bawah tulang rusuk kiri-mu! Tapi kamu tiba-tiba berdiri!" Ucapnya sambil mengaduk rambutnya sendiri karena kesal sekali, sudah dituduh yang bukan-bukan oleh pria di depannya itu. "Dia juga memilikinya!" Ujar Aliando datar, kini dia mengerti kenapa gadis itu mendekatkan wajahnya. Pria itu masih mengancingkan lengan bajunya. "Astaga! Apa kamu bilang? Alfian Steven juga memiliki tahi lalat yang sama?" Kini Chalisa benar-benar merasa berantakan. Dia menjatuhkan tubuhnya kembali duduk di sofa. "Kenapa? Kamu mau menyerah?" Ejek Aliando Steven, seraya menyunggingkan senyuman manis. "Apakah hanya dengan ciuman? Aku hanya bisa membedakan kalian berdua? Hanya dengan ciuman?" Ucapnya penuh rasa putus asa. Pria itu tersenyum menatap wajah gelisah Chalisa Reina. Gadis itu terlihat imut, dan unik. "Kamu pasti sudah gila, lalu sebanyak berapa kali aku harus mencium bibirmu? Jika lagi-lagi kamu yang muncul saat aku berusaha menangkap Alfian?? Pacar saja aku belum punya, tapi kenapa harus menciumi bibir tersangka?! Hanya demi bisa menangkapnya!" Rutuknya dengan wajah kesal. "Terserah, kalau begitu sudahi saja misi ini. Resign!" Aliando mengarahkan jari telunjuknya dari kiri ke kanan lehernya, seperti mengiris lehernya sendiri. Chalisa tercekat menatap aura kejam di depannya itu. Lalu dia segera berdiri dari tempat duduknya. "Oke! Oke! Aku akan tetap mencari adik kesayanganmu itu! Tapi jangan salahkan aku, jika aku tiba-tiba jatuh cinta dengan dirinya atau dirimu! Karena terlalu sering menciumi bibir kalian berdua!" Menatap wajah pria di depannya dengan tatapan kesal, sambil berlalu menepuk bahu kanan Aliando Steven. "Clak! Brak!" Gadis itu sudah menghilang di balik pintu. Meninggalkan tatapan mata kosong Aliando Steven. Pria itu ingin menarik adiknya masuk ke dalam keluarga Steven. Tapi lagi-lagi Alfian kabur dari sana. Dia menginginkan kehidupan bebas tanpa syarat. Dia tidak mau menekuni pekerjaan di kantor perusahaan besar milik keluarganya. Aliando berniat menjadikan adiknya sebagai penggantinya, karena semenjak sebulan lalu dirinya divonis kangker otak stadium awal. Itu baru tes pertamanya. Jadi pria dingin itu berusaha keras untuk menemukannya. Dengan segala cara! Termasuk menuduhnya sebagai pencuri! Aliando Steven juga tahu adiknya selalu mengambil uang di toko berlian milik keluarga Steven untuk membantu panti asuhan dimana mereka berdua dulu tinggal. "Bagaimana? Kamu mendapatkan informasi baru cara membedakan Alfian Steven dan Aliando Steven?" Tanya seniornya Revan di kantor kepolisian tempatnya bekerja. "Ada tapi aneh sekali, aku sendiri bingung apakah harus menggunakan itu untuk menangkap pria gila itu!" Gerutunya kesal sekali, sambil mencomot satu sachet vitamin cair dari dalam cangkir di atas meja kerjanya. Chalisa merobek ujungnya dan mulai menghisap. "Memangnya apa yang akan kamu gunakan?" Tanya Revan padanya. Berkali-kali gadis itu menghela nafas panjang, mengusir rasa berat di dalam dadanya. Masih terbayang jelas pria itu mengulum bibirnya beberapa jam yang lalu. Tatapan matanya melayang jauh, mengabaikan pertanyaan seniornya. Masih tetap menggigit sachet vitamin di bibirnya. "Woi! Brak!" Revan terpaksa mengejutkan gadis itu. "Akh! Astaga! Apa?" Tanyanya sambil melemparkan sachet kosong ke tempat sampah. "Apa yang akan kamu gunakan untuk mencari perbedaan antara keduanya?" Revan terpaksa mengulangi pertanyaan yang sama. Chalisa menunjuk ke arah bibir seniornya, dengan jari telunjuknya. Membuat Revan salah faham, kini dadanya berdebar-debar. "Tunggu! Aku belum bisa mencerna, apa maksudmu menunjuk bibirku?" Melihat perubahan wajah Revan Chalisa Reina tahu pria itu sedang memikirkan sesuatu yang tidak masuk akal sama sekali. "Apa yang kamu pikirkan? Sini!" Chalisa menarik jaketnya agar tubuhnya condong ke samping. Lalu Chalisa membisikan sesuatu di telinganya. Wajah Revan berubah merah padam, dia segera berdiri ke posisinya semula. Lalu melengos pergi meninggalkan Chalisa Reina yang masih penuh tanda tanya di dalam kepalanya. Gadis itu tidak mengerti kenapa seniornya itu tiba-tiba terlihat marah dan kesal. "Kenapa dia?" Tanyanya pada Reno yang duduk di meja kerja bersebelahan dengannya. "Kamu buta, atau tidak peka? Kenapa dia sampai mati-matian membelamu di depan atasan!" Ujarnya santai sambil mengangkat kedua alisnya. Melempar senyum padanya. Chalisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia tidak mengerti apa maksud ucapan Reno mengenai Revan. Ingatan gadis itu kembali melayang-layang, dia ingat saat ada pesta makan-makan bersama, Revan yang mengantarkan dirinya kembali ke rumah kostnya. Juga saat dirinya terluka gara-gara mengejar pencuri, pria itu yang menggendong tubuhnya sampai ke rumah sakit. Juga saat dia sakit, karena Chalisa tinggal sendirian. Revan juga yang merawatnya. Chalisa memiliki kakak perempuan bernama Erina Seila, dan Erina adalah teman SMA seangkatan Revan. Saat mereka masih tinggal di London. Revan bekerja sebagai petugas kepolisian di New York. Kebetulan Chalisa juga menempuh pendidikan sebagai polisi. Revan juga yang membantunya untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Juga sebagai pembimbingnya selama dia menempuh pendidikannya. Revan sering mengunjungi Erina Seila di rumahnya saat dia masih di bangku SMA, belajar kelompok bersama kakaknya. Dalam benak Chalisa Reina, tidak pernah dia sekalipun memiliki niat untuk membina hubungan lebih dengan Revan seniornya sekaligus teman kakaknya itu. Chalisa ingat, suatu ketika kakaknya datang mengunjunginya ke New York yang dia tanyakan adalah Revan. Melihat sikap hangat kakaknya, Chalisa tahu bahwa Erina menaruh perasaan khusus pada seniornya itu. Karena itulah dia sama sekali tidak pernah memikirkan perasaan Revan padanya, juga perasaan dirinya pada pria yang selalu ada di dekatnya itu hanyalah sebatas perasaan bawahan kepada seniornya. "Astaga! Aku tidak pernah berfikir sejauh itu!" Gerutu Chalisa pada dirinya sendiri. Kemudian menyambar jaketnya, dia berniat kembali menguntit Alfian. Biasanya di jam-jam tujuh malam ke atas pria bernama Alfian Steven selalu berada di dalam klub malam. Klub berkelas dan hanya bisa dikunjungi oleh orang berstatus tinggi. Chalisa mendapatkan kartu VIP atas bantuan Aliando untuk mempermudah dirinya melaksanakan misinya. Gadis itu sudah menyamar, sebagai pengunjung. Mengenakan gaun minim juga sepatu high heels. Dia meminta Revan untuk mengantar dirinya pergi ke sana. Pria itu menunggunya di dalam mobil. Memasang alat pendengar pada telinganya, juga ada kamera tersembunyi pada jepitan rambut milik Chalisa Reina, memudahkan Revan untuk melihat siapa saja yang ditemui oleh gadis itu di sana. Chalisa sampai di dalam, di sebuah ruangan luas, dengan lampu temaram. Suara musik hingar-bingar menyeruak masuk memekakkan telinganya. Tatapan matanya merayapi seluruh ruangan luas tersebut, mencari wajah Alfian Steven. Chalisa menyibakkan kerumunan orang yang sedang berjoget berjingkrak menghentak-hentakan kakinya di lantai. Dan seseorang tiba-tiba menarik tangannya, menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Tatapan mata Chalisa terpaku pada wajah di depannya. "Alfian Steven.." Bisiknya dalam hati kecilnya. Pria itu tersenyum lembut, menatap wajah Chalisa. Sepertinya dia tidak mengenali Chalisa Reina. Karena penampilannya begitu berbeda malam itu. Tapi sepertinya malah Chalisa yang tertipu oleh akal bulus pria muda licik itu. Diam-diam dia menarik jepitan rambut milik Chalisa, meraih kepalanya dan mengulum bibir tipisnya. Menginjak jepitan rambut Chalisa sampai hancur di bawah sepatunya. "Benar! Berbeda! Ciumannya terasa berbeda! Ciuman pria ini seperti! Emmmhhh! Hah! Hah!" Chalisa berhasil mendorong tubuhnya menjauh, karena Alfian meremas pinggangnya. Pria itu menciumnya dengan penuh hasrat. Tentu saja berbeda dengan ciuman Aliando, ciuman tanpa rasa apapun, seperti membuang ingus. Revan mendengus kesal karena melihat seringaian nakal Alfian Steven di depan kamera, pria licik itu sengaja mempermainkan dirinya. Dan kameranya mati tepat setelah itu. "Sialan!" Geram Revan, dia tidak punya akses untuk masuk ke dalam. Karena Aliando Steven hanya meminjamkan kartunya pada Chalisa. "Bukankah kamu menikmatinya? Kenapa kamu malah mendorong tubuhku?" Ejek Alfian sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Ucapannya barusan membuat semua orang menoleh, menatap mereka berdua. Kini keduanya menjadi pusat perhatian para pengunjung klub malam tersebut. Chalisa segera menarik lengannya, menyingkir dari banyak kerumunan orang. "Bruuk!" Chalisa mendorong tubuhnya hingga membentur ke dinding. Menahan tubuh atletis itu di sana. Alfian tidak membalas, pria itu malah nyengir lebar menatap wajah penuh amarah Chalisa Reina. "Kamar nomor 188 milikku!" Ucap Alfian Steven melalui ponselnya. "Apa kamu sudah tidak waras! Ikut aku ke kantor sekarang." Ujarnya sambil memasang borgol pada tangan kiri Alfian Steven. Tapi pria licik itu malah membalik posisi Chalisa, kini Chalisa berada di antara kedua tangannya yang sedang terborgol. Membuatnya terus berhimpitan dengan tubuhnya. d**a Chalisa membentur d**a bidangnya. Chalisa berusaha menahan d**a Alfian dengan kedua tangannya. Tapi tidak bisa, terlalu sempit. Posisinya sekarang sama sekali tidak menguntungkan bagi dirinya. "Dasar b******k!" Umpat Chalisa Reina, karena Alfian cengar-cengir cengengesan menatap wajah gadis itu begitu dekat dengan dirinya. Malah Alfian yang mengambil alih gerakan langkah kaki mereka berdua, menuju kamar yang telah dipesan olehnya di dalam klub malam tersebut. "Tunggu kamu mau membawaku kemana?! Lepaskan aku!" Teriaknya sambil memukuli dadanya dengan kedua tangannya. "Bukannya kamu ingin menangkap ku? Kita nikmati dulu malam ini baru aku akan pergi mengikutimu." Bisiknya pada Chalisa. "Aku tidak mau! Lepaskan aku!" Chalisa mencoba berontak saat pria itu membawanya masuk ke dalam kamar. "Akhhh! Bruuk!" Karena dia terus memberontak mereka berdua akhirnya jatuh terjembab di atas tempat tidur yang ada di dalam kamar tersebut. Mereka berdua jatuh terguling dengan posisi miring saling berhadapan satu sama lain. "Ini aneh, kamu begitu lihai memainkan peran romantis! Jangan harap aku akan tertipu lagi!" Gumam Chalisa di depan wajahnya. Di jawab senyuman manis Alfian. Chalisa mencoba beringsut turun melepaskan diri dari pelukan tangan terborgol di belakang punggungnya. Tapi Alfian malah mempererat pelukannya. Membuat tubuh mungilnya terpaksa terhimpit tubuh atletisnya. "Hentikan ini!" Teriaknya pada Alfian. "Kamu buka dulu borgol ku! Jika tidak! Aku bisa melakukan apapun untuk membebaskan diri. Termasuk ini!" Bersiap mendaratkan ciuman lagi di bibir Chalisa. "Tidak! Emmm!" Chalisa memukuli dadanya, kesal sekali. Pria itu terus memagutnya tanpa henti. "Baik, aku akan melepaskan borgolmu. Tapi biarkan aku keluar dari dalam pelukanmu ini." Ujar Chalisa sambil melengos menjauhkan wajahnya. Karena terus menjadi sasaran empuk ciuman Alfian. "Aku benar-benar merasa ternoda dengan kasus gila ini!" Gerutu Chalisa pada dirinya sendiri. "Klak! Grataaak!" Kunci pintu terbuka, dan Aliando Steven sudah berdiri di ambang pintu kamar 188 menatap dua tubuh berhimpitan di atas tempat tidur. Dan kedua tangan Alfian terikat borgol di belakang punggung Chalisa. Tidak membuat celah sedikitpun bagi Chalisa untuk membuat jarak atau menjauhkan tubuh dan wajahnya. Drama yang sangat romantis! Sekaligus membuat hati Aliando sedikit gusar! Dia sendiri tidak tahu kenapa hatinya terasa tidak senang melihat Chalisa dengan pakaian minim, belahan d**a rendah, kulit tubuhnya terlihat begitu mulus dan halus. Dan berada di pelukan adiknya. Juga melihat pipi merah mereka berdua karena bekas lipstik, Aliando bisa mengambil kesimpulan sudah berkali-kali adiknya menciumnya! Melumat bibir Chalisa Reina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD