BAB 1 ~ Sebab Akibat

2093 Words
Semua bermula dari dua tahun lalu. Ketika sosok Aditya mengenal Sabrina Larasati. Wanita cantik bermanik mata hitam legam dan bibir yang sensual menambah kesan seksi dirinya. Begitu pula rambut panjang bergelombang yang di dimiliki, siapa pun akan terpana menatap Sabrina untuk pertama kali. Ia adalah anak perempuan semata wayang dari keluarga Adiwijaya. Aditya mengenal Sabrina melalui pertemuan keluarga yang memang sengaja diadakan. Berhubung hanya dirinya saat itu yang benar-benar tidak memiliki acara berarti di banding saudara-saudaranya, Aditya tak punya pilihan dan menyetujui saja perihal pertemuan yang pasti akan membosankan. Namun, hal itu ternyata tidak berlaku ketika seorang perempuan anggun berhasil menarik perhatian mata Aditya untuk pertama kali. Wanita bertubuh tinggi semampai itu langsung tertancap di indra pengelihatan Aditya. Sorot mata berani yang dipancarkan Sabrina pada Aditya membuat pria itu tersenyum tipis dan berasumsi dengan pikirannya sendiri. "Nak Aditya, ini anak Om ... namanya Sabrina. Sabrina ini anak Om Ferlandio yang Papa ceritakan. Namanya Aditya." Haris mengenalkan anaknya itu pada Aditya. Dan sebuah jabat tangan sederhana di ulurkan Sabrina pada Aditya. Pria itu bukannya langsung menjabat tangan itu, tetapi justru menatap sejenak sebelum sebuah senggolan sang ayah pada tubuhnya mampu menyadarkan lamunan. Ia mulai menjabat tangan Sabrina. Setelah itu, keluarga Aditya pun mempersilakan Haris Adiwijaya dan keluarganya masuk ke kediamannya. Selama acara bincang dan makan malam, netra Sabrina sesekali melirik pria yang sedari tadi tidak ada suara untuk sekedar menanggapi obrolan orang tua mereka. Tampaknya, Sabrina paham bahwa Aditya mulai bosan dengan acara kumpul-kumpul yang di adakan dua keluarga ini. Dan hal itu terbukti ketika Aditya memilih berpamitan untuk ke belakang halaman rumahnya. "Om, aku boleh ke Aditya sebentar, ya mungkin Aditya butuh teman. Boleh kan?" "Boleh dong Sabrina. Silakan saja ... maafkan anak Om ya, dia memang begitu. Enggak terlalu bisa berbasa-basi." Sabrina memakluminya dan hanya tersenyum pada Ferlandio. Ia langsung tampak berdiri dan menyusul ke mana arah pergi Aditya tadi. Setelah cukup berkeliling di rumah besar milik Ferlandio, akhirnya Sabrina menemukan Aditya yang tengah merebahkan diri di sebuah gazebo di pinggir kolam renang rumah ini. Ia tersenyum mendapati pria itu dan kembali berjalan sembari merapikan rambutnya ke arah Aditya. "Hai," sapa Sabrina. Aditya yang mendengar suara perempuan lantas mulai mengerjapkan mata yang sedari tadi terpejam sejenak. Ia lantas melirik ke arah sisi sebelah kanan dan sosok Sabrina tepat ada di sana. Ia menghela napas sebentar dan terduduk guna menyambut kedatangan Sabrina. "Hai, duduk aja kalau kamu mau," ucap Aditya. Tanpa penolakan berarti, Sabrina duduk di sisi Aditya. Menikmati udara malam dan menatap ribuan bintang bertaburan di langit. "Bosen ya sama obrolan di luar? oh iya, aku pernah melihatmu di kantor Graha Properti. Apa aku salah lihat ya?" "Oh ya? Kamu pernah melihatku?" Sabrina menganggukkan kepalanya yakin. "Aku memang bekerja di sana. Kamu sendiri sudah bekerja? Atau —" "Aku kuliah S2," potong Sabrina. Aditya menganggukkan kepalanya dan untuk beberapa menit tak ada obrolan penting yang berarti. Yang ada hanyalah suara serangga malam yang menemani mereka berdua. "Aku boleh mengenalmu lebih jauh?" Aditya menatap perempuan itu sekali lagi. Kemudian mengangguk dan dari pertemuan malam itu mereka saling tukar nomor ponsel dan berlanjut saling mengenal satu sama lain. Dua bulan kemudian, kedekatan Sabrina dan Aditya bukanlah sebatas teman biasa. Terlebih mengarah pada hubungan saling menguntungkan. Bukan Aditya namanya jika tak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan untuk menuruti seluruh keinginan biologisnya. Dan Sabrina nampaknya tak mempermasalahkan hal itu di kehidupan pertemanannya dengan Aditya. Terlebih, keputusan konyol kedua orang tuanya yang tiba-tiba menjodohkan anak-anak mereka membuat Aditya seolah semakin terjebak dalam pesona Sabrina. Tak mudah rasanya mengeyahkan wanita itu meskipun biasanya Aditya bisa saja melakukan hal itu setelah apa yang ia dapat terpenuhi. Namun, dengan adanya Sabrina membuat sisi ruang berbeda di hati Aditya. Entah apakah Aditya menyetujui hati kecilnya atau ia masih menolak kehadiran cinta dalam hatinya? Semuanya masih menjadi rahasia Aditya pribadi. **** "Apa? Saya harus menikah dengan Sabrina? Kenapa?" Aditya mulai menatap Ferlandio dengan banyak pertanyaan di kepalanya. Ferlandio kembali menatap anak laki-lakinya itu dengan lekat. Bagaimana pun hubungan persahabatan Ferlandio dan Haris tidak boleh hancur karena penolakan anak laki-lakinya itu. "Sudahlah Aditya, usiamu itu sudah pantas untuk berkeluarga. Dan Papa pilih Sabrina karena dia yang terbaik untuk kamu. Selain itu orang tuanya adalah teman Papa dan Mama, jadi kami tidak mungkin salah memilihkan jodoh untukmu." "Tapi—" "Sudah, jangan membantah. Keluarga Haris sudah menyetujui hal ini." Dan, keputusan Aditya seolah tak penting bagi siapa pun. Sedari kecil rasanya ia hidup dengan sosok yang selalu membuatnya tak punya pilihan. Walau sekalipun ia sudah tidak tinggal bersama orang tuanya, tapi hal seperti ini masih saja mereka turut andil mencampuri urusan pribadi anaknya. Seakan semuanya tak adil bagi Aditya. Ia bahkan tak memiliki pilihan hanya untuk sekedar memilih pasangan. Namun, sejak diketahui niat kedua orang tuanya adalah menjodohkan Aditya, pria itu justru seolah mengulur waktu dengan alasan pekerjaan dan sebagainya. Jujur, ia belum mencintai Sabrina walau mereka memang sedang dekat. Sosok lain yang masih tetap bertengger di hati Aditya tak mampu ia tepiskan begitu saja. **** "Aditya," sapa Sabrina yang tiba-tiba muncul di daun pintu kamar Aditya. Ya memang Sabrina sudah tampak terbiasa keluar masuk kamar pribadi Aditya. Berhubung Aditya sudah tak tinggal di rumah milik keluarga besarnya dan memilih tinggal sendiri jadilah perempuan itu tak segan-segan untuk keluar masuk kamar pria itu. "Kamu mau kemana pakai pakaian seperti itu?" tanya Aditya yang tengah bermalas-malasan sembari menatap layar ponselnya. "Seperti biasa, yuk. Pergi yuk," ajak Sabrina. Aditya langsung menatap ke arah sudut kiri ponsel pintarnya dan tepatnya ke arah angka yang menunjukkan sebuah penanda waktu itu. "Astaga ini masih jam sepuluh Sabrina. Nanti dulu lah," protes Aditya. "Terus ngapain dong sekarang?" tanya Sabrina yang akhirnya memilih masuk ke dalam kamar Aditya dan duduk di tepi ranjang pria itu. Aditya mulai mensejajarkan badannya dengan Sabrina. Mendekatkan wajahnya pada wanita itu sembari tersenyum. "Maunya bagaimana?" ucap Aditya pelan. Seakan menjawab pertanyaan balik milik Aditya, Sabrina hanya tersenyum dan tampak menghadapkan badannya ke arah Aditya. Menangkupkan kedua tangannya di pipi pria itu dan mencium bibir itu tanpa permisi lagi. Ciuman yang mendalam membawa Aditya dalam cumbuan yang seringkali ia lakukan bersama Sabrina akhir-akhir ini. Seakan mengerti keinginan Aditya, wanita itu kini berdiri di depan Aditya dan duduk di pangkuan pria itu. "Jadi kamu mau bermain-main dulu ya," ucap Sabrina setengah berbisik. Jarak yang dekat membuat Aditya kembali terpancing dengan sosok Sabrina. Kecantikan dan kemolekan tubuh wanita itu mampu membangkitkan sisi kelelakiannya. Ia usap punggung wanita itu dan mulai menciumi leher jenjang milik Sabrina. Begitu pun Sabrina, ia sudah tak akan menolak dengan apa yang akan terjadi berikutnya. Kegiatan yang lama-lama berakhir di ranjang tersebut membuat mereka lupa akan daratan. Berpacu dalam kenikmatan sesaat dan berlomba untuk mencapai puncak kepuasan membuat Aditya dan Sabrina tak peduli dengan norma yang mereka tabrak begitu saja. Kebutuhan biologis yang harus tersalurkan yang membuat mereka menikmati semua kegiatannya. Beberapa saat kemudian, setelah mereka menyudahi kegiatannnya, Aditya kembali menanyakan niatan awal perempuan yang masih ada di atas ranjang itu datang ke rumahnya. "Jadi?" tanya Aditya setelah kembali dari luar kamarnya guna mengambilkan sebuah kaleng minuman untuk Sabrina. Tampak wanita itu masih bergelut di bawah selimut besar milik Aditya sembari memainkan ponselnya. "Jadi dong, sebentar aku masih lelah," ujarnya yang kemudian justru merebahkan diri di ranjang berukuran king itu. "Atau enggak perlu aja. Memangnya apa yang menarik di sana, sih? Bukannya di sini lebih ... menarik?" Seakan mengerti maksud ucapan pria itu, Sabrina hanya tersenyum menanggapi pernyataan tersirat Aditya. "Ya ... ya ... ya, di sini memang terlalu menarik. Kemarikan minumannya, aku haus," pinta Sabrina. Aditya pun melangkahkan kakinya menuju ke arah Sabrina sembari membukakan pengait kaleng itu agar terbuka. Setelah itu ia menyerahkan sekaleng beer pada perempuan itu. Beberapa tegukan pun Sabrina minum, dan beberapa saat kemudian ia menyuruh Aditya untuk naik ke ranjangnya. Tak banyak bicara, Aditya membawa dirinya ke samping Sabrina dan tanpa meminta persetujuan, Sabrina langsung memeluk tubuh Aditya dari samping. Ia merebahkan kepalanya di d**a bidang milik Aditya yang tengah terduduk menyandar di sanggahan ranjang miliknya. "Kenapa?" tanya Aditya. "Apa kamu mencintaiku? Emm, maksudku ... apa kamu memiliki rasa itu setelah apa yang kita lewati sejauh ini?" Aditya terdiam sejenak. Entah apakah rasa cinta yang sebenarnya tumbuh di hatinya atau semua hanyalah kamuflase semata dalam pelarian Aditya mencari sosok yang sama dalam raga yang lain. Keterdiaman Aditya tampaknya membuat opini lain di pikiran Sabrina dan menimbulkan kesimpulan yang tersirat. **** Beberapa bulan kemudian, Sabrina mendadak lemas dengan kondisinya. Ia tidak tahu mengapa hari itu menjadi sangat melelahkan. Perutnya sangat mual dan beberapa kali harus memuntahkan isi perut ke dalam wastafel kamar mandi. Ia pun terduduk lemas di kamar mandi tersebut sembari menimbang gejala fisiknya. Wanita itu langsung tersadar akan sesuatu dan segera berdiri melesat menuju ke sebuah meja nakas. Ia menyabet satu buah benda dan kembali ke kamar mandi. Positif! Dua buah garis merah tercetak jelas di alat kehamilan tersebut. Sabrina sontak mundur teratur hingga menatap dinding kamar mandinya. Jelas ia syok walau memang dirinya tak menampik kehidupan liarnya di luar. Ia memikirkan sesuatu dalam kegelisahannya hingga ia menatap ponselnya dan melihat tanggal yang tertera di layar ponsel pintar itu. Ia segera memakai jaket jeans nya dan berlari menuju ke arah parkiran. Mengemudikan mobilnya menembus padatnya jalanan malam Kota Jakarta. Hingga beberapa menit berlalu ia telah sampai di sebuah rumah besar dan kemudian memencet klaksonnya agar gerbang rumah itu terbuka. Setelahnya ia memasukkan mobilnya ke dalam rumah Aditya. Suara bel berbunyi, sang pembantu yang tengah berada di dapur malam itu sontak beranjak ke arah pintu utama rumah itu. "Eh, Non Sabrina," sapa Bi Suin. "Bi, Aditya ada? Sudah pulang kan?" tanyanya tak sabar. Bi Suin menganggukkan kepalanya, sedangkan Sabrina sudah menyelonong pergi ke arah kamar Aditya tanpa mendengar ucapan sang pembantu yang ingin mengatakan bahwa majikannya baru saja berisitirahat. Sabrina sedikit berlari menuju kamar itu dan segera membukanya tepat saat ia lihat Aditya tertidur di ranjangnya. Namum, seolah terkalahkan oleh panik, Sabrina tetap membangunkan Aditya. "Dit, Aditya ...," panggil Sabrin dengan mengguncangkan tubuh pria itu. "Hemm, apa sih! Masih ngantuk!" jawab Aditya cepat. "Dit bangun! Aku hamil!" Sontak saja netra Aditya terbuka, ia mencerna kata-kata terakhir itu. Kalimat yang benar-benar membuat Aditya menatap Sabrina sekarang. "Kamu serius? itu anakku?" Sabrina lantas melirik ke arah Aditya, seakan ucapan Aditya menyakiti hatinya. Kemudian, ia justru menundukkan kepalanya. Sebuah isak tangis terdengar di telinga Aditya membuat pria itu sudah mengambil kesimpulannya. "Okay, aku percaya. Jangan nangis ya. Aku akan bertanggung jawab. Aku minta maaf, aku cuman kaget aja tiba-tiba mendengar kabar ini," ucap Aditya yang seraya memeluk perempuan itu. Sabrina tak banyak bicara, ia hanya terdiam di pelukkan Aditya demi menghentikan tangisannya. Kekalutan membuatnya tak bisa berpikir lagi selain meminta tanggung jawab Aditya. Dan beruntungnya, Aditya menyetujui hal itu secara cuma-cuma. Terima kasih Dit, dan maaf ...., batin Sabrina. Selepas pengakuan Sabrina, Aditya tiba di kediaman keluarga besarnya tepat sebelum sang ayah menuju ke kantornya. Dengan raut wajah datar ia mencegat langkah Ferlandio yang akan menuju ke luar rumah mereka. "Aditya? Ada apa sepagi ini?" "Saya ingin bicara." Ferlandio mulai mengernyitkan alisnya karena Aditya tidak peenah seserius ini bicara padanya. "Nikahkan saya dengan Sabrina secepatnya." Sontak saja pernyataan Aditya membuat Ferlandio terngaga. Bukan masalah menikahkannya namun permintaan mendadak Aditya membuat pria paruh baya itu bertanya-tanya saat ini. "Maksud kamu? Tunggu, bukannya kamu yang mengulur waktu untuk menikah dengan Sabrina, kenapa sekarang pendirianmu berubah?" Aditya mendecak lantas kembali mengatakan sesuatu yang membuat Ferlandio syok di tempat. Bahkan dampratan dan tamparan sudah mengarah ke arah Aditya dari Ferlandio. Namun, pria itu nampak tak menemukan efek hasil tamparan dari sang ayah karena sudah sejak kecil ia menerima semua itu dan hal itu terlalu sering sehingga menimbulkan rasa kebas akan kekerasan. "Papa enggak pernah mengajarkan kamu bertindak di luar batas Aditya! Tapi —" "Segera nikahkan saya dengan dia atau anda ingin melihat saya tidak bertanggung jawab atas janinnya!" Ferlandio menyerah, pria itu akhirnya menyetujui permintaan Aditya dan mulai membicarakan maksut dan tujuannya pada keluarga Haris. Keluarga Sabrina pun justru sangat antusias jika anak perempuannya segera di nikahi Aditya. Pasalanya, mereka tak mengerti bahwa sudah ada kehidupan baru di rahim anaknya atas perbuatannya dengan Aditya. Selang satu bulan, pernikahan pun terjadi. Pesta yang di adakan kedua keluarga besar mereka nampak megah dan meriah. Tapi, jujur di dalam hati Aditya ia masih gamang menatap masa depannya. Masa depan yang akan ia lalui beraama Sabrina. Namun, sejak ia mengetahui ada penerusnya di rahim Sabrina ia langsung memghentikan seluruh kegiatan tak bergunanya. Ia sadar bahwa dirinya tak bisa terus menerus memperlihatkan sisi buruk setelah menikah pada siapa pun. Ia tidak ingin anaknya kelak mengetahui siapa dirinya. Dan Aditya merubah diri menjadi pria baik-baik dan jauh dari kegiatan negatif.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD