bc

Not to be Your Bride

book_age18+
613
FOLLOW
2.4K
READ
badboy
goodgirl
drama
sweet
ambitious
lords
like
intro-logo
Blurb

Pekerjaan sebagai penulis harus Gendis lakoni, karena harus mengurus Bapak ketika Ibu memutuskan untuk pergi, sementara Bapak harus duduk di kursi roda. Profesi tersebut mengantarkannya bertemu dengan Eric Rahardian, seorang pengusaha batik dari Jogja. Kisah masa lalu Eric yang bercerai dengan istirnya ternyata berhubungan erat dengan lumpuhnya Pak Rahmat Sudibyo, bapak Gendis. Ada apa sebenarnya? Bagaimana sikap Gendis akhirnya ke Pak Eric setelah mengetahui bahwa penyebab Bapak lumpuh karena ulah istrinya?

chap-preview
Free preview
Part 1
"Oo ... Ini toh, calon ibu tiri gue." Aku melihat seorang pria, muda? Gak juga, aku taksir umurnya sekitar 28an, tampan, well ... Begitu sejauh yang aku liat. Wangi, banget. Curiga parfum sebotol dituang tuh, ke badan. "Well ... Pardon me, who are you?" Dia menatap tajam dari ujung rambut sampai ujung kaki, melakukan screening, entah apa yang dicarinya. "How old are you?" Aku menatapnya terheran-heran, tipikal pria nyinyir. Aku yakin, dia pasti jomlo, fix! "Excuse me, Sir. You don't have any right to asking about my personal thing." Aku memasang muka males banget ngeladenin bocah ingusan ini. Yakin deh, berani taruhan, bocah model gini Cuma bia kuliah, pacaran, ngabisin orang tua, terus ngeluyur. Dia tertawa sinis. Aku yang kebingungan, mencoba mencerna apa maksud dari semua ini. Jujur saja, sebenarnya aku menolak awalnya, karena memang sudah gak nyaman sejak awal diminta Pak Eric untuk langsung ke rumah ini setelah mendarat di Jogja. Ada di rumah ini, hanya karena undangan Pak Eric, yang sudah sejak lima bulan ini aku kenal. Awalnya karena aku memang memasang iklan pekerjaan di situs pencari kerja dan penyedia jasa ketik, dan juga sebagai ghost writer. Karena pasang iklan di situlah akhirnya aku bertemu dengan Pak Eric. Dan ya, gak bisa dipungkiri, ada beberapa kali aku diminta bertemu oleh klien dan juga datang ke kediaman mereka atau di tempat yang sudah kita sepakati. Dan juga, karena memang sering bertemu klien dan mewawancarainya langsung, bukan suatu keanehan, sebenarnya, datang mengunjungi langsung narasumber tersebut aku jalani demi mendapatkan informasi dan mengorek data sebanyak-banyaknya demi kebutuhan naskah. Tapi, ini baru pertama kalinya, sih. Aku menerima tawaran sebagai ghost writer sebagai penulis yang akan menuliskan biograpi seseorang. Karena merasa tertantang dengan hal baru dan berpikir ini akan bisa dimasukkan dalam portofolioku nanti jadi aku menyetujui untuk menggarap proyek ini. Dan aku belum pernah bertemu sebelumnya dengan klienku, Pak Eric ini selama dan berbulan-bulan begini. Karena biasanya, begitu deal project, paling lama sebulan, aku akan buat jadwal bertemu dan wawancara. Alasannya, selain memang karena pandemi yang "hatchim" banget, membuat ruang gerak terbatas, Pak Eric juga jarang ada di Indonesia, begitu sejauh yang aku tau. Akhirnya setelah sekitar lima bulan berkomunikasi via online, kemarin aku diminta datang ke sini. Dan oleh Pak eric aku diarahkan ke sini, ke rumahnya. Aku yang memang berpikir ini adalah pekerjaan, oke saja. Tapi setelah tau bahwa dia memintaku untuk menginap di rumahnya, aku menolak. Dengan berbagai alasan, Pak Eric tetap memintaku tinggal dan menginap di rumahnya selama proses wawancara, “Aku tidak nyaman bertemu dan berbincang di luar selain di rumahku. Dan ini adalah proyek rahasia, maksudnya tidak boleh ada orang yang tau sebelum buku ini benar-benar launching.” Jadi, akhirnya aku memutuskan, oke, akan menginap di sini, setelah tadinya bersikeras menginap di hotel saja dan bertemu di restoran bandara. Mengurangi ke-parno-anku mengenai orang yang baru dikenal. “Di rumah itu ada banyak kamar, kamu bisa pilih di kamar manapun kamu mau tidur. Keamanannya juga terjaga, tenang saja, aku gak akan mencelakaimu.” Dalam hati aku ngebatin, “Ya iyalah, mana ada orang mau nyulik atau mencelakakan orang lain ngomong-ngomong, aneh juga ini orang.” Tapi karena memang keadaan mendesak, aku membutuhkan pekerjaan ini untuk memenuhi semua kebutuhan di rumah, biaya kontrol Bapak ke dokter, bayar gajian Bi Darmi, dan masih banyak lagi, maka akhirnya aku setuju. "Aku akan minta Anita, sekertaris pribadiku yang menjemputmu. Tidak usah takut, aku tidak selera padamu." Begitu akhirnya kami memutuskan untuk dealing proyek ini. Arogan, terdengar jelas dari suaranya sejak awal kami berkomunikasi. Tapi, baik juga sih, karena belom mulai project aja, ketika mendengar aku harus istirahat beberapa hari, kemarin, karena memang asmaku suka kambuh ketika sedang banyak pikiran begini, eh … Si Pak Eric udah gercep banget transfer uang, "Belikan vitamin. Saya gak mau kamu sakit terus buku yang saya targetkan tahun ini selesai, akhirnya malah kacau. Ingat baik-baik, saya tidak suka keterlambatan." Gimana, udah cukup tercengang? Dengan perangainya? Heran, kan? Mon map aje nih, biar dikata kite cuma freelance, gak berarti bisa diatur semau dia. Aku mengajukan keberatan atas itu, awalnya aku berpikir untuk membatalkan saja proyek ini, toh emang belum ada kesepakatan atau perjanjian apa pung sebelumnya. "Sorry, Sir. Saya bukan bawahan atau karyawan Anda. Tidak perlu transfer apa pun, toh projectnya juga belum mulai. Satu hal yang harus Anda pahami, saya bekerja dengan Anda karena saya yang setuju, bukan karena Anda yang memilih saya. Sekarang juga, saya bisa batalkan proyek ini. Toh tidak ada yang rugi. Saya belom mengerjakan apa pun, Anda belum keluar uang sepeser pun." Aku matikan telepon. Memburu napasku, deg-degan juga, sebenarnya. Kalo si Pak Eric beneran ngebatalin proyek ini, otomatis berkurang pemasukan bulan ini, uang untuk berobat Bapak akan kurang juga, otomatis. Sementara aku diam, tidak menyadari bahwa Pak Eric, orang yang baru pertama kali aku lihat, yang selama ini, kami berkomunikasi hanya lewat telepon atau email. Pria lima puluh tahunan, begitu yang aku baca di bio narasi buku yang sedang ku kerjakan. Jujur saja, tidak terlihat seperti itu, sih. Well ... Yes, he is a mature man. Tapi, jujur aja, gak se-tua itu, sih. "Why don't you tell me, earlier about this? We promise that there's no woman, except Mom, will stand here as your wife!" ketika aku menyadari Pak Eric, orang yang memintaku mengerjakan proyek ini, sudah ada di belakangku. Dan ini baru perama kali juga kami bertemu, astagah, tampan amat ni bapak. Eh … emang iya tampan, tapi tenang, aku akan bersikap professional. Aku di sini hanya untuk wawancara untuk materi tulisan yang akan aku kerjakan. Pak Eric menatap tajam anaknya, "We'll talk about it, later." Dia berlalu dan mengajakku pergi dari situ. Aku menatapnya tajam, meminta penjelasan. Dia seperti memahami, dan mengangguk, lalu berkata, "Sepertinya aku harus mengantarmu ke hotel. Apakah ini saja barang bawaanmu?" Aku mengangguk, bingung sih, sebenarnya. Kemarin di telepon dia memaksaku untuk menginap di rumahnya, sekarang dia malah mau nganter aku untuk nginep di hotel aja, sungguh bapak-bapak yang galau. Tapi demi mendinginkan isi kepala yang masih penuh tanda, tanda tanya, kurang, kali, bagi, tambah, eh ... Dia mengambil koperku dan berjalan menuju ruang depan, meninggalkan anaknya dengan wajah yang merah, seperti adonan bakso dari daging sapi alami. Aku mengikutinya menuju parkiran di basement rumahnya. Tunggu, ya ampuun, ini rumah apa dealer mobil. Banyak banget. Pak Eric membukakan pintu untukku, dan mobil melaju, aku diam, entah apa yang harus aku bicarakan, Terasa canggung banget keadaannya

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
15.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
193.9K
bc

My Secret Little Wife

read
105.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
211.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.1K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook